Jumat, 25 Januari 2013

Makalah: Psikologi Agama

MAKALAH
KESADARAN BERAGAMA PADA ANAK DAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK



Disusun oleh:

Hanifah
Khikmah Aftonah
Mahdi Fathurrahman
Mardiadi
Masngudin

S1/PAI/E/2008

MATA KULIAH
PSIKOLOGI AGAMA

DOSEN
H. M. MASKUB, M. Pd. I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ‘ULAMA
STAINU KEBUMEN
TAHUN AKADEMIK 2008/2009


BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Anak merupakan anugrah Tuhan yang akan kita pertanggung jawabkan kepada Pencipta. Jiwa anak-anak akan senantiasa berkembang sesuai dengan usia dan kemampuan anak.
Agama merupakan hal yang paling mendasar bagi kehidupan manusia. Apapun nama dan jenis agama atau kepercayaan yang dianut seseorang, hal tersebut akan menjadi dasar dan pedoman bagaimana manusia itu hidup.
Agama pada anak akan tumbuh dan berkembang sesuai apa yang mereka terima baik secara sengaja maupun tidak. Anak akan belajar beragama melalui hal-hal yang mereka lihat, dengar, rasakan, maupun apa yang diajarkan kepada mereka.
Berangkat dari masalah sederhana yang terus berkembang menjadi kompleks inilah kami berusaha memaparkan bagaimana anak akan mengalami kesadaran beragama dan tumbuhnya kejiwaan agama pada anak dalam sebuah makalah sederhana ini.

2. MAKSUD DAN TUJUAN

Dalam penulisan makalah ini kami memiliki maksud dan tujuan antara lain sebagai berikut:
• Mengetahui bagaimana kesadaran agama pada anak
• Mengetahui teori yang ada tentang kesadaran agama anak
• Mengetahui perkembangan agama pada anak
• Mengetahui sifat-sifat keagamaan pada anak.
Kesemuanya itu adalah salah satu upaya agar kita bisa lebih mengerti anak, sehingga lebih mudah mengarahkan dan membimbing anak kita kepada kesadaran beragama yang benar.

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

A. TEORI SUMBER KEJIWAAN AGAMA

Berdasarkan hasil riset dan observasi para ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa untuk kebutuhan dan keinginan manusia tidak hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum pakaian dan kebutuhan kenikmatan saja melainkan manusia membutuhkan yang bersifat universal. Artinya bahwa setiap manusia mulai dari ang paling primitif sampai yang modern mempunyai keinginan untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau zat yang lebih tinggi.
Pernyataan yang muncul adalah : Apakah yang menjadi sumber pokok yang mendasar timbulnya keinginan untuk mengabdikan diri kepada Tuhan ?
Untuk memberikan jawaban pernyataan itu telah muncul beberapa teori antara lain :

1. Teori Monistik
Teori monistik adalah sebuah teori yang berpendapat bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Selanjutnya, sumber tunggal ini menjadi berbeda-beda dari berbagai pendapat para ahli di antaranya:
• Thomas Aquino berpendapat bahwa yang mempengaruhi kejiwaan agama seseorang adalah karena pikiran orang tersebut. Hal ini menjadikan rasio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama.
• Fredick Schleimacher mempunyai pandangan bahwa jiwa keagamaan seseorang timbul karena adanya rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend) sehingga merasa dirinya lemah. Dari rasa ketergantungan ini maka timbul upacara-upacara yang bertujuan untuk meminta perlindungan kepada kekuasaan yang diyakini dapat melindungi mereka.
• Rudolf Otto berpendapat bahwa sumber kejiwaan agama yang paling esensial adalah rasa kagum seseorang terhadap sesuatu yang dianggap lain dari yang lain (the wholly other).
• Sigmund Freud berpendapat bahwa unsur yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah libido sexuil (naluri seksual) yang kemudian menimbulkan ide tentang ke-Tuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses :
a. Oedipoes Complex, yakni mitos yunani kuno yang menceritakan karena cintanya kepada ibunya bersekongkol untuk membunuh ayahnya, namun setelah ayahnya terbunuh timbul rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu.
b. Father Image (Citra Bapak) Setelah mereka membunuh ayahnya dan dihantui rasa bersalah, timbullah rasa penyesalan. Perasaan itu menerbitkan sebuah ide untuk membuat suatu cara sebagai penebus kesalahan mereka. Lalu mereka memuja arwah ayah mereka karena takut arwah itu akan menuntut balas. Jadi menurut Freud agama muncul dari ilusi/khayalan manusia.

2. Teori Fakulti
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia tidak bergantung pada suatu sumber yang tunggal tetapi terdiri atas beberapa unsur di antaranya adalah fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will). Demikian pula perbuatan manusia yang bersifat keagamaan dipengaruhi dan ditentukan oleh tiga fungsi tersebut.
Penjelasan ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Cipta (Reason): fungsi ini berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama beradasarkan pertimbangan intelek seseorang.
b. Rasa (Emotion): akan menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
c. Karsa (Will): menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.
Teori ini memiliki beberapa tokoh penganut. Walaupun cara dan pemahaman mereka dalam menjabarkan berbeda-beda, namun mengerucut pada tiga hal tersebut di atas.

Tokoh-tokoh penganut aliran ini antara lain:

• G. M. Straton
Beliau mengemukakan teori “konflik” yang menyatakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Keadaan yang berlawanan seperti : baik-buruk, moral-immoral, pasif-aktif, rendah diri-harga diri, dan lain-lain ini akan menimbulkan pertentangan dalam diri manusia. Dikotomi (serba dua) termasuk akan menimbulkan rasa agama dalam diri manusia.
Konflik yang terjadi akan membawa kemunduran (kerugian) tetapi juga ada yang membawa kemajuan. Jika suatu konflik sudah sangat mencekam dan mempengaruhi kejiwaannya, maka manusia itu akan mencari pertolongan kepada suatu kekuasaan tertingi (Tuhan).
Selanjutnya G. M. Straton berpendapat, konflik yang positif tergantung atas adanya dorongan pokok yang merupakan dorongan dasar (basic-urge), sebagai keadaan yang menyebabkan timbulnya konflik tersebut.

• Zakiah Daradjat
Dr. Zakiah Daradjat berpendapat, bahwa dalam diri manusia terdapat kebutuhan pokok. Beliau mengemukakan, selain dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, manusia mempunyai kebutuhan akan adanya kebutuhan akan keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan yang terdiri dari:
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang.
Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi maka akan timbul gejala psikomatis misalnya : hilang nafsu makan, pesimis, keras kepala, insomnia, dan lain-lain.
2. Kebutuhan akan rasa aman/perlindungan.
Akibat jika tidak terpenuhi rasa aman adalah munculnya perasaan curiga, was-was, perdukunan, pertapaan, dan lain-lain.
3. Kebutuhan akan rasa harga diri/penghormatan.
Bentuk rasa ingin dihormati ini akan muncul dengan rasa sombong, sok tahu, ngambek, dan lain-lain. Kehilangan harga diri akan berakibat tekanan batin seperti sakit jiwa, depresi, dan ilusi.
4. Kebutuhan akan rasa bebas.
Tercukupinya hal ini akan membuat manusia mampu bertindak secara nyaman dan lega. Ketakutan dan rendah diri akan muncul jika rasa bebas ini tidak dipenuhi.
5. Kebutuhan akan rasa sukses.
Hal ini akan menyebabkan manusia mendambakan rasa keinginan untuk dibina dalam bentuk penghargaan terhadap hasil karyanya. Jika kebutuhan ini didesak dan ditekan maka akan orang tersebut akan kehilangan harga dirinya.
6. Kebutuhan untuk ingin tahu (mengenal).
Kebutuhan ini akan menyebabkan manusia selalu meneliti dan menyelidiki sesuatu, yang bila tidak bisa dipenuhi akan menyebabkan tekanan batin.
Gabungan keenam kebutuhan inilah yang menurut Zakiah Daradjat akan menyebabkan seseorang memerlukan agama.
• W. H. Thomas

Melalui toeri The Four Wishes W. H. Thomas mengungkapkan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan, agama adalah empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia, yaitu:
1) Keinginan untuk keselamatan (security)
2) Keinginan untuk mendapat penghargaan (recognation)
3) Keinginan untuk ditanggapi (response)
4) Keinginan akan pengetahuan dan pengalaman baru (new experience)
Didasarkan keempat keinginan di atas itulah pada umumnya, manusia menganut agama. Melalui ajaran agama yang teratur, maka keempat keinginan dasar tersebut akan tersalurkan.

B. TIMBULNYA JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK

Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang baik, terlebih pada usia dini. Pengembangan potensi ini memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya yaitu:
1. Prinsip Biologis
Secara fisik manusia lahir dalam keadaan lemah. Ia memerlukan bantuan orang lain (dewasa) di sekelilingnya karena tubuhnya belum tumbuh sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2. Prinsip tanpa daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan secara fisik dan psikisnya, maka anak yang baru lahir hingga dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Hal ini terjadi karena ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurusi dirinya sendiri.
3. Prinsip Eksplorasi
Prinsip ini akan melakukan pengembangan jasmani dan rohani dengan pemeliharaan dan latihan yang berkesinambungan sesuai dengan tingkat umur dan kemampuan anak tersebut.
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui pentahapan. Demikian juga perkembangan agama pada diri anak. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan dari manakah timbulnya agama pada diri anak itu?
Dari pertanyaan tersebut muncullah teori-teori yang menyebutkan pertumbuhan agama pada anak, teori-teori tersebut antara lain:
1. Rasa Ketergantungan (Sense of Dependent)
Teori ini dikemukakan oleh W. H Thomas melalui Four Wishes yang sudah dibahas pada bahasan sebelumnya. Berdasarkan keempat keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Hal ini dialami melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2. Instink Keagamaan
Teori ini dicetuskan salah satunya oleh Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa insting termasuk di antaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting belum sempurna. Misalnya insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi.
Namun teori banyak mendapat bantahan dari lawan-lawannya, mereka mengemukakan sanggahan di antaranya:
Kalau anak memiliki insting keagamaan, mengapa tidak terhayati secara otomatis ketika mendengar bunyi lonceng gereja? Selain itu, kenapa terdapat perbedaan agama di dunia ini? Bukankah cara itik berenang dan cara burung membuat sarang yang didasarkan tingkah laku instingtif akan sama caranya di setiap penjuru di dunia ini?

C. PERKEMBANGAN AGAMA PADA ANAK-ANAK

Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religius on Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan yaitu:

1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Disebut tingkat dongeng karena dalam anak menanggapi agama lebih banyak menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkat ini dimulai ketika anak memasuki masa usia sekolah dasar. Pada masa ini ide ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas). Berdasarkan pengalaman yang dialami anak, maka segala bentuk tindakan keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.
Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:
a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya.

Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa benih-benih keberagamaan yang dianugrahkan Tuhan sehingga manusia mempunyai dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Potensi bawaan ini menjadikan manusia mempunyai hakikat sebagai makhluk beragama.
Potensi keberagamaan ini pada masa primitif diungkapkan dengan pemujaan kepada hewan, tumbuhan, matahari, maupun makhluk yang tidak tampak mata (ghoib). Bahkan kecenderungan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat primitif namun juga pada masyarakat modern. Namun bentuknya berubah dalam bentuk “kekaguman terhadap tokoh” dengan istilah “idola”. Idola merupakan bukti kecenderungan masyarakat modern untuk mengkultusindividukan seseorang yang dikagumi.
Dorongan untuk mengabdi yang ada pada diri manusia pada hakikatnya merupakan sumber keberagamaan yang fitri. Untuk memelihara dan menjaga kemurnian potensi fitrah, maka Tuhan Sang Maha Pencipta mengutus Nabi dan Rasul. Tugas utama mereka adalah mengarahkan pengembangan potensi bawaan ini ke jalan yang sebenarnya. Karena bila tidak diarahkan oleh utusan Tuhan, dikhawatirkan (bahkan sering) terjadi penyimpangan.
Konsep ajaran Islam menegaskan bahwa pada hakikatnya penciptaan jin dan manusia adalah untuk menjadi pengabdi yang setia kepada Penciptanya (QS 51; Adz Dzariyat:56). Agar tugas dan tanggung jawab dapat diwujudkan dengan benar, maka Tuhan mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi pengajaran, contoh, dan teladan. Estafet berikutnya, risalah kerasulan diwariskan kepada para ulama. Tetapi tanggung jawab utamanya dititikberatkan pada orang tua. Dipesankan oleh Rasul bahwa bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu dorongan untuk mengabdi pada penciptanya. Namun benar tidaknya cara dan bentuk pengabdian yang dilakukannya, sepenuhnya tergantung dari kedua orang tua masing-masing.
Pernyataan ini bisa diambil kesimpulan bahwa bagaimana keluarga mempunyai peran yang sangat strategis dan sentral dalam peletakkan dasar-dasar keberagamaan bagi anak-anak. Anak-anak memerlukan bimbingan dan tuntunan sesuai dengan tahap perkembangan mereka yang alami agar rasa keberagamaan mereka bisa tumbuh dan berkembang secara benar. Dan sekali lagi tokoh yang paling menentukan dalam menumbuhkan rasa keberagamaan itu adalah orang tua.

D. SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK

Berusaha memahami konsep keagamaan pada anak berarti kita juga harus memahami sifat-sifat agama pada anak. Konsep keagamaan pada anak hampir sepenuhnya dipengaruhi faktor dari luar diri mereka. Hal ini terjadi karena anak akan dengan mudah mempelajari hal-hal yang berada di luar diri mereka. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian, ketaatan kepada ajaran agama mereka merupakan kebiasaan yang mereka dapatkan dari mempelajari dari orang tua, guru, dan lingkungan mereka.
Berdasarkan hal tersebut, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1. Unreflective (tidak mendalam)
Kebenaran yang diterima oleh anak merupakan kebenaran yang tidak mendalam, sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah puas dengan keterangan-keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun pada umur tertentu mereka akan bersikap lebih kritis terhadap ajaran yang diterima oleh mereka. Pada masa ini anak meragukan kebenaran agama pada aspek-aspek yang bersifat konkret.
2. Egosentris
Sejak tahun pertama anak mengalami perkembangan anak akan memiliki kesadaran diri. Kesadaran diri yang terus berkembang ini akan menumbuhkan keegoisan pada dirinya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka dari kesenangan pribadinya.
3. Anthromorphis
Sifat ini adalah penggambaran anak akan Tuhan mereka. Hal tersebut berawal dari hubungan anak tersebut dengan orang lain, kemudian mereka mendapatkan pengalaman yang berbeda dari setiap orang akan Tuhan. Belajar dari pengalaman itu, mereka kemudian menggambarkan bentuk Tuhan seperti fantasi mereka.
4. Verbalis dan Ritualis
Anak akan cenderung meniru ucapan-ucapan yang mereka dengarkan baik secara langsung diberikan atau tanpa sengaja didengarkan. Mereka juga akan melaksanakan kegiatan yang mereka lihat. Dua hal tersebut akan mempengaruhi sifat keagamaan yang mereka miliki. Dengan melaksanakan ucapan (verbal) dan kegiatan (ritual) keagamaan yang mereka dengar dan lihat, mereka secara tidak sadar telah mengembangkan jiwa keagamaan mereka.
5. Imitatif
Salah satu sifat anak-anak adalah peniru. Mereka akan relatif dengan mudah mengulangi/menirukan apa-apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Bermodalkan sifat ini maka tindak keagamaan akan lebih mudah ditanamkan dengan pembiasaan atau pengajaran yang intensif. Atau dengan kata lain, bahwa melalui pendidikan yang baik sifat meniru ini akan sangat mudah mempengaruhi tingkah laku keagamaan seorang anak.
6. Rasa Heran
Rasa heran atau kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Rasa kagum anak belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru. Rasa kagum pada anak dapat mereka salurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.

BAB III
PENUTUP

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesadaran keagamaan merupakan hal yang dimiliki oleh setiap anak. Kesadaran ini akan berkembang melalui tahapan-tahapan perkembangan yang berdasarkan pengalaman yang dialami oleh anak tersebut.
Pengaruh utama dalam perkembangan jiwa keagamaan anak adalah orang tua dan keluarga tempat anak tersebut tumbuh. Orang tua akan membentuk, menumbuhkan, dan mengembangkan benar dan tidaknya cara pengabdian pada Tuhan pada anak tersebut.
Dengan sifat-sifat keagamaan anak yang cenderung tidak stabil dan kurang penjiwaan, maka diperlukan langkah antisipasi agar anak sepenuhnya melaksanakan dengan sadar dan ikhlas tindak keagamaan yang benar.


DAFTAR PUSTAKA

Jalaludin, Prof. Dr. H. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Al Qur’an Al Karim
Wikipedia.net, Ensiklopedia Bebas Bahasa Indonesia. 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar