Rabu, 05 Februari 2020

Merajut ke-Bhineka-an dengan Budaya

*) Catatan kecil Jagongan Ngupet

Seberapa anda tahu apa yang anda lakukan? Sejauh apa kita memahami yang telah lalui? Apa yang sebenarnya kita kerjakan? Bagaimana seharusnya yang kita jalankan? Mengapa harus dijalankan? Untuk siapa kita melakukan? Dan masih begitu banyak pertanyaan yang kemudian berkembang dan berkesinambungan. Semakin kita ingin tahu semakin kita bertanya dan semakin sedikit jawaban yang bisa memenuhi hasrat kita.
Dari kegelisahan dan kerisauan akan pertanyaan yang ada kami memutuskan bersama-sama belajar. Sedikit demi sedikit menghimpun serpihan-serpihan pengetahuan yang ada dalam setiap individu, kemudian memadukan supaya selaras. Karena kami yakin setiap yang berasal dari 1 hal yang sama meskipun dilaksanakan dengan cara yang berbeda bisa membawa kita menuju “Sangkan Paraning Dumadi” tak ada yang bisa menjadi penghalang 1 dengan yang lain untuk kembali kepada 1 hal tersebut.
Hujan yang menerpa dari pagi hingga malam, tak terasa menutup hasrat untuk berkumpul di Balai Desa bumi Logandu bersama mencari jawaban atas kegundahan begitu banyak masyarakat Logandu akan hal-hal yang telah menjadi tradisi, adat, maupun budaya yang telah dilakukan. 21 jam telah meninggalkan hari Selasa 17 Oktober 2017, gerimis turun romantis mengiringi pertemuan yang harmonis di malam Rabu manis. Hamparan tikar warna-warni di balai desa bercat kuning terang dipadu lampu TL 40 watt cukup menerangi suasana malam.
19 menit dari pukul 9, hampir setiap jengkal tikar yang terhampar telah dipenuhi Pemerintah Desa Logandu,  sesepuh, pemuda, Tokoh adat, tokoh pemerhati adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama dari setiap penjuru Logandu. Gendhing Tanpo Aran mengawali acara dengan pembuka yang berisi do’a semoga kemanapun melangkah Tuhan akan meridhoi. Babeh Mardiadi memandu acara yang telah direncanakan bertahun-tahun namun baru bisa direalisasi kali ini. Dalam mukadimahnya disampaikan bahwa selama ini ada stigma bahwa ada perbedaan pendapat antara kalangan agama dan kalangan adat.
Seolah-olah bahwa adat berseberangan dengan agama, dan agama menghalang-halangi adat. Kita bersama duduk melingkar malam ini bersama mencari tahu, benarkah hal itu yang terjadi. Atau hanya pandangan dari masing-masing kelompok yang merasa benar atas yang dilakukan dan tak mau melihat kalangan lain secara obyektif, atau ada hal lain yang mendasari keberpihakan masing-masing. Hal itulah yang bersama-sama dipadukan dan dijabarkan. Ketidaktahuan dan kebodohan kita ini adalah sebuah kegelapan yang dalam bahasa jawa disebut “peteng” maka majlis belajar desa Logandu dinamakan “NGUPET” yang merupakan singkatan “Ngudhari Pepeteng”
Jika diartikan secara harfiah Ngudhari adalah melepaskan atau menanggalkan, sedangkan pepeteng adalah kegelapan. Secara terjemahan bebas Ngudhari Pepeteng diartikan sebagai Cara atau sarana untuk keluar dari kegelapan hati yang berwujud kebodohan dan ketidak tahuan sehingga bisa tertanggalkan kebodohan tersebut.  
Mbah Suhono Karto Sumarto salah seorang mantan Kepala Desa Logandu mengungkapkan kebahagiaannya bisa bersama duduk melingkar dengan elemen yang benar-benar baru terjadi di Logandu. Disampaikan dari beliau, selama ini belum terjadi duduk dalam satu lingkup dan kuantitas yang banyak tokoh dari berbagai kalangan. Semoga apa yang telah dilakukan malam ini bisa berkesinambungan dan membawa maslahat bagi seluruh warga Logandu begitu beliau haturkan menutup pengantar dari tokoh adat.
Hujan mereda meskipun awan tak beranjak dari langit yang menaungi bumi tembakau. Mbah Sumarjo menambahkan apa yang kita lakukan hari ini adalah hasil dari pemikiran orang-orang terdahulu. Mungkin tak semuanya benar dan bisa dilogika, namun semua mengarah pada tujuan yang sama yakni meng-Esakan Tuhan dan keselamatan. Jika 170 tahun sebelumnya Logandu baru ada setelah penyatuan dari separuh Clapar, separuh kebakalan, Pedukuhan Kuripan dan Pedukuhan Karanganyar, maka hari ini adalah anugrah yang luar biasa. Kita bersama menikmati apa yang dikaruniakan Tuhan di tanah ini. Selayaknya pula kita menghormati apa yang telah dilakukan leluhur kita, jangan sampai kita meninggalkan budaya dan adat yang telah tertata dan tersusun serta bersinkronisasi dengan kehidupan. Apa yang telah dibolehkan dan ditidakbolehkan adalah berdasarkan pengalaman yang terjadi berulang, tak ada kepastian yang ada hanya kecenderungan.
Tak sedikit yang terangguk-angguk setuju dan sebagian baru memahami apa yang telah dilakukan selama ini adalah rumusan yang luar biasa.  Berbinar mata hadirin yang memperhatikan apa yang disampaikan pengalaman baru bagi anak-anak muda yang hadir, semangat baru bagi orang tua yang telah berpengalaman.
Dengan suara yang lebih pelan dari dua sesepuh sebelumnya, Mbah Kuswari memaparkan hal yang belum disampaikan keduanya. Bahwa Adat merupakan hal yang diwariskan turun temurun tanpa melalui hal yang dituliskan di daerah tertentu. Biasanya adat telah mempengaruhi pola pikir, pola tinggal, dan pola hidup pada masyarakat tersebut. Sehingga adat adalah hukum yang berlaku dengan sendirinya dan memiliki sanksi sosial yang berbeda-beda setiap wilayahnya. Di Logandu adat yang berlaku akan berbeda dengan adat di Clapar meskipun hanya berbatas sungai kecil bahkan parit. Begitu banyak hal yang terlihat sangat remeh namun merupakan detail yang membawa ciri khas masing-masing. Perbedaan tersebut hanyalah cabang-cabang yang tetap berpegang pada tujuan pada keagungan Tuhan.
Malam bergerak disisipi helaan tawa kecil warga yang hadir menyimak apa yang disampaikan sesepuh desa Logandu. Dari kalangan muda ada yang bertanya bahwa ketika ke makam sesepuh membawa upet yang terbuat dari mancung dan klari  adakah maksud dibuat dari keduanya? Atau hanya sarana yang baik untuk membakar kemenyan atau dupa di makam. Bisakah digantikan dengan alat lain yang lebih modern. Dengan nada yang lembut mbah Kuswari menjelaskan bahwa mengapa menggunakan mancung adalah sarana mengingatkan yang datang ke makam bahwa “MANungsa kuwi bakal dikunCUNG” artinya bahwa setiap manusia akan diikat tali pocong. Tak ada yang bisa melawan takdir bahwa kita akan meninggalkan dunia ini. Kemudian dirangkai dengan klari dari kata “nglalari/ngleluri sedulur, sanak kadang lan para leluhure” ini diartikan sebagai bahwa kita harus mendatangi dengan tujuan untuk merekatkan ikatan persaudaraan.
Dalam bahasa yang lebih sederhana Babeh Mardiadi menyimpulkan bahwa upet terbuat dari mancung dan klari bermakna “Manungsa mesti bakal mati, mulane rikala urip nang dunya kejaba bekti karo Pengerane, uga kudu bekti karo wong tua/leluhure lan nyambung seduluran karo sepadane menungsa.” Dalam terjemahan bebas bisa berarti sebagai bekal kematian setiap manusia harus berbakti kepada Tuhan, selain itu juga harus berbakti kepada orang tua dan leluhurnya serta harus menyambung persaudaraan dengan sesama manusia.
Seorang hadirin yang sudah cukup berumur mengungkapkan bahwa beliau pernah dicap orang yang musyrik dan kafir karena melakukan ziarah dengan membawa upet dan kemenyan. Bisakah disebut demikian dan sebenarnya apa yang telah dilakukan itu bertentangankah dengan agama Islam? Pertanyaan itu dikembalikan lagi kepada penanya kepada siapa anda berdoa di makam? Seperti apa cara berdo’a dan untuk siapa doa tersebut. Dijawab dengan penuh semangat bahwa beliau memohon kepada Allah, datang ke makam untuk mendoakan yang telah meninggal. Ketika prosesi membakar kemenyan didahului dengan hadiah fatihah kepada Nabi, keluarga, dan sahabatnya. Kemudian doa menggunakan bahasa jawa “
Bismillaahirahmaanirrahiiim
Sang renges jati araning menyan,
Sang klecer kuning urubing menyan,
Sang klecer putih kukusing menyan,
Sarining menyan sun utus maring Gusti ing Pangayunan
Sarehning si “Dhadhap” kagungan hajat, mugio simbah matur ing tuan (malaikat),
Tuan matur ing Pangeran mugio hajat kersanipun si “Dhadhap” dipun ijabahi, kasembadan dumugi saktujuanipun.

Maksud dari doa tersebut ialah bahwa setelah menghadiahkan fatihah, kita meminta untuk disampaikan maksud kita kepada Allah melalui malaikat agar dimudahkan, diridhoi dan diijabah tujuan orang yang memiliki hajat.
Babeh Mardiadi dan Kang Sarwono menjelaskan secara bergantian. Bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. Bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat.
Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata. 
Semakin malam dan semakin tenggelam bahasan yang menghanyutkan rasa ini. Hanya saja sang wresti kembali menyapa di dinginnya dini hari, masih banyak yang ingin dibahas. Namun tugas di pagi sudah menanti. Keinginan belajar dan menghilangkan kebodohan adalah hal yang menjadi catatan malam ini. Semoga ini adalah awal untuk ngudhari pepeteng menghilangkan kebodohan, menghormati perbedaan, dan meneguhkan ketauhidan. Jangan sampai kita seperti orang buta yang memegang gajah dan menggambarkan seperti apa yang dipegang. Ikhitiar dengan senantiasa belajar karena Ciptaan tidak mengetahui tentang keilahian. Tak ada jalan dalam pengetahuan ini yang bisa ditempuh dengan kemampuan biasa. Semoga kami bisa. Aamiiin