Rabu, 23 Januari 2013

Perbandingan pemikiran pendidikan

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN HASYIM ASY’ARI DAN MUHAMMAD ABDUH


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan
Semester VI Tahun Akademik 2010/2011

Dosen Pengampu:
Mustolih,M.Pd.I, M.Pd.



Disusun oleh

Nama : CHUSNUL CHOTIMAH
NIM : 2083400
Prodi : S1 PAI / VI / E



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
( STAINU) KEBUMEN
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sosok ulama yang satu ini sudah begitu akrab di telinga umat Islam Indonesia khususnya, karena beliau merupakan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Akan tetapi ketokohan dan keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas dakwah beliau sebagai pendiri NU, melainkan juga karena beliau termasuk pemikir dan pembaharu Pendidikan Islam. Dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang, K.H.M.Hasyim Asy’ari pernah belajar di berbagai pesantren di Jawa sebelum melanjutkan pendidikan ke tanah Hijaz. Kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan pesantren Tebuireng Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya. Kedalaman ilmu, dan pemikirannya dalam pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa memberinya gelar “Hadratus Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”.
Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam .Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Di dunia Islam Ia terkenal dengan pembaharuannya di bidang keagamaan,dialah yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Assunnah as Sahihah .Ia juga terkenal dengan pembaharuannya dibidang pergerakan (politik) ,dimana Ia bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.
Disamping Ia dikenal sebagai pembaharu dibidang keagamaan dan pergerakan (politik) ,Ia juga sebagai pembaharu dibidsang pendidikan Isalam,dimana Ia pernah menjabat Syekh atau rektor Universitas AlAzhar di Cairo Mesir.Pada masa menjabat rektor inilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut ,yang pengaruhnya sangat luas di dunia Islam.Dan usaha –usaha pembaharuan inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. . Hal inilah yang melatar belakangi untuk mengetahui bagaimana pemikiran pendidikan antara tokoh Hasyim Asy’ari dan Mahatma Gandhi.

B. Rumusan Permasalahan

Untuk membatasi permasalahan pada makalah ini maka kami membatasi permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan Muhammad Abduh?
3. Bagaimana komparasi pemikiran pendidikan kedua tokoh tersebut?


C. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Perbandingan Pendidikan pada semester VI Prodi S1 PAI.
2. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang pemikiran pendidikan dari Hasyim Asy’ari dan Muhammad Abduh.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Hasyim Asy’ari

1. Sekilas tentang Hasyim Asy’ari

Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama. Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.


2. Pemikiran Pendidikan Hasim Asy’ari

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat. Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.


B. Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh

1. Sekilas tentang Muhammad Abduh

Muhammad bin Abduh bin Hasan dilahirkan di desa Mahallat Nashr, Al-Buhairoh, Mesir pada tahun 1849 M. Dia murid kesayangan Jamaluddin Al-Afghani. Dia wafat pada tahun 1905. Beliau belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun pada 1882, karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Libanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersalam al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest Bond.


2. Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh

Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada aqal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada aqal daripada Mu’tazilah.

Menurut Muhammad Abduh, aqal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
2. Keberadaan hidup di akhirat.
3. Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan.
5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.
6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan aqal di atas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi aqal manusia. Wahyu, katanya, menolong aqal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat; mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya; menyempurnakan pengetahuan aqal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya; dan mengetahui cara beribadah serta bersyukur kepada Tuhan.
Dengan demikian, wahyu bagi Muhammad Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan aqal dan informasi. Lebih jauh, Muhammad Abduh memandang bahwa menggunakan aqal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada aqal. Islam, katanya, adalah agama yang pertama kali ‘mempersaudarakan’ antara aqal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan aqal. Kemudian dia beranggapan bahwa wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertentangan dengan aqal. Kalau ternyata antara keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi, sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
Dalam paham Ahlus Sunnah, manusia bebas untuk memilih, namun Allah yang menciptakan/mewujudkan perbuatan manusia. Ada pun dalam paham Mu’tazilah dan Qodariyah, manusia bebas untuk memilih dan manusia pula yang mewujudkan perbuatannya. Lalu bagaimana dengan Muhammad Abduh? Apakah ia cenderung kepada Ahlus Sunnah, atau justeru cenderung kepada Mu’tazilah? Bagi Muhamamd abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluq lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya Sungguh mirip paham mu’tazilah.
Karena yaqin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini. [Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional, UI Press, 1978, hlm. 75 dan 77]


C. Komparasi Pemikiran Pendidikan antara Hasyim Asy’ari dan Muhammad Abduh

Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru.
Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
1. selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
2. mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
3. mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
4. berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
5. tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
6. khusyu dalam segala ibadahnya.
7. selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.
8. tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
9. tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
10. zuhud, dalam segala hal.
11. menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
12. menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
13. selalu menghidupkan syiar islam.
14. menegakkan sunnah Rasul.
15. menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
16. bergaul dengan sesame manusia secara ramah,
17. menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.
18. terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
19. selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
20. meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.

Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.
Di dalam proses terbentuknya pandangan-pandangan sederhana ini, rasio atau pikiran manusia bersifat pasif atau belum berfungsi. Setelah pandangan-pandangan sederhana ini tersedia, baru rasio atau pikiran bekerja membentuk 'pandangan-pandangan kompleks' (complex ideas). Rasio bekerja membentuk pandangan kompleks dengan cara membandingkan, mengabstraksi, dan menghubung-hubungkan pandangan-pandangan sederhana tersebut.
Ada tiga jenis pandangan kompleks yang terbentuk:
1. substansi atau sesuatu yang berdiri sendiri, misalnya pengetahuan tentang manusia atau tumbuhan.
2. modi (cara mengada suatu hal) atau pandangan kompleks yang keberadaannya bergantung kepada substansi. Misalnya, siang adalah modus dari hari.
3. hubungan sebab-akibat (kausalitas). Misalnya saja, pandangan kausalitas dalam pernyataan: "air mendidih karena dipanaskan hingga suhu 100° Celcius".

Sedangkan pemikiran pendidikan yang menjadi fokus utama pemikiran Muhammad Abduh, yaitu:
1. Membebaskan aqal fikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haqnya salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits.
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan di media massa.

Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat itu dapat digambarkan sebagai, “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan aqal dalam memahami syari’at Allah atau mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan aqal (jumud), serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.”

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren). Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam .Dialah penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern. Di dunia Islam Ia terkenal dengan pembaharuannya di bidang keagamaan,dialah yang menyerukan umat Islam untuk kembali kepada Al Quran dan Assunnah as Sahihah .Ia juga terkenal dengan pembaharuannya dibidang pergerakan (politik) ,dimana Ia bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Disamping Ia dikenal sebagai pembaharu dibidang keagamaan dan pergerakan (politik) ,Ia juga sebagai pembaharu dibidsang pendidikan Isalam,dimana Ia pernah menjabat Syekh atau rektor Universitas AlAzhar di Cairo Mesir.Pada masa menjabat rektor inilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut ,yang pengaruhnya sangat luas di dunia Islam.Dan usaha –usaha pembaharuan inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mas’ud,Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik,
Jogjakarta;Gama Media,2002

Ensiklopedi Islam Jilid 1 ,Jakarta;Ikhtiar Baru Van Hoeve,2001

Ensiklopedi Islam Jilid 3 ,Jakarta;Ikhtiar Baru Van Hoeve,2001

Husayn Ahmad Amin,Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Bandung; Remaja Rosdakarya ,2001

Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan ,Jakarta; Bulan Bintang,1975

Syekh Muhammad Abduh,Risalah Tauhid,Jakarta ; Bulan Bintang 1975


Tidak ada komentar:

Posting Komentar