Selasa, 22 Januari 2013

Perbandingan pendidikan

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN
NAQUIB AL ATTAS DAN AHMAD DAHLAN


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan
Semester VI Tahun Akademik 2010/2011

Dosen Pengampu:
Mustolih,M.Pd.I, M.Pd.



Disusun oleh

Nama : DEWI SRI REJEKI
NIM : 2083240
Prodi : S1 PAI / VI / E



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
( STAINU) KEBUMEN
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih. Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan (Syed Sajjad Husein & Syed Ali Ashraf, 1986). Lebih dari itu, Isma’il Raji Al-Faruqi (1988: vii) mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk dalam hal pendidikan di kalangan dunia Islam. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam.
Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering dipertanyakan. Masih terdapat pemahaman dikotomis keilmuan dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai (values) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (social sciences guestiswissenchaften) dan ilmu-ilmu alam (nature sciences/ naturwissenchaften) dianggap pengetahuan yang umum (sekular). Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling terkait) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Banyaknya lembaga pendidikan berlabelkan Muhammadiyah dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi juga pesantren, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bukan KH. Ahmad Dahlan pendirinya. Akan tetapi, ormas bernama Muhammadiyah yang menaungi semua lembaga pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan lah yang mendirikannya. Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tak bisa lepas dari sosok Ahmad Dahlan. Dan berbicara tentang Ahmad Dahlan, tak bisa lepas dari perannya di dunia pendidikan. Wajar jika sebagian kalangan menilai, bahwa Ahmad Dahlan lah sejatinya bapak pendidikan Indonesia, bukan Ki Hajar Dewantoro yang nasib lembaga pendidikan Taman Siswanya tak jelas, bagaikan hidup segan mati tak mau. Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, pendidikan telah menjadi trade-mark gerakan Muhammadiyah. Sebagai pendirinya, Ahmad Dahlan mempunyai peran yang sangat besar dalam hal ini. Sangat wajar, jika kemudian Ahmad Dahlan ditahbiskan sebagai seorang tokoh pembaru pendidikan oleh sebagian kalangan. Sepeninggalnya, pemikiran-pemikirannya tentang dan dalam dunia pendidikan diteruskan oleh para murid dan generasi pelanjutnya.

B. Rumusan Permasalahan
Untuk membatasi permasalahan pada makalah ini maka kami membatas permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran pendidikan Naquib Al Attas?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan?
3. Bagaimana komparasi pemikiran pendidikan kedua tokoh tersebut?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Perbandingan Pendidikan pada semester VI Prodi S1 PAI.
2. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang pemikiran pendidikan dari Naquib Al Attas dan Ahmad Dahlan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Naquib Al Attas

1. Sekilas tentang Naquib Al Attas

Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir dibogor, Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid. Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D.

2. Pemikiran Pendidikan Naquib Al Attas
Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu. Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu. Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.
Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa pnggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk. (Muhaimin, 1991 : 1971: 72-73). Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan. Kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini Untuk memotret bagaimana kondisi dunia pendidikan Islam dewasa ini, setidaknya bisa dicerna pandangan dan penilaian kritis para cendekiawan muslim, dimana secara makro dapat disimpulkan bahwa ia masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Walaupun statemen ini berupa tesis atau hipotesa yang perlu dikaji ulang, tetapi ia sangat penting sebagai cermin dan refleksi untuk memperbaiki wajah pendidikan Islam yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Isma'il Raji Al-Faruqi dalam karya monumentalnya islamization of knowlegde: general principles and workplan mensinyalir bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat memprihatinkan, berada di bawah anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Mengenai kondisi ini, ia menulis the whole world nomdays is led to thing that the religion of islam standas at the root of all evils (Al-Faruqi, 1995: x). Dalam bukunya Al-Tawhid, ia menambahkan bahwa : the ummah of islam is undeniabley the most unhappy ummah in modern times (Al-Faruqi, 1994: xiii). Al-Faruqi meyakini bahwa kondisi umat islam yang memprihatinkan ini, disebabkan oleh sistem pendidikan yang dipakai jiplakan dari sistem pendidikan Barat, baik materi maupun metodologinya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Islam di seluruh dunia sedang berada dalam arus perubahan yang sangat dahsat seiring datangnya era globalisasi dan informasi. Sebagai masyarakat mayoritas dalam dunia ketiga, sungguhpun telah berusaha menghindari pengaruh westernisasi, tetapi dalam kenyataannya modernisasi yang diwujudkan melalui pembangunan berbagai sektor termasuk pendidikan, intervensi dan westernisasi tersebut sulit dielakkan. Sehubungan dengan itu Fazlur Rahman Anshari yang selanjunya dikutip oleh Muhaimin, menyatakan : bahwa dunia Islam saat ini menghadapi suatu krisis yang belum pernah dialami sepanjang sejarahnya, sebagai akibat dari benturan peradaban Barat dengan dunia Islam. Khursyid Achmad, seorang pakar muslim asal Pakistan, mencatat empat kegagalan yang ditemui oleh sistem pendidikan Barat yang liberal dan sekuler, yaitu:
Pertama, pendidikan telah gagal mengembangkan cita-cita kemasyarakan di kalangan pelajar. Kedua, pendidikan semacam ini gagal menanamkan nilai moral dalam hati dan jiwa generasi muda. Pendidikan semacam ini hanya memenuhi tuntutan pikiran, tetapi gagal memenuhi kebutuhan jiwa. Ketiga, pendidikan liberal membawa akibat terpecah belahnya ilmu pengetahuan. Ia gagal menyusun atau menyatukan ilmu dalam kesatuan yang utuh. Empat, selanjutnya pendidikan liberal menghasilkan manusia yang tiadak mampu menghadapi masalah kehidupan yang mendasar. Semerntara Al-Attas melihat bahwa universitas modern (baca:Barat) tidak mangakui eksistensi jiwa atau semangat yang ada pada dirinya, dan hanya terikat pada fungsi administratif pemeliharaan pembangunan fisik. Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah terkontaminasi dan terinvensi konsep pendidikna Barat. Dimana paradigma pendidikan Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya mengutamakan pengejaran pengetahuan ansich, menitik beratkan pada segi teknik empiris, sebaliknya tidak mengakui eksistensi jiwa, tidak mempunyai arah yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
Menuju paradigma pendidikan Islam, Melihat kondisi pendidikan dewasa ini sebagaimana telah dideskripsikan, maka peniruan terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan dengan cita-cita pendidikan Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita islam. Dalam wacana ilmiah, setidaknya dapat dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang pentingnya realisasi paradigma pendidikan Islam. Pertama, Islam sebagai wahyu Allah yang meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapia kesejahteraan di dunia dan akherat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Disamping itu secara fungsional Nabi Muhammad, sendiri di utus oleh Allah sebagai pendidikan utama manusia. Kedua, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan norma-norma tertentu. Disini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan sentral norma dalam ilmu pendidikan itu. Ketiga, dalam memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro maupun mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat, padahal yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh karena itu, nilai-nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara kritis fenomena kependidikan
Aktualisasi konsep Al-Attas dalam pendiikan Islam masa kini Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta'dib yang ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius. Secara ilmiah Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis maupun aksiologis.

B. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan
1. Sekilas tentang Ahmad Dahlan
Lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 M, Dahlan kecil diberi nama Muhammad Darwisy oleh kedua orangtuanya. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya perempuan, kecuali adik bungsunya. Keluarganya dikenal didaktis dan alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta. Dalam silsilahnya, ia tercatat sebagai keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Silsilahnya lengkapnya ialah: Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim. Sejak kecil Muhammad Darwisy dididik oleh ayahnya sendiri. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur`an dan kitab-kitab agama. Selain belajar pada ayahnya, Darwisy juga belajar fiqih pada KH. Muhammad Saleh, belajar nahwu pada KH. Muhsin, belajar ilmu falak pada KH. R. Dahlan, belajar hadits pada KH. Mahfuz dan Syaikh Khayyat Sattokh, dan belajar qiraat pada Syaikh Amin dan Syaikh Sayyid Bakri. Setelah menimba ilmu pada sejumlah guru di Tanah Air, Muhammad Darwisy berangkat ke tanah suci pada tahun 1883 M saat usianya menginjak 15 tahun. Lima tahun di sana, Darqis menuntut ilmu agama dan bahasa Arab.

2. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan
Membaca kisah hidupnya, KH. Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik, muballigh, dan organisatoris sejati Namun dalam masalah ide dan pemikiran, tampaknya Ahmad Dahlan tidak sehebat yang digambarkan oleh warga Muhammadiyah yang hampir-hampir mengultuskannya. Mungkin dikarenakan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah dan mengajar, –sepengetahuan kami– tidak ada satu buku pun yang ditulis oleh Ahmad Dahlan sebagai peninggalan karya ilmiah intelektualnya. Ahmad Dahlan memang seorang pelaku atau praktisi. Dia mendirikan sendiri model lembaga pendidikan yang diinginkannya; sekolah yang menerapkan pengajaran ilmu agama Islam sekaligus ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1910, bertempat di ruang tamu rumahnya sendiri yang berukuran 2,5 m x 6 m, sekolah itu pun terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan delapan orang siswa di mana Ahmad Dahlan sendiri bertindak sebagai guru.
Semula, proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitar, para siswa yang hanya delapan orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali. Dan pada tahun 1911, sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa, dan enam bulan bertambah menjadi 62 orang Ini adalah sekolah pertama yang didirikan Ahmad Dahlan sekaligus cikal bakal sejumlah sekolah yang di kemudian hari juga beliau dirikan bersama Muhammadiyah. Kemudian, pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Selanjutnya, pada tahun 1913Ahmad Dahlan mendirikan sekolah di Karangkajen, Yogyakarta. Lalu, pada tahun 1915 mendirikan sekolah di Lempuyangan, Yogyakarta. Tahun 1916 mendirikan sekolah di Pasargede (sekarang Kotagede). Dan pada tahun 1918 mendirikan sekolah bernama Al-Qismul Arqa di Kauman Yogyakarta. Sekolah terakhir ini selanjutnya pindah ke Patangpuluhan dan berganti nama menjadi Hogere Muhammadijah School, kemudian berubah lagi menjadi Kweekschool Islam, dan menjadi Kweekschool Muhammadijah, yang akhirnya pada tahun 1941 berganti nama menjadi Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah sampai sekarang. Berikutnya, pada tahun 1920, Ahmad Dahlan mendirikan gerakan kepanduan bernama Padvinders Muhammadiyah, di mana kemudian atas usul KRH Hadjid, nama pandu itu diganti menjadi Hizbul Wathon. Namun demikian, sekalipun Ahmad Dahlan banyak mendirikan sekolah, bukan berarti Ahmad Dahlan "mewajibkan" warga Muhammadiyah agar bersekolah di lembaga pendidikan yang dia dirikan. Justru Ahmad Dahlan mengatakan, "Muhammadiyah sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan di mana saja. Jadilah guru, kepada Muhammadiyah. Jadilah meester, insinyur, dan lain-lain dan kembalilah kepada Muhammadiyah."
Memberikan teladan bagi pendidik adalah suatu keniscayaan. Tak ada pendidikan yang berhasil tanpa contoh dari si pendidik. Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan demikian pula yang hendak dipraktikkan oleh KH. Ahmad Dahlan. H. Hadjid menuturkan bahwa Ahmad Dahlan membagi pelajaran menjadi dua bagian, yaitu [1] belajar ilmu, yakni pengetahuan atau teori; dan [2] belajar amal, yakni mengerjakan atau mempraktikkan. Menurut Ahmad Dahlan, semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian pula dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah. Kyai Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat Al-Ma’un bukan menghafal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat Al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. Lalu Ahmad Dahlan berkata, “Oleh karena itu, setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.” Menurut Ahmad Dahlan, istilah mengamalkan bukan saja sebatas menghafal dan menjadikan surat pendek dalam al-Qur`an itu dibaca dalam setiap shalat, melainkan menjadikannya sebagai pedoman dan sekaligus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Tauhid, Tauhid di atas segalanya. Demikianlah seharusnya. Allah menciptakan manusia dan jin tak lain hanya untuk menyembah-Nya. Menyembah Allah harus mentauhidkan-Nya. Manusia sama sekali tak menyertakan makhluk lain selain-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah syirik, di mana pelakunya tak diampuni oleh-Nya jika belum bertaubat hingga ajal menjemput. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba, harus ikhlas hanya diperuntukkan kepada-Nya. KH. Ahmad Dahlan mengatakan, bahwa manusia dilarang menghambakan diri kepada siapa pun atau benda apa pun juga, kecuali hanya kepada Allah semata. Barangsiapa yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, artinya mengerjakan apa saja yang diinginkan dengan didorong oleh hawa nafsu, itu musyrik namanya. Barangsiapa yang mengikuti kebiasaan yang menyalahi hukum Allah Yang Maha Agung, itulah yang disebut menyembah hawa nafsunya. Padahal kita manusia, tidak diperbolehkan menaruh rasa cinta kepada siapa pun juga melebihi rasa cinta kasihnya terhadap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Pendidikan Kepribadian, Memisalkan dengan Sayyid Ahmad Khan (tokoh pembaru Islam di India), Prof. Abuddin menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan mempunyai pandangan yang sama dalam hal pentingnya pembentukan kepribadian dalam pendidikan. Ahmad Dahlan berpandangan, bahwa untuk mencapai tujuan materil, bekal ketrampilan juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh siswa didik, selain ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan demikian, secara tak langsung sesungguhnya Ahmad Dahlan telah mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.

C. Komparasi Pemikiran Pendidikan antara Naquib Al Attas dan Ahmad Dahlan
Pemikiran pendidikan Naquib Al Attas , Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian;
1. dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan
2. dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.
Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (achmadi, 1992: 130). Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.
Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Menurut Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat.
Untuk mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan karya nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya berkait dengan lembaga pendidikan:

a. Landasan Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis dalam merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Al-Khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifah fil ardh (pemimpin di bumi). Dalam proses kejadiannya, manusia dikaruniai ruh dan akal oleh Allah. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.
Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya. Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, tetapi Al-Qur’an juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad

b. Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi, pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang saleh dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekular yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah dua kutub intelektual: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan alumni sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual, dan dunia-akhirat) merupakan hal yang integral, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.

c. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh lagi berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.

d. Model Mengajar
Dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual melainkan kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
1) Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem weton dan sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal seperti sekolah Belanda.
2) Bahan pelajaran di pesantren diambil dari kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
3) Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.

e. Ijtihad Sistem Pengajaran
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena ideologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi relijius yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafi’i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Bagaimanapun hebatnya pemikiran seseorang pasti memiliki kekurangan dan tidak sempurna, tak terkecuali paradigma pendidikan Islam yang diformulasikan oleh Al-Attas. Namun apa yang digagasnya merupakan suatu komoditi berharga bagi pengembangan dunia ilmu pendidikan Islam, baik dalam dataran teoritis maupun praktis. Demikian pula dengan gagasan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan adalah ide yang penting untuk diperhatikan secara positif. Hal tersebut bermuara pada tujuan agar menghindarkan umat manusia dari kesesatan disebabkan oleh ilmu yang sudah ada terpola secara filsafat Barat yang sekuler. Selanjutnya bagaimana konsepsi tersebut menemukan formatnya secara konkrit dan operasional. Secara akademis pemikiran kritis dan inovatif seperti yang dilakukan Al-Attas, dalam konteks demi kemajuan dunia pendidikan Islam merupakan suatu keniscayaan, conditio sine quanon untuk ditumbuhkembangkan secara terus menerus. Hal tersebut merupakan konsekwensi dan refleksi rasa tanggung jawab manusia yang memiliki fungsi dan tugas utama sebagai Abdullah dan Khalifatullah.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekularisme, 1981, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka, cet I, Jakarta.
Achmadi, 1988, Ilmu pendidikan Islam II, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, salatiga.
Al-Syaibany, Oemar M. Al-Thoumy, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Alih bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta.
Deliar Noer Prof. DR., Gerakan Modern Islam di Indonesia, penerbit LP3ES: Jakarta, cet. III, th 1985.
Hamdan Hambali Drs. H., Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, penerbit Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. IV, th 2008.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989
Muhadjir, Noeng, 1987, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: suatu teori pendidikan, Rake sarasin, Yogyakarta.
Muhaimain, 1991, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani, Solo.
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar