Minggu, 27 Januari 2013

Makalah: Perbandingan pemikiran pendidikan Islam

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN AL GHAZALI DAN AHMAD DAHLAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan seseorang tidak akan mampu mengetahui dunia luar. Namun akhir-akhir ini pendidikan kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut. Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil, padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal karena yang kuat menindas yang lemah, yang berenang tetaplah berwenang dan yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa. Maka dari sinilah kami akan mengangkat sebuah tema yang menyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita.
Banyaknya lembaga pendidikan berlabelkan Muhammadiyah dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi juga pesantren, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bukan KH. Ahmad Dahlan pendirinya. Akan tetapi, ormas bernama Muhammadiyah yang menaungi semua lembaga pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan lah yang mendirikannya.
Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tak bisa lepas dari sosok Ahmad Dahlan. Dan berbicara tentang Ahmad Dahlan, tak bisa lepas dari perannya di dunia pendidikan. Wajar jika sebagian kalangan menilai, bahwa Ahmad Dahlan lah sejatinya bapak pendidikan Indonesia, bukan Ki Hajar Dewantoro yang nasib lembaga pendidikan Taman Siswanya tak jelas, bagaikan hidup segan mati tak mau.
Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, pendidikan telah menjadi trade-mark gerakan Muhammadiyah. Sebagai pendirinya, Ahmad Dahlan mempunyai peran yang sangat besar dalam hal ini. Sangat wajar, jika kemudian Ahmad Dahlan ditahbiskan sebagai seorang tokoh pembaru pendidikan oleh sebagian kalangan. Sepeninggalnya, pemikiran-pemikirannya tentang dan dalam dunia pendidikan diteruskan oleh para murid dan generasi pelanjutnya.

B. Rumusan Permasalahan

Untuk membatasi permasalahan pada makalah ini maka kami membatas permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran pendidikan Al Ghazali?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan?
3. Bagaimana komparasi pemikiran pendidikan kedua tokoh tersebut?

C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Perbandingan Pendidikan pada semester VI Prodi S1 PAI.
2. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang pemikiran pendidikan dari Al Ghazali dan Ahmad Dahlan.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Al Ghazali

1. Sekilas tentang Al Ghazali

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.


2. Pemikiran Pendidikan Al Ghazali

Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, yang ia ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ.
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu. Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.

Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.

Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan. Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil. Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
a. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
b. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
a. Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

B. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan

1. Sekilas tentang Ahmad Dahlan

Lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada 1 Agustus 1868 M, Dahlan kecil diberi nama Muhammad Darwisy oleh kedua orangtuanya. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya perempuan, kecuali adik bungsunya. Keluarganya dikenal didaktis dan alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Dalam silsilahnya, ia tercatat sebagai keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Silsilahnya lengkapnya ialah: Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim. Sejak kecil Muhammad Darwisy dididik oleh ayahnya sendiri. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur`an dan kitab-kitab agama. Selain belajar pada ayahnya, Darwisy juga belajar fiqih pada KH. Muhammad Saleh, belajar nahwu pada KH. Muhsin, belajar ilmu falak pada KH. R. Dahlan, belajar hadits pada KH. Mahfuz dan Syaikh Khayyat Sattokh, dan belajar qiraat pada Syaikh Amin dan Syaikh Sayyid Bakri.
Setelah menimba ilmu pada sejumlah guru di Tanah Air, Muhammad Darwisy berangkat ke tanah suci pada tahun 1883 M saat usianya menginjak 15 tahun. Lima tahun di sana, Darqis menuntut ilmu agama dan bahasa Arab. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaru dunia Islam, seperti; Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, Syaikh Jamalaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Muhammad Darwisy begitu terobsesi pada pemikiran pembaruan tokoh-tokoh ini. Pemikiran untuk mengembalikan umat Islam kepada sumber utamanya, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Selain itu, Darwisy juga sangat anti taklid, bid’ah, khurafat, dan takhayul, yang saat itu sangat merajalela di Tanah Air. Gerakan dan pemikirannya inilah yang kemudian membuat orang menganggapnya sebagai seorang pembaru dan modernis.

2. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan

Memberikan teladan bagi pendidik adalah suatu keniscayaan. Tak ada pendidikan yang berhasil tanpa contoh dari si pendidik. Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan demikian pula yang hendak dipraktikkan oleh KH. Ahmad Dahlan. KRH. Hadjid menuturkan bahwa Ahmad Dahlan membagi pelajaran menjadi dua bagian, yaitu [1] belajar ilmu, yakni pengetahuan atau teori; dan [2] belajar amal, yakni mengerjakan atau mempraktikkan. Menurut Ahmad Dahlan, semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian pula dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah.
Ada cerita yang cukup terkenal di kalangan Muhammadiyah dan sering diceritakan ulang, berkenaan dengan cara KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surat Al-Ma’un kepada para muridnya. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan berulang-ulang mengajarkan surat Al-Ma’un dalam jangka waktu yang lama dan tidak mau beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya sudah mulai bosan. Dihimpit oleh rasa bosan karena sang guru terus-menerus mengajarkan surat Al-Ma’un, akhirnya salah seorang muridnya, H. Syuja’, bertanya mengapa Kyai Dahlan yang tidak mau beranjak untuk mempelajari pelajaran selanjutnya. Namun Kyai Dahlan balik bertanya, “Apakah kamu benar-benar memahami surat ini?” H. Syuja’ menjawab bahwa ia dan teman-temannya sudah paham betul arti surat tersebut dan menghafalnya di luar kepala. Kemudian Kyai Dahlan bertanya lagi, “Apakah kamu sudah mengamalkannya?” H. Syuja’ menjawab, “Ya, kami sering membaca surat ini sewaktu shalat.”
Kyai Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat Al-Ma’un bukan menghafal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat Al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. Lalu Ahmad Dahlan berkata, “Oleh karena itu, setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.” Menurut Ahmad Dahlan, istilah mengamalkan bukan saja sebatas menghafal dan menjadikan surat pendek dalam al-Qur`an itu dibaca dalam setiap shalat, melainkan menjadikannya sebagai pedoman dan sekaligus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Cerita tentang bagaimana Ahmad Dahlan mengajarkan para santrinya, rasanya masih sangat relevan dengan tuntutan sekarang ini, di mana pada saat ini betapa sudah semakin semarak ayat-ayat Al-Qur`an dijadikan bahan pelajaran, didiskusikan dan bahkan juga dijadikan bahan kajian di kampus-kampus. Tetapi setelah acara usai digelar, tak tampak adanya gerakan yang signifikan untuk mengimplementasikannya. Misalnya, dalam bentuk pengentasan kemiskinan sebagaimana dilakukan oleh Kyai Ahmad Dahlan tersebut.
Tauhid di atas segalanya. Demikianlah seharusnya. Allah menciptakan manusia dan jin tak lain hanya untuk menyembah-Nya. Menyembah Allah harus mentauhidkan-Nya. Manusia sama sekali tak menyertakan makhluk lain selain-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah syirik, di mana pelakunya tak diampuni oleh-Nya jika belum bertaubat hingga ajal menjemput. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba, harus ikhlas hanya diperuntukkan kepada-Nya. KH. Ahmad Dahlan mengatakan, bahwa manusia dilarang menghambakan diri kepada siapa pun atau benda apa pun juga, kecuali hanya kepada Allah semata. Barangsiapa yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, artinya mengerjakan apa saja yang diinginkan dengan didorong oleh hawa nafsu, itu musyrik namanya. Barangsiapa yang mengikuti kebiasaan yang menyalahi hukum Allah Yang Maha Agung, itulah yang disebut menyembah hawa nafsunya. Padahal kita manusia, tidak diperbolehkan menaruh rasa cinta kepada siapa pun juga melebihi rasa cinta kasihnya terhadap Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Memisalkan dengan Sayyid Ahmad Khan (tokoh pembaru Islam di India), Prof. Abuddin menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan mempunyai pandangan yang sama dalam hal pentingnya pembentukan kepribadian dalam pendidikan. Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Ia berpendapat bahwa tak seorang pun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirar kecuali orang yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Hadits. Maka, dalam proses pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan ajaran-ajaran Nabi."
Ahmad Dahlan berpandangan, bahwa untuk mencapai tujuan materil, bekal ketrampilan juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh siswa didik, selain ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan demikian, secara tak langsung sesungguhnya Ahmad Dahlan telah mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.

C. Komparasi Pemikiran Pendidikan antara Al Ghazali dan Ahmad Dahlan

Dalam memahami konsep pendidikan al-Ghazali kita perlu memahami tentang berbagai aspek-aspek pendidikan yang telah dijelaskan oleh al-Ghazali dalam berbagai karyanya. Dr. Abduddin Nata dalam bukunya Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam membagi ke dalam lima aspek; tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru, dan murid.

1. Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali tampak bahwa corak pendidikan yang dikehendaki oleh al-Ghazali adalah corak pendidikan yang agamis. Namun demikian beliau juga tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Hanya saja dalam pandangannya dunia merupakan kebun untuk menuju kehidupan yang kekal abadi atau kehidupan akhirat yang lebih utama.
Selain bercorak religi konsep pendidikan al-Ghazali juga cenderung pada sisi keruhanian. Sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat manusia bahagia di dunia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.Dari ungkapan diatas dapat kita fahami bahwa ilmu merupakan modal kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan ilmu adalah amal yang utama.

2. Kurikulum

Konsep kurikulum al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya tentang ilmu pengetahuan. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
b. Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karena dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.

Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a. Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama
b. Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.

Dalam menyusun kurikulum pelajaran, al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a. kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini berkaitan erat dengan ilmu agama.
b. kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.

3. Metode

Mengenai metode pendidikan Al-Ghazali lebih menekankan pada metode pengajaran agama pada anak-anak. Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan merupakan faktor utama dalam metode pendidikannya.
4. Kriteria Guru Yang Baik

Menurut Al-Ghazali selain cerdas dan sempurna akalnya, seorang guru yang baik juga harus baik akhlak dan kuatfisiknya. Dengan kesempurnaan akalia dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang guru menurut Al-Ghazali juga harus memiliki sifat-sifat khusus yang diantaranya adalah kasih sayang, tidak menuntut upah atas apa yang dikerjakannya, berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik harus menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian, dan sebagaianya. Seorang guru juga tampil sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat erbedaan yang dimiliki muridnya. Seorang guru juga harus mampu memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan perbedaan tingkat usianya. Dan yang terakhir seorang guru yang baik harus berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya merealisasikannya sedemikian rupa. Dari sifat-sifat diatas tampak bahwa sifat-sifat diatas masih relevan dan sejalan dengan pendidikan saat ini.

5. Kriteria Murid Yang Baik

Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga bernilai ibadah. Menurut Al-Ghazali seorang murid yang baik harus memiliki sifat :
a. Berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya.
b. Menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
c. Rendah hati dan tawadhu’.
d. Khusus bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang berlawanan atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
e. Mendahulukan mempelajari yang wajib.
f. Mempelajari ilmu secara bertahap.
g. Tidak mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami. Dimana sebagian merupakan jalan menuju sebagian yang lain.
h. Seorang murid juga harus mengenal nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya.

Sedangkan menurut Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Untuk mengaktualisasikan gagasan besarnya dalam dunia pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan langsung mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan karya nyata. Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan, setidaknya ada tiga poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya berkait dengan lembaga pendidikan:

1. Landasan Pendidikan

Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis dalam merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Al-Khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abdullah (hamba Allah) dan khalifah fil ardh (pemimpin di bumi). Dalam proses kejadiannya, manusia dikaruniai ruh dan akal oleh Allah. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya. Meskipun dalam banyak tempat, Al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan akal, tetapi Al-Qur’an juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad.

2. Tujuan Pendidikan

Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaruan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi, pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang saleh dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekular yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah dua kutub intelektual: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak menguasai ilmu umum dan alumni sekolah Belanda yang menguasai ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.

3. Materi pendidikan

Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
a. Pendidikan akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.
b. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh lagi berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual serta antara dunia dengan akhirat.
c. Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.

4. Model Mengajar

Dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual melainkan kontekstual. Karena pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
a. Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem weton dan sorogan, madrasah, Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal seperti sekolah Belanda.
b. Bahan pelajaran di pesantren diambil dari kitab-kitab agama. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
c. Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.

5. Ijtihad Sistem Pengajaran

Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam tradisional disebabkan karena ideologi ilmiahnya hanya terbatas pada dimensi relijius yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafi’i. Sikap ilmiah yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban kekinian.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah. Kriteria akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh akal, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keadilan. Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal, Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim.
KH. Ahmad Dahlan adalah seorang manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dia bisa benar dan juga bisa salah. Tanpa Muhammadiyah, mungkin nama Ahmad Dahlan tak sebesar dan seharum sekarang. Kebesaran nama Ahmad Dahlan tak kepas dari perhatian dan komitmennya yang tinggi dalam dunia pendidikan yang membuat namanya selalu disebut-sebut saat berbicara tentang pendidikan di Indonesia. Dan tampaknya, warga Muhammadiyah sangat memahami benar akan hal ini. Betapa banyak tulisan-tulisan dan bahasan-bahasan di lingkungan Muhammadiyah yang khusus mengkaji masalah pendidikan. Wallahu a'lam bish-shawab.


DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, Cet. III, 2003.
Abuddin Nata, MA., Filsafat Pendidikan Islam, penerbit Gaya Media Pratama: Jakarta, cet. I, th 2005.
Deliar Noer Prof. DR., Gerakan Modern Islam di Indonesia, penerbit LP3ES: Jakarta, cet. III, th 1985.
Haiban Hadjid KRH, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur`an, penerbit LPI PPM: Yogyakarta, cet. III, th 2008.
Hamdan Hambali Drs. H., Ideologi dan Strategi Muhammadiyah, penerbit Suara Muhammadiyah: Yogyakarta, cet. IV, th 2008.
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet I November 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar