Rabu, 30 Januari 2013

Cerita Remaja: Lebaran suram



Keterpakuanku meratapi tragedi ini membuat buih-buih nurani bagai tersayat sembilu. Telah habis kata kecaman, ancaman, bahkan siksaan yang biasa di rekatkan pada raga ini. Kini ia di hadapku bagai patung yang membisu. Ia membujur kaku tak berdaya, berselimutkan kain putih tanpa meronta. Hanya wajah pucat pasi tanpa denyut nadi, hanya itu yang tersisa kini.
Detik lain, aku sadar tumpahan butiran bening ini tak berguna. Ayahku telah pergi untuk selamanya. Meski banyak ucapnya yang membekas dan menjadi luka. Namun kuakui,,,…. Dia Ayahku!!! Dia orang tua ku. Buah cintanya dengan ibukulah yang telah menjadikan aku ada di dunia ini.
Peristiwa 10 oktober telah mengantarkan ayahku pada sang ilahi. Tabrakan maut antara mobil Jaguar yang di kemudikan ayah dengan sebuah truk tronton yang menjadi perantara. Darahnya bercucuran bagai air laut yang membanjiri pantai. Aku tidak percaya dengan semua kejadian ini. Ibuku yang baru pulang dari malaysia seakan tersayat tikai dan perasaannya pun hancur bak tersambar petir dalam hujan badai.
Ramadhan tlah berlalu, harusnya di 10 oktober ini menjadi hari yang bahagia karena hari kemenangan telah disambut oleh seluruh umat islam diseluruh dunia. Awalnya ayah berniat menjemput nenek dan kakek beserta keluarganya yang ingin berkunjung ke rumah kami untuk merayakan Idul fitri bersama. Tetapi malang, bukanlah kebahagiaan yang kami dapatkan melainkan kesedihan dan kepiluan yang berbaur menjadi tangisan dan kemudian melebur hingga menjadi duka yang mendalam.
Aku sangat sedih melihat semua ini meskipun dalam hati ada sedikit rasa lega karena penyiksaan ayah akan segera berakhir. Selama aku hidup dengan ayah, dia terlihat sangat acuh tak acuh terhadapku. Terlebih-lebih ketika aku masih anak-anak. Waktu itu, aku tak sengaja memecahkan sebuah guci antik. Ayah sangat marah padaku karena benda kesayangannya telah aku rusak. Dengan geramnya dia mengatakan, “Dasar anak tolol…..!!! dimana mata kamu??!!! Berani-beraninya kamu memecahkan guci kesayanganku”
Aku hanya terdiam dan tak dapat berbicara apa-apa. Seketika itu air mataku langsung membasahi pipi tembem yang aku miliki. Masih dalam keadaan yang sangat marah, ia pun berkata “Dasar anak cengeng…!!! Kamu tahu,,. air matamu tidak akan bisa membuat guci ini kembali seperti semula…!!! Anak bodoh…!!!”
Belum puas memarahiku dengan kata-kata yang begitu menusuk kalbu, ia pun menginjak tanganku diatas pecahan-pecahan guci yang sedang aku bersihkan. Tak dapat aku hindari, darahpun ikut menjadi saksi kekejaman ayah terhadapku. Tak hanya sekali atau dua kali ayah melakukan hal seperti ini, namun kejadian seperti itu terus berlanjut, hanya saja ketika aku mulai beranjak dewasa, ia mulai enggan untuk melakukannya.

***
Seketika lamunanku terus terusik oleh suara ibu yang menasehatiku. “Isti, kau harus tabah ya nak,,. Ibu tahu ayahmu adalah orang yang pernah sangat kau benci. Tetapi ibu mohon nak, maafkanlah kesalahan dan kekhilafan ayahmu. Ayahmu pasti akan bahagia jika kau mau memaafkannya” begitu kata ibu. “iya bu, isti akan memaafkan ayah. Sekejam-kejam apapun ayah selama ini, dia tetap ayah isti dan isti harus tetap menghormatinya,,.” Itulah jawabanku.
Selama ini ibu sudah sangat sabardalam menghadapi sikap ayah yang seperti itu, karena sebenarnya Ibu pun sudah tahu kalau ayah sering menyiksaku, tetapi ibuku tidak bisa melakukan apa-apa, dia hanya bisa pasrah dan berdo’a.
Tak ku sangka setelah ayah selesai dimakamkan, penyakit jantung yang diderita ibuku kambuh. Segera mungkin nenek dan kakek yang masih berada di rumahku membawanya ke rumah sakit terdekat. Tetapi naas, belum sampai di rumah sakit ibuku telah menghembuskan nafas terakhirnya di perjalanan.hanya satu dua patah kalimat yang sempat ia sematkan untukku.
“Isti anakku, kau satu-satunya harapanku. Jika nanti ibu tidak dapat menjaga dan menemanimu lagi di dunia ini, ibu mohon jadilah anak yang sabar. Terimalah semua kenyataan yang ada dengan hati yang lapang. Ibu minta maaf kalau selama ini ibu belum bisa menolongmu dari kecaman-kecaman ayahmu. Ibu bangga punya anak sepertimu Isti, dan jadilah kamu anak yang sholeh sholehah. Yang berbakti pada orang tua dan takwa pada Alloh SWT.”
Setelah berkata seperti itu, ibu akhirnya pergi menyusul ayah ke alam baka. Peristiwa dihari ini benar-benar membuat hatiku menangis darah. Dihari yang fitri ini, hari yang penuh dengan kata “Minal Aidzin Walfaidzin” justru membuat aku kehilangan harta duniaku yang paling berharga yaitu orang tua,,…. Tetapi aku yakin dibalik semua kejadian tragis ini, ada suatu hikmah yang besar yang ingin alloh berikan kepadaku.

THE END

by; child alhabib


Tidak ada komentar:

Posting Komentar