Rabu, 23 Januari 2013

Perbandingan Pendidikan Islam

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN MUHAMMAD NATSIR DAN AL GHAZALI


Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Perbandingan Pendidikan
Semester VI Tahun Akademik 2010/2011

Dosen Pengampu:
Mustolih, M.Pd.I, M.Pd.




Disusun oleh

Nama : EFTI HANDAYANI
NIM : 2083097
Prodi : S1 PAI / VI / E



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
( STAINU) KEBUMEN
2011


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang mengajarkan pandangan hidup (way of life) bagi seluruh umat manusia. Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, material dan spiritual, serta kesalihan pribadi dan kesalihan sosial. Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT dimuka bumi dan harus melakukan perannya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT melalui karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia. Untuk mampu melakukan perannya secara baik, akal pikiran jiwa raga, dan berbagai potensi lainnya harus dibina secara berkesinambungan.
Sarana yang paling efektif untuk melakukan pembinaan manusia yang demikian itu adalah pendidikan yang diajarkan oleh Islam. Pendidikan Islam telah mampu menjadikan rahmatan lil alamin pada masa dahulu selama berabad-abad di dunia. Muhammad Natsir adalah tokoh yang menggagas pembaruan pendidikan Islam yang berbasiskan Al Quran dan As Sunnah. Tokoh lain yang berpedoman pada Al Qur’an dan Sunnah adalah Al Ghazali. Hal inilah yang menjadi latar belakang untuk mengetahui bagaimana pemikiran pendidikan Muhammad Natsir dan Al Ghazali.

B. Rumusan Permasalahan

Untuk membatasi permasalahan pada makalah ini maka kami membatas permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran pendidikan Muhammad Natsir?
2. Bagaimana pemikiran pendidikan Al Ghazali?
3. Bagaimana komparasi pemikiran pendidikan kedua tokoh tersebut?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Perbandingan Pendidikan pada semester VI Prodi S1 PAI.
2. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang pemikiran pendidikan dari Muhammad Natsir dan Al Ghazali.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Muhammad Natsir

1. Sekilas tentang Muhammad Natsir

M. Natsir lahir di Jembatan Berukir. Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada hari Jumat, 17 Jumadil Akhir 1326 H bertepatan dengan 17 Juli 1908 M. Ibunya bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado. Di desa kelahirannya itu, Natsir kecil melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya.
Riwayat pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. Setelah itu pindah ke Holland Inlandse School (HIS) Adabiyah Padang Panjang. Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat. Sejak kecil ia memasak, mencari kayu bakar, menimba air, mencuci pakaian, menyapu halamanb, dan lain-lain. Di usia sangat muda, Natsir berpisah dengan orang tuanya dan menempuh hidup sebagai orang dewasa, Mulailah ia tidur di surau bersama-sama kawan-kawannya sesama laki-laki. Hanya pada waktu siang dan saat tertentu saja, Natsir berada di rumah.
Setelah lulus dari HIS, Natsir diterima beasiswa di MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs). Di MULO tersebut ia mulai aktif berorganisasi dengan masuk dalam Jong Sumatranen Bond yang diketuai Sanusi Pane. Selanjutnya bergabung dalam Jong Islamieten Bond. Menurut Natsir, organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkannya di sekolah dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.

2. Pemikiran Pendidikan Muhammad Natsir

Dalam buku Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Abuddin Nata, menjelaskan tentang gagasan dan pemikiran pendidiksan Natsir yang secara ringkas sebagai berikut.

Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan.
Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna,
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat - sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al karimah yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan menusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam,
Keenam, pendidikan harus benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat- sifat kemanusiaan. Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secar total kepada Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepad- Nya.

Kedua, tentang tujuan pendidikan Islam.
Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qurân surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya "Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi-Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib-karibnya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terputus uang belanjanya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji apabila ia berjanji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana".

Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut:
Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari - hari.
Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain.
Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu.
Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain.
Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.

Ketiga, tentang dasar pendidikan.
Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan-penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik-baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.

Keempat, tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan.
Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul Ideologi Pendidikan Islam serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul “Tauhid sebagai dasar Pendidikanan” dengan gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.

Kelima, tentang fungsi bahasa asing.
Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Lebih lanjut Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh Natsir mengatakan bahwa sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya sendiri. Bahasa sarta kaitannya dnegan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Sejalan itu, maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab.
Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah-langkah antara lain:
1. Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia.
2. Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3. Negara-negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.

Keenam, tentang keteladanan guru.
Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka: Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak-anak saya.. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru-guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.
Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi saying jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.


B. Pemikiran Pendidikan Al Ghazali

1. Sekilas tentang Al Ghazali

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.

2. Pemikiran Pendidikan Al Ghazali

Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan.
Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid. Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil.
Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
a. Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
b. Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
a. Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat

C. Komparasi Pemikiran Pendidikan antara Muhammad Natsir dan Al Ghazali

Pokok-pokok pemikiran pendidikan Muhammad Natsir diantaranya:
1. Fungsi pendidikan, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan menusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ). Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
2. Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
3. Dasar pendidikan, menekankan tentang pentingnya tauhid dalam pendidikan.
4. Ideologi dan pendekatan dalam pendidikan, adalah integral, harmonis, dan universal. ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
5. Keenam, tentang keteladanan guru, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru.

Sedangkan pokok-pokok pmikiran pendidikan Al Ghazali diantaranya:
1. Dua sistem pendidikan akhlak menurut pendapat-pendapat al-Ghazali adalah: pendidikan non fonnal dan non formal. "Pendidikan ini berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayaf), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan sesuatu yang baik. Disamping itu pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat besar dalam pembentukan keperibadian anak-anak.
2. Bila sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan kesekolah yang baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits dan hal hal yang bennanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan di depan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi pennainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak.
3. Menurut al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.
4. Adapun kewajiban murid adalah: memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah. Kriteria akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh akal, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keadilan. Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal, Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim.
Al-Ghazali membagi akhlak menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Metode pendidikan akhlak menurut al-Ghazali ada dua yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan diulang-ulang dan memohon kaninia Ilahi.
Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali adalah: pendidikan non formal dan non formal. Pendidikan non formal dalam keluarga. Al-Ghazali menganjurkan metode cerita (hikayat), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak dibiasakan melakukan kebaikan. Pergaulan anak perlu diperhatikan, Orang tua wajib menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan formal. Diperlukan pujian dan hukuman (reward and punishment). Anak punya hak istirahat dan bermain. Al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang ikhlas, bertanggung jawab, mengamalkan ilmunya. Kewajiban murid adalah: menjaga kebersihan hati, tidak sombong dan tidak menentang guru, dalam belajar diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah.
Dapat di simpulkan bahwa pendidikan itu adalah proses memanusiakan manusia yang bertujuan membentuk insan kamil untuk menjadi khalifah di bumi. Dan dengan adanya pendidikan ini diharapkan manusia mampu mencapai tujuan hidupnya di dunia dan akherat, dan hidup yang berpedoman al-Qur’an dan Hadits.



DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Abdullah, Amin.2002. Antara Ghazali dan Kant, (terj.). Bandung: Mizan.
Al-Naquib, Al-Alatas, 1990. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan.
Arifin H.M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsini, 1998. Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Darojat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.
Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ictiar Baru Van Hove.
Lannggulung. Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka Husna.
Muhaimin. 2003. Wacana pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar