Selasa, 15 April 2014

Mengelola stres dan amarah

Guru adalah salah satu faktor yang sangat menentukan proses dan hasil pendidikan. Untuk mencapai proses dan hasil yang bermutu dibutuhkan pula guru yang bermutu, baik dari segi pengetahuan, sikap dan kepribadian sesuai dengan tuntutan profesi seorang guru. Dalam kaitan menciptakan lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan maka aspek sikap dan kepribadian guru menjadi sangat penting.
Kenyataan menunjukkan bahwa ada guru yang telah sangat matang dalam hal pengetahuan dan menonjol dalam ketrampilan mengajar tetapi belum tentu mampu mengelola sisi emosinya. Guru adalah manusia biasa. Ia bisa lelah, stres, dan bisa didesak ledakan amarah. Tetapi sifat manusia normal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk mentolerir perilaku guru yang bertindak kurang tepat terhadap anak didiknya. Penyelesaian untuk keterbatasan guru adalah mengembangkan guru agar lebih baik lagi mengelola diri, termasuk belajar mengatasi stres dan ledakan amarah.
Unit ini memberikan gambaran bagaimana mengelola stres dan amarah dengan mencoba melakukan beberapa latihan praktis.
Guru adalah manusia biasa. Ia bisa didera masalah, merasa stres dan mengalami desakan untuk marah jika ada hal-hal yang tidak diperkenan di hatinya. Masalahnya bagaimana kita menghadapi ledakan amarah apalagi jika hal itu kerap dialami di saat menghadapi anak didik kita ? Bagaimana guru bisa meningkatkan efektifitas pribadinya sehingga mampu menangkal stres dan menjalani kehidupan dengan optimis dan suka cita?
Pertama-tama ingatlah bahwa salah satu tujuan perkembangan anak usia SD adalah menjadi pribadi yang produktif (menurut Erikson). Anak ingin terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengasah ketrampilan hidupnya khususnya di lingkungan sekolah. Ia ingin merasa sukses/kompeten dan membangun citra diri/harga diri yang positif sebagai anak yang bisa/berprestasi/kompeten. Ia juga ingin mendapat penerimaan dari teman sebaya. Mereka juga ingin menyelesaikan tugas dan melakukan aktivitas bersama teman-temannya. Oleh karena itu pada dasarnya mereka akan melakukan apa saja untuk menunjukkan kompetensinya, jika perlu secara negatif. Apapun beban yang ditanggung, guru memang dituntut untuk tetap mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak secara optimal. Itulah tugas guru.
Agar mampu menjalankan tugas itu dengan baik, guru perlu mengasah kecerdasan emosionalnya. Secara sederhana, yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah  kemampuan seseorang untuk memahami emosi, baik dirinya sendiri maupun pada orang lain, serta mampu mengendalikannya sehingga mendorong ketrampilannya untuk berhubungan dengan orang lain serta beradaptasi dengan tuntutan lingkungan.

A.          Kecerdasan Emosional

Beberapa aspek kecerdasan emosional menurut Goleman adalah :

a.           Kemampuan mengenali emosi/perasaan/suasana hati diri sendiri:

Kemampuan ini sifatnya sangat mendasar karena merupakan bekal utama untuk bisa masuk ke kemampuan lainnya. Tanpa pengenalan diri sendiri, kita akan sulit pula belajar mengenal/memahami orang lain, tak tahu apa yang harus kita kelola pada diri kita dan bagaimana kita hendak mengarahkan diri kita.

b.           Kemampuan mengelola emosi

Ketika kita sudah tahu kita sedang senang, atau jengkel, atau kecewa, marah dan sebagainya, kini saatnya kita mengatur diri kita agar hidup kita tak dikendalikan oleh emosi melainkan oleh nalar dan pemikiran pula. Memang ada bagian dalam otak kita yang mengatur emosi (sistem limbik) dan tak sepenuhnya bisa dikontrol. Namun dengan menyadarinya secara tak langsung kita memaksa informasi emosi itu untuk masuk ke bagian otak (korteks) yang mengolah semua informasi dengan penalaran. Dengan demikian walaupun kita marah besar, karena kita mengenali datangnya amarah, kita kini belajar untuk mengontrolnya.
c.            Memotivasi diri sendiri
Lebih lanjut orang yang cerdas secara emosional akan mampu mengarahkan diri menuju ke hal yang positif, mengusahakan pencapain tujuan hidup dan berfungsi secara adaptif dalam kehidupannya. Orang semacam ini akan menjadi lebih produktif.
d.           Mengenali emosi pada orang lain
Di samping memahami ke dalam diri sendiri, orang yang memiliki kecerdasan emosi menunjukkan juga ciri mampu memahami orang lain. Ia mengembangkan empati dan bersikap pro-sosial.
e.           Mengelola hubungan dengan orang lain
Pada akhirnya orang yang cerdas emosi adalah orang yang akan mampu untuk mengembangkan hubungan baik dengan orang lain atas dasar ketrampilan-keterampilan di atas.
Jelas sekali bahwa setiap orang perlu mengembangkan kecerdasan emosional, terutama guru. Selain untuk meningkatkan efektifitas pribadinya untuk dirinya sendiri, guru tak bisa dipungkiri adalah model yang ditiru anak serta pihak yang bertanggungjawab untuk mengatur dirinya agar mampu menyediakan lingkungan perkembangan yang baik bagi anak. Kedua hal yang lebih disorot adalah kemampuan mengelola stres dan kemampuan menghadapi ledakan marah.

B.          Mengelola stres

Stres sudah merupakan bagian dari hidup manusia masa kini. Tak seorangpun yang tak pernah dihinggapi oleh stres. Entah presiden, tukang sapu, manajer, ibu rumah tangga, guru, bahkan anak-anakpun sudah bisa merasakan stres. Perbedaannya ada orang yang peka terhadap stres dan ada yang kurang peka; juga ada yang pandai mengelola stres dan ada pula yang kurang siap menghadapi stres sehingga terganggu kesejahteraan hidupnya, menjadi tertekan, uring-uringan, atau putus asa, depresi bahkan sampai bunuh diri.
Stres adalah reaksi fisik dan emosional kita sebagai respon/tanggapan terhadap sebuah keadaan yang mengandung stresor (sumber stres). Stresor (sumber stres) bisa bermacam-macam; yang ringan dan bersifat fisik, misalnya kita sedang berjalan di tepi jalan, tiba-tiba sebuah sepeda motor lewat dengan membunyikan klakson dengan keras di samping kita. Kita terkejut dan melompat ke pinggir. Bentuk lain misalnya ketika kita menghadapi masalah dengan kepala sekolah sehingga kita jadi sulit tidur di malam hari karena memikirkan bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut, atau kita hendak menikah atau baru saja kehilangan orang yang kita cintai. Bisa juga kita stres karena kita menuntut standar yang terlalu tinggi bagi diri kita sendiri. Selain itu kita bisa juga stres akibat kesibukan sehari-hari, misalnya pagi-pagi kita terlambat bangun, anak-anak bermalas-malas untuk bersiap berangkat sekolah, suami/istri kita sibuk menanyakan di mana handphonenya, nasi goreng yang kita buat terlalu asin karena terburu-buru, lalu ketika akhirnya hendak berangkat kerja ternyata sepeda motor kita kempes bannya.... hari itu jam belum menunjukkan pukul 8 pagi tapi kita serasa sudah habis energi! Kita tidak antusias menghadapi hari itu....nah, itulah tanda-tanda kita sudah mengalami stres karena tekanan kegiatan hidup sehari-hari. Stres yang semacam ini justru sekarang makin banyak menghinggapi kita tanpa kita sadari karena begitu lekat dengan keseharian kita.
Stres pada tingkat yang rendah mungkin justru baik untuk membuat kita waspada. Namun ketika stres sudah menggejala membuat kita malas pergi ke kantor karena di sana kita punya masalah, atau punggung terasa tegang, kepala sakit, kita merasa ingin marah-marah terus tanpa sebab jelas, kita sudah harus berhati-hati karena kita sudah masuk pada tahap tertekan (distres). Pada tahap yang lebih berat kita bisa “dilumpuhkan” oleh stres. Oleh karena baik untuk mencermati kehidupan kita dan melakukan refleksi sejenak, seberapa banyak stresor dalam kehidupan kita; kemudian menyusun rencana untuk menghadapinya.
Banyak cara untuk menghadapi stres. Salah satu  upaya pencegahannya adalah belajar mensyukuri berkah yang kita terima sekecil apapun dan mengatakan hal positif kepada diri kita sendiri. Cara pandang positif membantu kita untuk menangkal stres. Kita juga bisa belajar mengenali tanda stres yang biasa kita rasakan, seperti jantung berdebar, sulit tidur, bahu tegang, sering sakit kepala atau sakit flu misalnya. Setelah kita sadar, tentu mulailah mawas diri dan atasi sumber stres jika bisa. Jika tidak, maka sedikitnya berupayalah memberikan makna positif terhadap keadaan itu.
Cara lain adalah upaya untuk menangkal stres akibat aktivitas sehari-hari. Untuk itu tinjaulah penggunaan waktu kita sehari-hari; apa yang kita kerjakan sehari-hari. Sudahkah hidup kita seimbang, antara waktu yang kita gunakan untuk penyelesaian tugas, waktu untuk membina hubungan-hubungan, dan waktu untuk diri sendiri. Apakah kita proporsional dalam membagi waktu urusan kerja, hobi, ibadah, dsb. Stephen Covey juga mengajukan inspirasi penting dalam pengelolaan waktu untuk menangkal stres dan meningkatkan efektifitas pribadi kita: first thing first! Maksudnya, selalu buat prioritas hal-hal yang harus kita lakukan dalam hidup kita. Lalu mulailah mengatur waktu dan kegiatan kita dengan hal yang paling penting dan mendesak terlebih dahulu. Hindarkan untuk melakukan atau mempersoalkan hal-hal yang tidak penting dan bukan menjadi prioritas hidup kita. Tak ada yang sempurna dalam hidup ini, jadi jangan menuntut diri sendiri melebihi kapasitas yang ada; walaupun ini tidak boleh diartikan bahwa kita tak perlu bersusah payah mengukir prestasi. Kita juga bisa berlatih relaksasi untuk mengatasi stres.

C.           Menghadapi ledakan amarah

Marah adalah suatu perasaan yang sah dan tak dapat disalahkan. Namun kemarahan perlu dikendalikan agar tidak merusak. Hal ini sangat penting khususnya bagi guru dan orangtua/pengasuh, karena saat kita tak lagi bisa mengendalikan amarah maka kita cenderung melakukan kekerasan pada anak yang kesejahteraannya menjadi bagian dari tanggungjawab kita.
Mulailah dengan memikirkan : seberapa sering kita marah dalam seminggu ini ? Kalau di awal pelatihan kita sudah mengeksplorasi sisi peserta didik (baik pengalaman kita dulu sebagai peserta didik maupun suara anak masa kini), kini apa saja yang telah membuat kita marah (pada sisi guru) ?
Kenalkah kita tanda-tanda saat kita mulai dilanda ledakan amarah ? Misalnya srrt..darah serasa meruap dari bawah ke atas secepat kilat, badan gemetar, dsb. Kenalkah kita di saat kapan kita biasa mengalami hal itu atau cenderung sering mengalami hal itu ? Misalnya untuk kaum perempuan di saat mendekati masa haid, dsb.
Setelah kita mengenali “kebiasaan” ledakan amarah, kita bisa mulai memikirkan beberapa cara untuk menanggulangi ledakan amarah. Lihatlah gambar kemungkinan bagaimana orang bereaksi terhadap amarah. Apakah kita meledak jika marah, atau kita bisa memiliki cara penyaluran, atau kita menekan dalam-dalam kemarahan kita ? Menekan amarah sama sekali bisa merusak ke dalam diri kita sendiri, namun membiarkannya meledak tak terkontrol akan merusak orang lain, anak dalam hal ini.
Salah satu anjuran ketika kita merasakan desakan amarah adalah “time-out”; yaitu tinggalkan kejadian saat anda merasa hendak mengalami ledakan amarah; turunkan emosi misalnya dengan cara relaksasi singkat (paling tidak tarik nafas dalam dan hembuskan dengan melemaskan otot sesaat/ beberapa kali) lalu baru kita bisa kembali dan mendiskusikan/menyampaikan “kemarahan” kita saat emosi (ketergugahan fisiologis) sudah menurun. Sekali lagi, perasaan marah adalah sah. Marah yang tak bisa ditolerir adalah ketika diekspresikan dengan emosi kuat dan cenderung membuat kita “melukai” anak-anak.  Ingatlah tugas kita sebagai guru yang menjadi pelaku utama dalam menyediakan lingkungan perkembangan yang sehat bagi anak di sekolah. Untuk itu saat menyampaikan kemarahan kita, usahakan untuk menggunakan pesan “saya” dan nyatakan secara eksplisit harapan kita kepada anak. Misalnya “Saya marah sekali karena kamu berdua saling memukul. Saya harap kalian menyelesaikan persoalan dengan cara damai, negosiasikan”. Pada prinsipnya, jauhkan emosi dari pernyataan kemarahan kita, karena emosi mengaburkan pesan pendidikan yang hendak kita sampaikan kepada si anak. Ketika kita masih diwarnai emosi kuat, yang cenderung akan muncul misalnya adalah sumpah serapah atau tangan melayang untuk memukul. Dengan cara ini anak sering hanya menangkap emosi kemarahan kita dan menerjemahkannya menjadi rasa tidak senang/sayang dari si guru/orangtua kepada mereka dan mereka justru tidak belajar perilaku yang seharusnya mereka ubah.
Ada sebagian orang yang menurunkan ledakan amarah dengan mendengar/memainkan musik, memukul karung/guling pasir atau bantal atau melakukan latihan “kesetrum” (di tempat yang tidak menimbulkan gangguan dan/atau tanda tanya bagi orang lain tentunya), dan cara-cara lain yang intinya menghindari ledakan langsung kepada anak. Program mengelola ledakan amarah (anger management) dari IMHI (Institute for Mental Health Initiatives) menganjurkan cara RETHINK (secara harfiah berarti pikirkan kembali, tetapi ini juga merupakan akronim dari langkah-langkah mengelola ledakan amarah).
Upaya RETHINK ini mengindikasikan kenyataan bahwa emosi (termasuk kemarahan) diproses awalnya di bagian otak yang disebut amygdala, tetapi proses ini bisa ditarik ke bagian otak yang menganalisis (korteks). Dengan demikian manusia bisa bertindak tanpa dikontrol oleh emosinya semata.
Langkah-langkah cara RETHINK untuk mengelola ledakan amarah sebagai berikut:
1.              Recognize : kenali saat anda marah, apa pemicunya, apa yang anda pikirkan, saat apa dan kepada siapa anda marah.
2.              Empati : belajarlah merasakan apa yang dirasakan/dipikirkan orang lain. Mulai dari diri anda dan gunakan pesan “saya” untuk menunjukkan kepada sasaran amarah anda apa yang anda rasakan dengan tenang.
3.        Think : pikirkan kata-kata yg anda ucapkan, bisakah diucapkan dengan cara lain, adakah sisi lucu dari apa yg anda alami.
4.        Hear : dengarkan apa yg dikatakan orang lain. Kaitannya dengan empati, anda coba memahami apa yg coba dikomunikasikan melalui perbuatan/perkataan orang lain kepada anda.
5.        Integrate : tunjukkan bahwa ekspresi marah anda bukan merupakan ekspresi perasaan anda kepada anak, melainkan pada perilaku yang ditampilkannya. Kemarahan yang sesuai biasanya tidak diikuti oleh emosi tinggi pada ybs.
6.   Notice : kenali tanda tubuh saat anda marah misalnya dada/jantung anda, tengkuk/leher, dsb.
7.      Keep the problem at present and proportional. Saat kita marah kita sering sekali membawa-bawa urusan masa lalu atau hal lain yang tidak relevan dengan keadaan/kesalahan anak saat itu. Ini tidak sehat baik bagi kita maupun bagi anak. Fokuskan kemarahan kita hanya pada perilaku anak atau situasi saat itu saja. Pilih dengan seksama situasi yang akan kita permasalahkan – fokus pada hal yang keterlaluan dan di mana kontrol perubahan terdapat pada diri anak, hindari dorongan untuk merujuk kejadian masa lampau.
Teruslah berlatih karena ketrampilan ini tidak bisa muncul begitu saja, apalagi jika kita sebelumnya terbiasa membiarkan amarah kita meledak begitu saja.
*** Disarikan dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar