Banyaknya lembaga pendidikan
berlabelkan Muhammadiyah dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi
juga pesantren, yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bukan KH. Ahmad
Dahlan pendirinya. Akan tetapi, ormas bernama Muhammadiyah yang menaungi semua
lembaga pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan lah yang mendirikannya. Berbicara
tentang pendidikan di Indonesia, tak bisa lepas dari sosok Ahmad Dahlan. Dan
berbicara tentang Ahmad Dahlan, tak bisa lepas dari perannya di dunia
pendidikan. Wajar jika sebagian kalangan menilai, bahwa Ahmad Dahlan lah
sejatinya bapak pendidikan Indonesia, bukan Ki Hajar Dewantoro yang nasib
lembaga pendidikan Taman Siswanya tak jelas, bagaikan hidup segan mati tak mau. Sebagai salah satu
organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, pendidikan telah
menjadi trade-mark gerakan Muhammadiyah. Sebagai pendirinya, Ahmad
Dahlan mempunyai peran yang sangat besar dalam hal ini. Sangat wajar, jika
kemudian Ahmad Dahlan ditahbiskan sebagai seorang tokoh pembaru pendidikan oleh
sebagian kalangan. Sepeninggalnya, pemikiran-pemikirannya tentang dan dalam
dunia pendidikan diteruskan oleh para murid dan generasi pelanjutnya.
B. Pemikiran
Pendidikan Ahmad Dahlan
1. Sekilas tentang Ahmad Dahlan
Lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada
1 Agustus 1868 M, Dahlan kecil diberi nama Muhammad Darwisy oleh kedua
orangtuanya. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya
perempuan, kecuali adik bungsunya. Keluarganya dikenal didaktis dan alim dalam
ilmu agama. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar, seorang imam dan khatib Masjid Besar
Kraton Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri KH. Ibrahim yang
pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta. Dalam
silsilahnya, ia tercatat sebagai keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang wali songo yang merupakan pelopor pertama dari
penyebaran dan pengembangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Silsilahnya lengkapnya
ialah: Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kyai
Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung
Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana
Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana
Malik Ibrahim. Sejak
kecil Muhammad Darwisy dididik oleh ayahnya sendiri. Pendidikan dasarnya
dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur`an dan kitab-kitab
agama. Selain belajar pada ayahnya, Darwisy juga belajar fiqih pada KH. Muhammad
Saleh, belajar nahwu pada KH. Muhsin, belajar ilmu falak pada KH. R. Dahlan,
belajar hadits pada KH. Mahfuz dan Syaikh Khayyat Sattokh, dan belajar qiraat
pada Syaikh Amin dan Syaikh Sayyid Bakri. Setelah menimba ilmu pada sejumlah
guru di Tanah Air, Muhammad Darwisy berangkat ke tanah suci pada tahun 1883 M
saat usianya menginjak 15 tahun. Lima tahun di sana, Darqis menuntut ilmu agama
dan bahasa Arab.
2. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan
Membaca kisah hidupnya, KH. Ahmad
Dahlan adalah seorang pendidik, muballigh, dan organisatoris sejati Namun dalam
masalah ide dan pemikiran, tampaknya Ahmad Dahlan tidak sehebat yang
digambarkan oleh warga Muhammadiyah yang hampir-hampir mengultuskannya. Mungkin
dikarenakan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah dan mengajar,
–sepengetahuan kami– tidak ada satu buku pun yang ditulis oleh Ahmad Dahlan
sebagai peninggalan karya ilmiah intelektualnya. Ahmad Dahlan memang
seorang pelaku atau praktisi. Dia mendirikan sendiri model lembaga pendidikan
yang diinginkannya; sekolah yang menerapkan pengajaran ilmu agama Islam
sekaligus ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1910, bertempat di ruang tamu
rumahnya sendiri yang berukuran 2,5 m x 6 m, sekolah itu pun terwujud. Sekolah
pertama itu dimulai dengan delapan orang siswa di mana Ahmad Dahlan sendiri
bertindak sebagai guru.
Semula, proses belajar mengajar belum
berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitar, para siswa yang
hanya delapan orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk
mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan
meminta mereka masuk kembali. Dan pada tahun 1911, sekolah yang didirikan Ahmad
Dahlan diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika
diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa, dan enam bulan bertambah
menjadi 62 orang Ini adalah sekolah pertama yang didirikan Ahmad Dahlan
sekaligus cikal bakal sejumlah sekolah yang di kemudian hari juga beliau
dirikan bersama Muhammadiyah. Kemudian, pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah
ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem
pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta
pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Selanjutnya, pada tahun 1913Ahmad
Dahlan mendirikan sekolah di Karangkajen, Yogyakarta. Lalu, pada tahun 1915
mendirikan sekolah di Lempuyangan, Yogyakarta. Tahun 1916 mendirikan sekolah di
Pasargede (sekarang Kotagede). Dan pada tahun 1918 mendirikan sekolah bernama
Al-Qismul Arqa di Kauman Yogyakarta. Sekolah terakhir ini selanjutnya pindah ke
Patangpuluhan dan berganti nama menjadi Hogere Muhammadijah School, kemudian
berubah lagi menjadi Kweekschool Islam, dan menjadi Kweekschool Muhammadijah,
yang akhirnya pada tahun 1941 berganti nama menjadi Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah sampai sekarang. Berikutnya, pada tahun 1920, Ahmad Dahlan
mendirikan gerakan kepanduan bernama Padvinders Muhammadiyah, di mana kemudian
atas usul KRH Hadjid, nama pandu itu diganti menjadi Hizbul Wathon. Namun
demikian, sekalipun Ahmad Dahlan banyak mendirikan sekolah, bukan berarti Ahmad
Dahlan "mewajibkan" warga Muhammadiyah agar bersekolah di lembaga
pendidikan yang dia dirikan. Justru Ahmad Dahlan mengatakan, "Muhammadiyah
sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang. Maka teruslah kamu
bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan di mana saja. Jadilah guru, kepada
Muhammadiyah. Jadilah meester, insinyur, dan lain-lain dan kembalilah kepada
Muhammadiyah."
Memberikan teladan bagi pendidik adalah
suatu keniscayaan. Tak ada pendidikan yang berhasil tanpa contoh dari si
pendidik. Demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam, dan demikian pula yang hendak dipraktikkan oleh KH. Ahmad Dahlan.
H. Hadjid menuturkan bahwa Ahmad Dahlan membagi pelajaran menjadi dua bagian,
yaitu [1] belajar ilmu, yakni pengetahuan atau teori; dan [2] belajar amal,
yakni mengerjakan atau mempraktikkan. Menurut Ahmad Dahlan, semua pelajaran
harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian pula
dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum
dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah. Kyai Dahlan lalu
menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat Al-Ma’un bukan menghafal atau
membaca, tapi lebih penting dari itu semua, adalah melaksanakan pesan surat
Al-Ma’un dalam bentuk amalan nyata. Lalu Ahmad Dahlan berkata, “Oleh karena
itu, setiap orang harus keliling kota mencari anak-anak yatim, bawa mereka
pulang ke rumah, berikan sabun untuk mandi, pakaian yang pantas, makan dan
minum, serta berikan mereka tempat tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini
kita tutup, dan laksanakan apa yang telah saya perintahkan kepada kalian.”
Menurut Ahmad Dahlan, istilah mengamalkan bukan saja sebatas menghafal dan
menjadikan surat pendek dalam al-Qur`an itu dibaca dalam setiap shalat,
melainkan menjadikannya sebagai pedoman dan sekaligus dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pendidikan
Tauhid, Tauhid di atas segalanya. Demikianlah
seharusnya. Allah menciptakan manusia dan jin tak lain hanya untuk
menyembah-Nya. Menyembah Allah harus mentauhidkan-Nya. Manusia sama sekali tak
menyertakan makhluk lain selain-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah syirik,
di mana pelakunya tak diampuni oleh-Nya jika belum bertaubat hingga ajal
menjemput. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba, harus ikhlas hanya
diperuntukkan kepada-Nya. KH. Ahmad
Dahlan mengatakan, bahwa manusia dilarang menghambakan diri kepada siapa pun
atau benda apa pun juga, kecuali hanya kepada Allah semata. Barangsiapa yang
menghambakan diri kepada hawa nafsunya, artinya mengerjakan apa saja yang
diinginkan dengan didorong oleh hawa nafsu, itu musyrik namanya. Barangsiapa
yang mengikuti kebiasaan yang menyalahi hukum Allah Yang Maha Agung, itulah
yang disebut menyembah hawa nafsunya. Padahal kita manusia, tidak diperbolehkan
menaruh rasa cinta kepada siapa pun juga melebihi rasa cinta kasihnya terhadap
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Pendidikan
Kepribadian, Memisalkan dengan Sayyid Ahmad Khan
(tokoh pembaru Islam di India), Prof. Abuddin menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan
mempunyai pandangan yang sama dalam hal pentingnya pembentukan kepribadian
dalam pendidikan. Ahmad Dahlan berpandangan, bahwa untuk mencapai tujuan
materil, bekal ketrampilan juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh siswa
didik, selain ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan demikian, secara tak langsung
sesungguhnya Ahmad Dahlan telah mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan
model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat
relevansinya dengan perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar