Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa
Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang
pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang
menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin),
samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini
didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan
perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai
serangan.
Al-Ghazali
adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam
satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang
sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar
ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din
al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya
adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada
tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke
Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/
1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19
Januari tahun 1111 M.
2.
Pemikiran Pendidikan Al Ghazali
Faham
yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut
dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui
rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, yang ia
ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و
َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ
الْمَوْجُوْدَاتِ.
Menurutnya
ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah
seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan
hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia
juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak
akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan
kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir
orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan
kata-kata itu. Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya
dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi
al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi
mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada
manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah
dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang
sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan
lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Al-Ghazali adalah orang yang banyak
mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena
itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi
segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan
pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu
merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta
sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu ia
menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa
kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran
itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat.
Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada
tujuan yang jelas.
Mengingat pendidikan itu penting
bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a. Mendekatkan
diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri
melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b. Menggali
dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c. Mewujudkan
profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d. Membentuk
manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat
tercela.
e. Mengembangkan
sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan
menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi
tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu
pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita
selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia)
yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut
guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan. Oleh
karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat
mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini
berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu
berkedudukan sebagai murid.
Manusia adalah subyek pendidikan,
sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu
harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut
al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya
secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini,
dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa
memerlukan bukti atau dalil. Sehingga dengan pentahapan
ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
a.
Metode khusus
pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai
dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan
pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa
menunjang penguatan akidah.
b.
Metode khusus
pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang
mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya
pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka
al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan
akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam
pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan
itu ada 2 yaitu :
a.
Kesempurnaan
insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b.
Kesempurnaan
insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam memahami konsep pendidikan al-Ghazali kita perlu
memahami tentang berbagai aspek-aspek pendidikan yang telah dijelaskan oleh
al-Ghazali dalam berbagai karyanya. Dr. Abduddin Nata dalam bukunya Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam membagi ke dalam lima aspek; tujuan pendidikan,
kurikulum, metode, etika guru, dan murid.
1. Tujuan
Pendidikan
Seorang guru baru
dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang
mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru
dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali dapat diketahui dengan
jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua,
pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri
kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan
dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar
mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan
itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah
duniawi. Dari
tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali tampak bahwa corak
pendidikan yang dikehendaki oleh al-Ghazali adalah corak pendidikan yang
agamis. Namun demikian beliau juga tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan.
Hanya saja dalam pandangannya dunia merupakan kebun untuk menuju kehidupan yang
kekal abadi atau kehidupan akhirat yang lebih utama.
Selain bercorak
religi konsep pendidikan al-Ghazali juga cenderung pada sisi keruhanian.
Sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak Tasawuf. Maka sasaran
pendidikan, menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat.
Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai
sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat manusia
bahagia di dunia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi
bahagia di akhirat kelak.Dari ungkapan diatas dapat kita fahami bahwa ilmu
merupakan modal kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan ilmu adalah amal yang
utama.
2.
Kurikulum
Konsep
kurikulum al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya tentang ilmu pengetahuan.
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.
Ilmu yang tercela,
sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat,
seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan
membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan
Allah SWT.
b.
Ilmu yang terpuji,
sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini
dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan
keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c.
Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan
tidak boleh didalami, karena dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu
filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a.
Ilmu yang fardhu
(wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama
b.
Ilmu yang merupakan
fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk
memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu
pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a.
kecenderungan agama
dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama
di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan
membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka
al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini
berkaitan erat dengan ilmu agama.
b.
kecenderungan
pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa
kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia,
baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa
ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi
al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk
amaliyah.
3.
Metode
Mengenai
metode pendidikan Al-Ghazali lebih menekankan pada metode pengajaran agama pada
anak-anak. Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang
memerlukan hubungan yang erat antara guru dan murid. Dengan demikian faktor
keteladanan merupakan faktor utama dalam metode pendidikannya.
4.
Kriteria Guru Yang Baik
Menurut
Al-Ghazali selain cerdas dan sempurna akalnya, seorang guru yang baik juga
harus baik akhlak dan kuatfisiknya. Dengan kesempurnaan akalia dapat menguasai
berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhal yang baik ia dapat
menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia
dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain
sifat umum diatas seorang guru menurut Al-Ghazali juga harus memiliki
sifat-sifat khusus yang diantaranya adalah kasih sayang, tidak menuntut upah
atas apa yang dikerjakannya, berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur
dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya
mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang
sebelumnya. Seorang guru yang baik harus menggunakan cara yang simpatik, halus,
dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian, dan sebagaianya. Seorang guru
juga tampil sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia
juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi secara individual
dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat erbedaan yang dimiliki muridnya.
Seorang guru juga harus mampu memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan kejiwaan
muridnya sesuai dengan perbedaan tingkat usianya. Dan yang terakhir seorang
guru yang baik harus berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya, serta
berupaya merealisasikannya sedemikian rupa. Dari sifat-sifat
diatas tampak bahwa sifat-sifat diatas masih relevan dan sejalan dengan
pendidikan saat ini.
5.
Kriteria Murid Yang Baik
Pendidikan bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga bernilai ibadah. Untuk
menurut Al-Ghazali seorang murid yang baik harus memiliki sifat :
a.
Berjiwa bersih,
terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya.
b.
Menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan
duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat
mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
c.
Rendah hati dan
tawadhu’.
d.
Khusus bagi murid
yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang berlawanan atau pendapat yang saling
berlawanan atau bertentangan.
e.
Mendahulukan
mempelajari yang wajib.
f.
Mempelajari ilmu
secara bertahap.
g.
Tidak mempelajari
suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu
itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami. Dimana sebagian merupakan
jalan menuju sebagian yang lain.
h.
Seorang murid juga
harus mengenal nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar