Senin, 21 April 2014

Pemikiran Pendidikan Al Ghazali



                 
1.      
Sekilas tentang Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di desa Thus. Wilayah Khurasan, Iran pada tahun 450 H/ 1058 M. ayahnya seorang pengrajin wol dan pedagang hasil tenun. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (hujjatul Islam), hiasan agama (Zainuddin), samudra yang menghanyutkan (bahrun mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.
Al-Ghazali adalah orang yang pertama kali menggabungkan antara sufisme dan syari’ah dalam satu sistem. Ia belajar ilmu pertama kali pada seorang sufi di negara Thus, kemudian ia pindah ke Jurjan dan Naisabur untuk belajar ilmu agama pada ulama besar yang termashur yaitu Imam al-Haramain Diya al-Din al-Juwaini, ia seorang direktur sekolah di Naisabur, ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu fiqih, ushul fiqih, mantiq, dan ilmu kalam.
Pada tahun 478 H/ 1058 M al-Ghazali bermukim di al-Muaskar dan kemudian pindah ke Baqhdad untuk menjadi dosen di Perguruan Tinggi Ridzamiyah pada tahun 484 H/ 1091 M. Ia meninggal di Thus pada tangal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 19 Januari tahun 1111 M.
 2.       Pemikiran Pendidikan Al Ghazali
Faham yang dibawanya adalah “al-Ma’rifah” sehingga karena jasanyalah tasawuf tersebut dapat diterima dikalangan ahli syari’at. Menurutnya ma’rifat adalah mengetahui rahasia tuhan dan mengetahui peraturannya, mengenai segala yang ada, yang ia ungkapkan dalam ucapannya yaitu :
الاِطِّلاَعُ عَلَى اَسْرَارِالرُّبِيَةِ و َالْعِلْمُ بِتَرَتُّبِ اْلاُمُوْرِاْلاِلهِيَةِ الْمُحِيْطَةِ بِكُلِّ الْمَوْجُوْدَاتِ.
Menurutnya ma’rifat dalam tasawuf adalah suatu tingkat di mana hijab hilang didepan wajah seorang sufi, sehingga ia dengan hati sanubarinya dapat melihat Tuhan dan hal-hal lain yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa.
Ia juga menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan, ia tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah atau Ya Rabb, karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir orang yang berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata itu. Baginya ma’rifat lebih dulu urutannya dari pada mahabah, karena mahabah timbuh dari ma’rifat dan mahabah bagi al-Ghazali bukanlah mahabah sebagaimana yang di ucapkan oleh rabiah, tetapi mahabah baginya adalah dalam bentuk cinta seorang kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Mahabah dan ma’rifat adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal.
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang pengajaran dan pendidikan. Oleh karena itu ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan melebihi segala-galanya. Oleh sebab itu menguasai ilmu baginya termasuk tujuan pendidikan dengan melihat nilai-nilai yang dikandungnya dan karena ilmu itu merupakan jalan yang akan mengantarkan anda kepada kebahagiaan di akhirat serta sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu ia menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Maka sistem pendidikan itu haruslah mempunyai filsafat yang mengarahkan kepada tujuan yang jelas.
Mengingat pendidikan itu penting bagi kita, maka al-Ghazali menjelaskan juga tentang tujuan pendidikan, yaitu :
a.       Mendekatkan diri kepada Allah, yang wujudnya adalah kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah.
b.      Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia.
c.       Mewujudkan profesionalitas manusia untuk mengemban tugas keduniaan dengan sebaik-baiknya.
d.      Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela.
e.       Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Bertolak dari pengertian pendidikan menurut al-Ghazali, dapat di mengerti bahwa pendidikan merupakan alat bagi tercapainya suatu tujuan. Pendidikan dalam prosesnya memerlukan alat, yaitu pengajaran atau ta’lim. Sejak awal kelahiran manusia sampai akhir hayatnya kita selalu bergantung pada orang lain. Dalam hal pendidikan ini, orang (manusia) yang bergantung disebut murid sedangkan yang menjadi tempat bergantung disebut guru. Murid dan guru inilah yang disebut sebagai subyek pendidikan. Oleh karena itu arahan pendidikan al-Ghazali menuju manusia sempurna yang dapat mendcapai tujuan hidupnya yakni kebahagiaan dunia dan akhirat yanghal ini berlangsung hingga akhir hayatnya. Hal ini berarti bahwa manusia hidup selalu berkedudukan sebagai murid.
Manusia adalah subyek pendidikan, sedangkan pendidikan itu sangat penting bagi manusia, maka dalam pendidikan itu harus diperhatikan tentang kurikulumnya. Kurikulumnya pendidikan menurut al-Ghazali adalah materi keilmuan yang disampaikan kepada murid hendaknya secara berurutan, mulai dari hafalan dengan baik, mengerti, memahami, meyakini, dan membenarkan terhadap apa yang diterimanya sebagai pengetahuan tanpa memerlukan bukti atau dalil. Sehingga dengan pentahapan ini melahirkan metode khusus pendidikan, menurut al-Ghazali yaitu :
a.      Metode khusus pendidikan agama
Menurut al-Ghazali metode ini pada prinsipnya di mulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran, setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang bisa menunjang penguatan akidah.
b.      Metode khusus pendidikan ahklak
Akhlak menurut al-Ghazali adalah : suatu sikap yang mengakar dalam jiwanya yang melahirkan berbagai perbuatan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran terlebih dahulu.
Dengan adanya metode tersebut, maka al-Ghazali menyimpulkan bahwa pendidikan itu harus mengarah kepada pembentukan akhlak mulia, sehingga Ia menjadikan al-Qur’an sebagai kurikulum dasar dalam pendidikan. Ia juga menyimpulkan bahwa tujuan akhir pendidikan dan pembinaan itu ada 2 yaitu :
a.      Kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
b.      Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam memahami konsep pendidikan al-Ghazali kita perlu memahami tentang berbagai aspek-aspek pendidikan yang telah dijelaskan oleh al-Ghazali dalam berbagai karyanya. Dr. Abduddin Nata dalam bukunya Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam membagi ke dalam lima aspek; tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru, dan murid.
1.       Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan ada dua, pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT, kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi. Dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali tampak bahwa corak pendidikan yang dikehendaki oleh al-Ghazali adalah corak pendidikan yang agamis. Namun demikian beliau juga tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Hanya saja dalam pandangannya dunia merupakan kebun untuk menuju kehidupan yang kekal abadi atau kehidupan akhirat yang lebih utama.
Selain bercorak religi konsep pendidikan al-Ghazali juga cenderung pada sisi keruhanian. Sejalan dengan filsafat al-Ghazali yang bercorak Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Dan manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat manusia bahagia di dunia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.Dari ungkapan diatas dapat kita fahami bahwa ilmu merupakan modal kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan ilmu adalah amal yang utama.
2.        Kurikulum
Konsep kurikulum al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya tentang ilmu pengetahuan. Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.      Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
b.      Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
c.        Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karena dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.

Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian dilihat dari kepentingannya, yaitu:
a.      Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama
b.      Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti: ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.

Dalam menyusun kurikulum pelajaran, al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
a.       kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini berkaitan erat dengan ilmu agama.
b.       kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.
 3.       Metode
Mengenai metode pendidikan Al-Ghazali lebih menekankan pada metode pengajaran agama pada anak-anak. Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan merupakan faktor utama dalam metode pendidikannya.
4.       Kriteria Guru Yang Baik
Menurut Al-Ghazali selain cerdas dan sempurna akalnya, seorang guru yang baik juga harus baik akhlak dan kuatfisiknya. Dengan kesempurnaan akalia dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik, dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang guru menurut Al-Ghazali juga harus memiliki sifat-sifat khusus yang diantaranya adalah kasih sayang, tidak menuntut upah atas apa yang dikerjakannya, berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik harus menggunakan cara yang simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian, dan sebagaianya. Seorang guru juga tampil sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi secara individual dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat erbedaan yang dimiliki muridnya. Seorang guru juga harus mampu memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan perbedaan tingkat usianya. Dan yang terakhir seorang guru yang baik harus berpegang teguh pada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya merealisasikannya sedemikian rupa. Dari sifat-sifat diatas tampak bahwa sifat-sifat diatas masih relevan dan sejalan dengan pendidikan saat ini.
5.       Kriteria Murid Yang Baik
Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga bernilai ibadah. Untuk menurut Al-Ghazali seorang murid yang baik harus memiliki sifat :
a.      Berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya.
b.      Menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
c.       Rendah hati dan tawadhu’.
d.      Khusus bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang berlawanan atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan.
e.      Mendahulukan mempelajari yang wajib.
f.        Mempelajari ilmu secara bertahap.
g.      Tidak mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami. Dimana sebagian merupakan jalan menuju sebagian yang lain.
h.      Seorang murid juga harus mengenal nilai dari setiap ilmu yang dipelajarinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar