A. Latar
Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian vital dalam
kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya-
berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam)
selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon
perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan
Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati
(eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih. Dalam kenyataannya,
di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan
dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan (Syed Sajjad Husein &
Syed Ali Ashraf, 1986). Lebih dari itu, Isma’il Raji Al-Faruqi (1988: vii)
mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk dalam hal pendidikan di
kalangan dunia Islam. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan
(modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan
umat Islam.
Pada persoalan kurikulum keilmuan
misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara
parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran
pendidikan Islam di era global sering dipertanyakan. Masih terdapat pemahaman
dikotomis keilmuan dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam sering hanya
difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai (values)
ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial
(social sciences guestiswissenchaften) dan ilmu-ilmu alam (nature sciences/
naturwissenchaften) dianggap pengetahuan yang umum (sekular). Padahal Islam tidak
pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling terkait) antara ilmu-ilmu
agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi
kemaslahatan umat manusia.
B. Pemikiran
Pendidikan Naquib Al Attas
1. Sekilas tentang Naquib Al Attas
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir dibogor, Jawa
Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein
Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala
Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan
ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura,
Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan
ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid. Riwayat pendidikan
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas),
sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal
bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu
Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee
Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke
Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah
Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia
kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul
Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga
menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun
1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di
English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955)
hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan
melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc
Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian
melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun
1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D.
2. Pemikiran Pendidikan Naquib Al Attas
Apabila ditelaah dengan cermat, format
pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia
berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan
terpadu. Hal
tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan
pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus
mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil).
Insan kamil yang dimaksud adalah
manusia yang bercirikan:
pertama; manusia yang seimbang,
memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian;
a)
dimensi isoterikvertikal
yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah;
b)
dimensi eksoterik,
dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial
alamnya.
Kedua; manusia seimbang dalam kualitas
pikir, zikir dan amalnya (achmadi, 1992: 130).
Maka untuk menghasilkan manusia
seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal
dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu. Indikasi lain yang
mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki
terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem
pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas
untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus
menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu
agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.
Dari deskripsi di atas, dapat dilacak
bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada
pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan
dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib
(adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan
bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat
proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di
masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda
dapat dikatakan bahwa pnggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi
pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada
dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada
aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif
(sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan
aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama.
Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental,
yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang
dikembangkan B.S.Bloom dkk. (Muhaimin, 1991 : 1971: 72-73). Domain iman amat
diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut
hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana
akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang
bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan
titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan
dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan. Kondisi
obyektif pendidikan Islam dewasa ini Untuk memotret bagaimana kondisi dunia
pendidikan Islam dewasa ini, setidaknya bisa dicerna pandangan dan penilaian
kritis para cendekiawan muslim, dimana secara makro dapat disimpulkan bahwa ia
masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Walaupun statemen
ini berupa tesis atau hipotesa yang perlu dikaji ulang, tetapi ia sangat
penting sebagai cermin dan refleksi untuk memperbaiki wajah pendidikan Islam
yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Isma'il Raji Al-Faruqi dalam
karya monumentalnya islamization of knowlegde: general principles and workplan
mensinyalir bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat memprihatinkan, berada di
bawah anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Mengenai kondisi ini, ia menulis the whole world nomdays is led to thing that
the religion of islam standas at the root of all evils (Al-Faruqi, 1995: x).
Dalam bukunya Al-Tawhid, ia menambahkan bahwa : the ummah of islam is undeniabley the most unhappy ummah in modern
times (Al-Faruqi, 1994: xiii). Al-Faruqi meyakini bahwa kondisi umat islam
yang memprihatinkan ini, disebabkan oleh sistem pendidikan yang dipakai
jiplakan dari sistem pendidikan Barat, baik materi maupun metodologinya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat
Islam di seluruh dunia sedang berada dalam arus perubahan yang sangat dahsat
seiring datangnya era globalisasi dan informasi. Sebagai masyarakat mayoritas
dalam dunia ketiga, sungguhpun telah berusaha menghindari pengaruh
westernisasi, tetapi dalam kenyataannya modernisasi yang diwujudkan melalui
pembangunan berbagai sektor termasuk pendidikan, intervensi dan westernisasi
tersebut sulit dielakkan. Sehubungan dengan itu Fazlur Rahman
Anshari yang selanjunya dikutip oleh Muhaimin, menyatakan : bahwa dunia Islam
saat ini menghadapi suatu krisis yang belum pernah dialami sepanjang
sejarahnya, sebagai akibat dari benturan peradaban Barat dengan dunia Islam. Khursyid Achmad,
seorang pakar muslim asal Pakistan, mencatat empat kegagalan yang ditemui oleh
sistem pendidikan Barat yang liberal dan sekuler, yaitu:
Pertama, pendidikan telah gagal
mengembangkan cita-cita kemasyarakan di kalangan pelajar.
Kedua, pendidikan semacam ini gagal
menanamkan nilai moral dalam hati dan jiwa generasi muda. Pendidikan semacam
ini hanya memenuhi tuntutan pikiran, tetapi gagal memenuhi kebutuhan jiwa.
Ketiga, pendidikan liberal membawa
akibat terpecah belahnya ilmu pengetahuan. Ia gagal menyusun atau menyatukan
ilmu dalam kesatuan yang utuh.
Empat, selanjutnya pendidikan liberal
menghasilkan manusia yang tiadak mampu menghadapi masalah kehidupan yang
mendasar. Sementara Al-Attas melihat bahwa universitas modern (baca:Barat)
tidak mangakui eksistensi jiwa atau semangat yang ada pada dirinya, dan hanya
terikat pada fungsi administratif pemeliharaan pembangunan fisik.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi
pendidikan dewasa ini, secara makro telah terkontaminasi dan terinvensi konsep
pendidikna Barat. Dimana paradigma pendidikan Barat tersebut secara garis besar
dapat dikatakan hanya mengutamakan pengejaran pengetahuan ansich, menitik
beratkan pada segi teknik empiris, sebaliknya tidak mengakui eksistensi jiwa,
tidak mempunyai arah yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
Menuju paradigma pendidikan Islam, Melihat kondisi
pendidikan dewasa ini sebagaimana telah dideskripsikan, maka peniruan terhadap
konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan dengan
cita-cita pendidikan Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk
mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita islam.
Dalam wacana ilmiah, setidaknya dapat
dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang pentingnya realisasi paradigma
pendidikan Islam.
Pertama, Islam sebagai wahyu Allah yang
meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akherat,
baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui
pendidikan. Disamping itu secara fungsional Nabi Muhammad, sendiri di utus oleh
Allah sebagai pendidikan utama manusia.
Kedua, ilmu pendidikan sebagai ilmu
humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan norma-norma
tertentu. Disini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan sentral norma
dalam ilmu pendidikan itu.
Ketiga, dalam memecahkan dan
menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung mengambil sikap
seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro maupun mikro diyakini
dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat, padahal
yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh karena itu, nilai-nilai ideal
Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara kritis fenomena
kependidikan
Aktualisasi konsep Al-Attas dalam
pendiikan Islam masa kini Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif
dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya,
maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta'dib yang
ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi
serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan
dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia
merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu
pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius.
Secara ilmiah Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga
menjadi sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal
yang naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam
menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan
filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis
maupun aksiologis.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam
dan Sekularisme, 1981, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka, cet I,
Jakarta.
Achmadi, 1988, Ilmu pendidikan Islam II,
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, salatiga.
Al-Syaibany, Oemar M. Al-Thoumy, 1979, Falsafah
Pendidikan Islam, Alih bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989
Muhadjir, Noeng, 1987, Ilmu Pendidikan
dan Perubahan Sosial: suatu teori pendidikan, Rake sarasin, Yogyakarta.
Muhaimain, 1991, Konsepsi Pendidikan
Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani, Solo.
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat
Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan
Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi
Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar