Jumat, 18 April 2014

PEMIKIRAN PENDIDIKAN NAQUIB AL ATTAS


     A.   Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama Islam) – dengan berbagai coraknya- berorientasi memberikan bekal kepada manusia (peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah mati (eskatologis); tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih. Dalam kenyataannya, di kalangan dunia Islam telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan dan problem lain yang amat mendesak untuk dipecahkan (Syed Sajjad Husein & Syed Ali Ashraf, 1986). Lebih dari itu, Isma’il Raji Al-Faruqi (1988: vii) mensinyalir bahwa didapati krisis yang terburuk dalam hal pendidikan di kalangan dunia Islam. Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam.
Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran pendidikan Islam di era global sering dipertanyakan. Masih terdapat pemahaman dikotomis keilmuan dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowledge) dan nilai-nilai (values) ajaran Islam yang tertuang dalam teks-teks agama, sedangkan ilmu-ilmu sosial (social sciences guestiswissenchaften) dan ilmu-ilmu alam (nature sciences/ naturwissenchaften) dianggap pengetahuan yang umum (sekular). Padahal Islam tidak pernah mendikotomikan (memisahkan dengan tanpa saling terkait) antara ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.

B.     Pemikiran Pendidikan Naquib Al Attas

       1.   Sekilas tentang Naquib Al Attas
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir dibogor, Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah AL-Attas, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan Al-Idrus, keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yangterkenal dari kalangan sayid. Riwayat pendidikan Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas (selanjutnya akan disebut Al-Attas), sejak ia masih kecil berusia 5 tahun. Ketika ia berada di Johor Baru, tinggal bersama dan di bawah didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan Ibu Azizah hingga perang kedua meletus. Pada tahun 1936-1941, ia belajar di Ngee Neng English Premary Schoool di Johor Baru. Pada zaman Jepang ia kembali ke Jawa Barat selama 4 tahun. Ia belajar agama dan bahasa Arab Di Madrasah Al-Urwatul Wutsqa di Sukabumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945. Tahun 1946 ia kemabali lagi ke Johor Baru dan tinggal bersama saudara ayahnya Engku Abdul Aziz (menteri besar Johor Kala itu), lalu dengan Datuk Onn yang kemudian juga menjadi menteri besar Johor (ia merupakan ketua umum UMNO pertama). Pada tahun 1946, Al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru tahun 1946-1949. Kemudian masuk tentara (1952-1955) hingga pangkat Letnan. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dan melanjutkan kuliah di University Malaya tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University, Montreal, Kanada, dan mendapat gelar M. A. Tidak lama kemudian melanjutkan lagi pada program pascasarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D.

                       2.   Pemikiran Pendidikan Naquib Al Attas
Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu. Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil).
Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian;
a)            dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah;
b)           dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.
Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (achmadi, 1992: 130).
Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu. Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.
Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta'dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa pnggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif (sensual–logis) dan psikomotorik (sensual-empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikembangkan B.S.Bloom dkk. (Muhaimin, 1991 : 1971: 72-73). Domain iman amat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman, yang bersumber dari wahyu, yaitu Al-Qur'an dan Al-Hadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.  Kondisi obyektif pendidikan Islam dewasa ini Untuk memotret bagaimana kondisi dunia pendidikan Islam dewasa ini, setidaknya bisa dicerna pandangan dan penilaian kritis para cendekiawan muslim, dimana secara makro dapat disimpulkan bahwa ia masih mengalami keterjajahan oleh konsepsi pendidikan Barat. Walaupun statemen ini berupa tesis atau hipotesa yang perlu dikaji ulang, tetapi ia sangat penting sebagai cermin dan refleksi untuk memperbaiki wajah pendidikan Islam yang dicita-citakan.
Prof. Dr. Isma'il Raji Al-Faruqi dalam karya monumentalnya islamization of knowlegde: general principles and workplan mensinyalir bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat memprihatinkan, berada di bawah anak tangga bangsa-bangsa terbawah. Mengenai kondisi ini, ia menulis the whole world nomdays is led to thing that the religion of islam standas at the root of all evils (Al-Faruqi, 1995: x). Dalam bukunya Al-Tawhid, ia menambahkan bahwa : the ummah of islam is undeniabley the most unhappy ummah in modern times (Al-Faruqi, 1994: xiii). Al-Faruqi meyakini bahwa kondisi umat islam yang memprihatinkan ini, disebabkan oleh sistem pendidikan yang dipakai jiplakan dari sistem pendidikan Barat, baik materi maupun metodologinya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa masyarakat Islam di seluruh dunia sedang berada dalam arus perubahan yang sangat dahsat seiring datangnya era globalisasi dan informasi. Sebagai masyarakat mayoritas dalam dunia ketiga, sungguhpun telah berusaha menghindari pengaruh westernisasi, tetapi dalam kenyataannya modernisasi yang diwujudkan melalui pembangunan berbagai sektor termasuk pendidikan, intervensi dan westernisasi tersebut sulit dielakkan. Sehubungan dengan itu Fazlur Rahman Anshari yang selanjunya dikutip oleh Muhaimin, menyatakan : bahwa dunia Islam saat ini menghadapi suatu krisis yang belum pernah dialami sepanjang sejarahnya, sebagai akibat dari benturan peradaban Barat dengan dunia Islam. Khursyid Achmad, seorang pakar muslim asal Pakistan, mencatat empat kegagalan yang ditemui oleh sistem pendidikan Barat yang liberal dan sekuler, yaitu:
Pertama, pendidikan telah gagal mengembangkan cita-cita kemasyarakan di kalangan pelajar.
Kedua, pendidikan semacam ini gagal menanamkan nilai moral dalam hati dan jiwa generasi muda. Pendidikan semacam ini hanya memenuhi tuntutan pikiran, tetapi gagal memenuhi kebutuhan jiwa.
Ketiga, pendidikan liberal membawa akibat terpecah belahnya ilmu pengetahuan. Ia gagal menyusun atau menyatukan ilmu dalam kesatuan yang utuh.
Empat, selanjutnya pendidikan liberal menghasilkan manusia yang tiadak mampu menghadapi masalah kehidupan yang mendasar. Sementara Al-Attas melihat bahwa universitas modern (baca:Barat) tidak mangakui eksistensi jiwa atau semangat yang ada pada dirinya, dan hanya terikat pada fungsi administratif pemeliharaan pembangunan fisik.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah terkontaminasi dan terinvensi konsep pendidikna Barat. Dimana paradigma pendidikan Barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya mengutamakan pengejaran pengetahuan ansich, menitik beratkan pada segi teknik empiris, sebaliknya tidak mengakui eksistensi jiwa, tidak mempunyai arah yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
Menuju paradigma pendidikan Islam, Melihat kondisi pendidikan dewasa ini sebagaimana telah dideskripsikan, maka peniruan terhadap konsepsi pendidikan Barat harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan dengan cita-cita pendidikan Islam. Sebaliknya merupakan suatu keniscayaan untuk mencari paradigma pendidikan yang paling sesuai dengan cita-cita islam.
Dalam wacana ilmiah, setidaknya dapat dikemukakakan beberapa alasan mendasar tentang pentingnya realisasi paradigma pendidikan Islam.
Pertama, Islam sebagai wahyu Allah yang meruapakan pedoman hidup manusia untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan akherat, baru bisa dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Disamping itu secara fungsional Nabi Muhammad, sendiri di utus oleh Allah sebagai pendidikan utama manusia.
Kedua, ilmu pendidikan sebagai ilmu humaniora juga termasuk ilmu normatif, sebab ia terikat dengan norma-norma tertentu. Disini nilai-nilai Islam sangat memadai untuk dijadikan sentral norma dalam ilmu pendidikan itu.
Ketiga, dalam memecahkan dan menganalisa berbagai masalah pendidikan selama ini cenderung mengambil sikap seakan-akan semua permasalahn pendidikan, baik makro maupun mikro diyakini dapat diterangkan dengan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat, padahal yang disebut terakhir tadi bersifat sekuler. Oleh karena itu, nilai-nilai ideal Islam mestinya akan lebih sesuai untuk menganalisa secara kritis fenomena kependidikan
Aktualisasi konsep Al-Attas dalam pendiikan Islam masa kini Berdasarkan pada fenomena dan kondisi obyektif dunia pendidikan masa kini pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, maka pemikiran pendidikan Islam yang terformula dalam konsep ta'dib yang ditawarkan Al-Attas, sungguh memilki relevansi dan signifikansi yang tinggi serta layak dipertimbangkan sebagai solusi alternatif untuk diaktualisasikan dan di implementasikan dalam dunia pendidikan Islam. Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang hendak mengintegrasikan dikhotomi ilmu pengetahuan, menjaga keseimbangan-equilibrium, bercorak moral dan religius. Secara ilmiah Al-Attas telah mengemukakan proposisi-proposisinya sehingga menjadi sebuah konsep pendidikan yang sangat jelas. Sehingga bukanlah suatu hal yang naif bahwa statement Al-Attas ini merupakan sebuah jihad intelektual dalam menemukan paradigma pendidikan Islam. Bila dicobakan untuk berdialog dengan filsafat ilmu, apa yang diformulasikan oleh Al-Attas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik dari dataran ontologis, epistemologis maupun aksiologis.


Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekularisme, 1981, penerjemah Karsidjo Djojosuwarno, Pustaka, cet I, Jakarta.
Achmadi, 1988, Ilmu pendidikan Islam II, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, salatiga.
Al-Syaibany, Oemar M. Al-Thoumy, 1979, Falsafah Pendidikan Islam, Alih bahasa Hasan Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta.
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989
Muhadjir, Noeng, 1987, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: suatu teori pendidikan, Rake sarasin, Yogyakarta.
Muhaimain, 1991, Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Ramadhani, Solo.
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999


Tidak ada komentar:

Posting Komentar