BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam upaya merekonstruksi kebangkitan
suatu masyarakat, negara, bahkan peradaban umat manusia, keberadaan mabda
(ideologi) merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kebangkitan dan
pembentukan peradaban tersebut. Mabda merupakan aqidah aqliyah
(difahami melalui proses berfikir) yang melahirkan segenap peraturan untuk
memecahkan berbagai problematika kehidupan manusia . Dengan memahami bahwa
masyarakat adalah sekumpulan individu yang memiliki pemikiran dan perasaan yang
sama serta diikat oleh peraturan kehidupan yang sama maka rekonstruksi suatu
masyarakat dapat dilakukan dengan perubahan terhadap unsur 2MQ yaitu mengubah Mafahim
(pemahaman, cara berfikir), Maqayis (perasaan-perasaan) serta Qanaat
(ketaatan, keterikatan terhadap nilai-nilai). Masyarakat yang memiliki maqayis,
mafahim, dan qanaat yang bersumber dari mabda kapitalisme
maka kehidupannya senantiasa berjalan di atas rel ‘Sekulerisme’ begitu pula
dengan peradaban yang terbentuknya. Demikian halnya dengan mabda
sosialisme-komunisme yang mengarahkan unsur 2MQ dalam masyarakat berjalan di
atas rel ‘Dialektika Materialisme dan Atheisme’. Adapun dengan mabda islam,
masyarakat hendak diarahkan agar memiliki landasan (qaidah) dan
arahan/kepemimpinan (qiyadah) dalam berfikir, berperasaan serta
mengikatkan diri pada peraturan yang bersumber dari aqidah dan syariah islam
dalam menjalani kehidupannya. Bahkan dengan mabda islam tersebut umat manusia
diarahkan untuk membangun sebuah peradaban yang mulia melalui tegaknya
institusi negara yang menjamin terpeliharanya aqidah dan syariah tersebut dalam
kehidupan.
B.
Rumusan Permasalahan
Rumusan
masalah dalam
makalah ini adalah bagaimana posisi pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memberikan gambaran
tentang kedudukan pendidikan Islam dlam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia.
2. Untuk memenuhi tugas
terstruktur mata kuliah Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fakta
Pendidikan di Indonesia
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[1]
Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional
berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi
warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang
bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah
sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan
kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang
menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah
nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Keterpurukan yang diakibatkan dari penerapan
sistem pendidikan nasional yang sekuler antara lain:
- Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam.[2]
- Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135)
- Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak.
- Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf.
- Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35% - 87,75% dari biaya pendidikan total.
- Kebijakan UN yang banyak ditentang oleh masyarakat karena dinilai diskriminatif dan hanya menghamburkan anggaran pendidikan, antara lain ditentang oleh Koalisi Pendidikan yang terdiri dari Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP), National Education Watch (NEW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), The Center for the Betterment Indonesia (CBE), Kelompok Kajian Studi Kultural (KKSK), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI), Forum Aksi Guru Bandung (FAGI-Bandung), For-Kom Guru Kota Tanggerang (FKGKT), Lembaga Bantuan Hukum (LBH-Jakarta), Jakarta Teachers and Education Club (JTEC), dan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan kajian terhadap UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan
- Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terhadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005,
- Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1).
- Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
Data di atas merupakan beberapa
indikator yang menunjukan betapa sistem pendidikan nasional kita saat ini
tengah didera oleh berbagai problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan
pendidikan tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan pembentukan
karakter insan yang berakhlak mulia, pembentukan keterampilan hidup, penguasaan
IPTEK untuk peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat, serta memecahkan
berbagai problematika kehidupan lainnya. Padahal diantara tujuan semula
pendidikan adalah untuk itu semua.
B.
Pemecahan
Masalah
1. Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu
harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan
dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan
paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam. Hal ini sangat
penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah
berbagai macam masalah cabang pendidikan dapat diselesaikan (yang antara lain
dikelompokan menjadi masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan,
pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan). Solusi masalah mendasar
tersebut adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan dan
menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus pula
dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi
yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis
menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi
kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan
yang materialistik pun dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh
aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan semacam ini
pun perlu dikokohkan dengan aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi
tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan
parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan dapat
berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki.
Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU
Sistem Pendidikan yang ada dan menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan
(Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas
sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal
paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan
struktur kurikulum.
2. Solusi Untuk Permasalahan
Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem
pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut:
1)
Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,; 2) Kerusakan sarana dan
prasarana; 3) Kekurangan tenaga guru; 4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang
belum optimal; 5) Proses pembelajaran yang konvensional; 6) Jumlah dan kualitas
buku yang belum memadai; 7) Otonomi Pendidikan; Keterbatasan anggaran; 9) Mutu
SDM Pengelola pendidikan; 10) Life skill yang dihasilkan belum optimal (Diknas
Jabar. Makalah UPI EXPO 2006).
Untuk
menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa
dilepaskan dari penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini
diantaranya secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama,
solusi sistemik. Yakni solusi dengan mengubah
sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain:
sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Penerapan
ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan
menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan
pendidikan, dimana pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus
diberikan kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang
memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber
dana (capital) untuk mengenyam pendidikan, karena pendanaan pendidikan
harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada rakyat sebagaimana
Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan tebusan bagi orang-orang
kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar dengan mengajari
masing-masing sepuluh anak kaum muslimin, padahal harta tebusan tersebut
statusnya merupakan ghanimah yang akan disimpan dalam Baitul Maal (kas
negara) dan menjadi milik kaum muslimin. Atas dasar inilah jaminan pendidikan
terhadap rakyat merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai
pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik
yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan difahami
sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai
kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam menetapkan kebijakan
bidang pendidikan, sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan
memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami
sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu
mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap
kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan menyadari
pula bahwa peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah
sebagai pihak yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai
pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Kedua, solusi teknis.
Yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah harus
mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah
yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang
melimpah yang merupakan milik ummat, menyita kembali harta milik rakyat yang
telah dicuri oleh para koruptor baik dari kalangan penguasa, aparat pemerintah
mauapun para pelaku usaha. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka
pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan
memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun
yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun
menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi.
Merekrut jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhan di lapangan
disertai dengan adanya peningkatan kualitas dan kompetensi yang tinggi, jaminan
kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana
yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan
kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan
As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan
baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan
yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan
dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan
keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun dari non
islam sepanjang bersifat umum) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan
bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap
tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
[1] UU No.23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[2] www.kompas.com, diakses tanggal
10 Juni 2011.
copy paste untuk tugas kulia aq,, trimakasih
BalasHapusmonggo dipersilahkan, smoga bermanfaat.
BalasHapusmakasih sdh mampir disini.