PERAN STRATEGIS
PESANTREN, MADRASAH DAN SEKOLAH ISLAM DI INDONESIA
A. Latar
Belakang
Peran pesantren telah lama diakui oleh masyarakat,
demikian halnya dengan madrasah dan sekolah Islam misalnya tentang peradaban.
Kepiawaian pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam memformulakan pemahaman
dan pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia adalah
potensi riil pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Di era global kepiawaian,
kultur dan peran strategis itu harus menjadi lebih dimunculkan, atau dituntut
untuk dilahirkan kembali.
Pesantren, madrasah dan sekolah Islam mempunyai
reputasi tersendiri sebagai lembaga yang bercirikan agama Islam.
Pertama, sebagai lembaga pendidikan.
Kedua, sebagai lembaga sosial kemasyarakatan.
Sebagai lembaga pendidikan karena pesantren
madrasah dan sekolah Islam umumnya menyelenggarakan pendidikan. Bahkan karena
memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan penyelenggaraan pendidikan lain.
Sebagai lembaga sosial kemasyarakatan dibuktikan dengan diharapkannya kehadiran
pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam masyarakat. Kehadiran di sini
dimaksudkan dalam rangka changing and developing masyarakat. Pesantren, madrasah
dan sekolah Islam di sini dianggap sebagai lambang permanen seorang kiai di
komunitas, atau daerah tertentu. Di bidang ini pesantren, madrasah dan sekolah
Islam sangat dikagumi karena pandai merubah perilaku masyarakat, memotivasi,
atau melakukan perubahan-perubahan terhadapnya sekalipun terdapat keluhan akan
adanya pesantren yang bersifat ekslusif, tertutup dengan masyarakat
lingkungannya, namun umumnya masyarakat sekitar pesantren mengalami
perkembangan yang lebih baik dari sebelumnya.
B. Pesantren
sebagai Akar sejarah pendidikan Islam di Indonesia
Berbicara
mengenai akar sejarah pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
pesantren. Karena Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia[1] sekalipun
demikian informasi-informasi lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren
, madrasah, merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan
sebelumnya. Satu informasi mengatakan bahwa, pesantren, madrasah dan sekolah
Islam seperti dikemukakan pendapat pertama yaitu merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu
Budha, Nurcholis Madjid setuju dengan pendapat ini. Sebagaimana disebutkan
bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam
yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha, lalu Islam meneruskan dan meng-Islamkannya.
Dari penamaan pesantren sendiri terkait dengan terminologi yang ada di kalangan
Hindu. Kata pesantren berakar dari kata santri dengan awalan ”pe” dan akhiran
”an”. Menurut C.C.Berg istilah tersebut berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang
tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama
Hindu. Kata Shastri sendiri
berasal dari kata shastra yang
berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. [2]
Pendapat
kedua menyatakan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan Timur
Tengah. Terkait dengan pengaruh Timur Tengah ini sudah banyak yang membuktikan
terutama mereka yang melakukan ibadah haji di Mekah dan Madinah. Mekah dan
Madinah bagi ulama Indonesia tidak semata tempat untuk melakukan ibadah haji
tetapi tempat untuk mencari ilmu, terutama dengan menghadiri pengajian di
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Adanya perbedaan pendapat ini tidak berarti
pendapat satu yang benar, sementara pendapat lainnya salah. Kedua pendapat ini
saling mengisi dan pesantren memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur
Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia dan unsur-unsur Islam Timur Tengah
di mana Islam berasal.
Bertitik
tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asalusul pesantren tidak bisa
dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah
tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 – 15 yang telah berhasil
mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan pada
masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia
ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya
berkiblat pada ajaran Walisongo. Misal pondok pesantren Nahdlatul Wathan
di Pancor Lombok Timur NTB yang saat ini santrinya lebih dari sepuluh ribu
orang[3] dan
pondok pesantren yang lainnya yang tersebar di Pulau Jawa. Sedangkan Maksum
menyebutkan bahwa akar sejarah atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal
madrasah adalah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang
timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat melainkan sesuatu yang
baru setelah 400 tahun sesudah Hijriyah (Maksum, 1999: 60).
Mengawali
asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren sama halnya dengan membahas
sejarah madrasah dan sekolah Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini
bernuansa religius atau dengan kata lain fokus studinya keagamaan di samping
studi yang lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi
program pembelajarannya. Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada
awal abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren (waktu
itu) yang dianggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain, terdapat
dua hal yang melatarbelakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan
Islam dan kedua respon terhadap
politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan madrasah tidak
bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian dikembangkan oleh
organisasi-organisasi Islam baik di Jawa , Sumatera maupun Kalimantan. Oleh
karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk
pandangan keislaman masyarakat. Dalam kenyataannya , pendidikan yang terlalu
berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyyah,
sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren,
pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada
masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, untuk melakukan
pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah strategis
yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya.
Para
ahli dimana pun juga, sepakat bahwa sistem pendidikan yang terkait perlu
diperbaharui secara berkesinambungan, atas pemahaman tersebut pakar pendidikan
mengambil langkah-langkah menuju perbaikan sistem pendidikan tradisional menuju
sistem pendidikan modern yang dilengkapi dengan pola manajemen sebagai standar
mutu. Bagi masyarakat luas, dengan tujuan supaya madrasah tidak dianggap
sebagai salah satu pendidikan yang “bercirikan” tradisional, sehingga kiat-kiat
untuk menepis anggapan masyarakat tersebut di atas diperlukan manajemen yang
tertata dalam sistem pendidikan modern
C.
Eksistensi Madrasah dan
Sekolah Islam
Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relatif lebih muda dibanding
pesantren. Lahir pada abad 20 dengan munculnya madrasah Manbaul Ulum Kerajaan
Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah
Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan
realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Menarik
untuk diamati mengapa sistem pendidikan pesantren sendiri justru tidak bersifat
statis, tetapi selalu mengalami pertumbuhan seiring dengan perubahan masyarakat
yang terjadi. Demikian juga madrasah dan sekolah Islam di Indonesia selalu
melakukan terobosan-terobosan guna mempertahankan eksitensinya.[4]
Pembaharuan
tersebut menurut Mastuhu, meliputi tiga hal, yaitu: (1)Usaha menyempurnakan
sistem pendidikan pesantren, (2) Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat,
dan (3) Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan
sistem pendidikan Barat. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini
ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di
dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri
Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) disebutkan perlunya diambil
langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan
dari madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi.[5] Aktivitas
yang berorientasi pada tujuan, perlu dicapai melalui jalan menetapkan hubungan
tertentu antara sumber daya yang tersedia (sumber daya material dan moneter).
Hubungan tersebut berkembang dengan sebuah pola yang berubah secara konstan
satu sama lain, dan bagaimana mereka dipengaruhi satu sama lain dalam kehidupan
keorganisasian mereka. Tindakan bekerja melalui pihak lain, untuk mencapai
sasaransasaran keorganisasian. Untuk memperoleh manfaat hasil yang maksimum
baik dari bakatnya sendiri maupun bakat pihak lainnya diperlukan melalui
pembagian kerja, penugasan tanggung jawab bidang-bidang terbatas kepada individu
atau kelompok. Keterlibatan aktif dengan keputusan-keputusan, evaluasi dan
seleksi alternatif atau problem-problem keputusan manajemerial. Dalam jangka
panjang seluruh masa depan suatu lembaga pendidikan (madrasah) misalnya
bergantung pada tingkat hingga di mana keputusan-keputusan “tepat” diambil oleh
para manajer. Sistem pendidikan madrasah di masa akan datang, diharapkan
merupakan suatu “industri” dalam arti bahwa pendidikan memerlukan pengelolaan
yang professional agar “rate of
returns” dari industri pendidikan itu sama atau lebih baik dari
investasi dalam sektor ekonomi lainnya. Untuk memperkuat eksistensi Madrasah,
pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972
tentang ”Tanggung jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan ”. Isi keputusan ini
pada intinya menyangkut tiga hal sebagai berikut:[6]
1. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan
pendidikan umum dan kejuruan
2. Menteri
Tenaga Kerja betugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dari
kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri
3. Ketua
Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan
pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri
Dua
tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Inpres No. 15 Tahun 1974 yang
mengatur realisasinya. Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam,
termasuk madrasah, Keputusan ini menimbulkan ”masalah”. Dalam Tap MPRS No. 27
Tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam
pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No.2 Tahun 1960
ditegaskan bahwa madarasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan
Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama
menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat keagamaan dan
umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan. Dengan Keppres No.34 Tahun 1972 dan
Inpres No.15 Tahun 1974 itu, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan
menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya
penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan
Nasional). Secara yuridis, keberadaan madrasah dijamin oleh undang-undang SKB
tiga menteri (Menag, Mendikbud dan Mendagri) Tahun 1975 kedudukan madrasah sama
dan sejajar dengan sekolah formal lainnya. Demikian juga dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 ditegaskan ulang bahwa madrasah
adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam.
Kurikulum
yang digunakan pun secara umum mengacu kepada kurikulum Dinas dan ditambah
kurikulum agama yang dikeluarkan oleh Depag. Oleh karena itu secara teoritis,
madrasah seharusnya mampu memberikan nilai lebih bagi para siswanya dibanding
sekolah umum.
D.
Reaktualisasi Peran
strategis Pesantren , Madrasah dan Sekolah Islam
Sudah
banyak diketahui bahwa peran pesantren secara konvensional adalah melakukan
proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama’, dan
mempertahankan tradisi. Dalam perkembangan modern, pesantren, madrasah dan
sekolah Islam menghadapi tantangan baru, di mana ketiga lembaga Islam tersebut tidak
bisa mengelak dari proses modernisasi itu. Dampak dari modernisasi setidaknya
mempengaruhi pesantren, madrasah dan sekolah Islam tersebut dari berbagai
aspeknya. Di antaranya adalah sistem kelembagaan, orientasi hubungan kiai-santri,
kepemimpinan dan peran pesantren , madrasah dan sekolah Islam. Orientasi peran
pesantren, madrasah dan sekolah Islam sangat dipengaruhi oleh faktor internal
pesantren, terutama pandangan dunia kiainya, dan faktor luar, perkembangan dan
tuntutan zaman (sebut saja pengaruh globalisasi). Mencermati perkembangan globalisasi
yang kian marak ini, bisa dipastikan banyak orang yang ”meyakini” bahwa peran
pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara
ini. Hanya saja, tidak banyak dari mereka yang mengetahui kapan pesantren
pertama kali lahir. Para sejarawan pun tidak sepakat mengenai awal berdirinya pesantren.
Baik keberadaan pesantren, madrasah dan sekolah Islam tidak bisa dilepaskan
dari penyebaran Islam di Indonesia. Proses globalisasi yang terus menemukan
momentumnya sejak dua dasawarsa menjelang millenium baru telah memunculkan wacana
baru dalam berbagai lapangan kehidupan literatur akademik, media massa,
forum-forum seminar, diskusi, dan pembahasan dalam berbagai lembaga. Penggunaan
istilah ”globalisasi ” semakin meluas termasuk di Indonesia, penggunaan istilah
lain seperti ”kesejagatan” tidak cukup reperesentatif untuk menampung semua
makna dan nuansa yang tercakup dalam istilah ”globalisasi” ”Globalisasi” adalah
kata yang digunakan untuk mengacu kepada ”bersatunya” berbagai negara dalam
globe menjadi satu entitas. Secara denotatif ”globalisasi ” berarti perubahan-perubahan
struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi
fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia ,
organisasi-organisasi sosial , dan pandangan –pandangan dunia.[7]
Beberapa
pesantren yang awalnya hanya mengajarkan kitab-kitab kuning dan bertujuan
mencetak kader ulama’, kemudian berubah dengan menawarkan sekolah formal,
seperti madrasah atau sekolah , adalah bukti pesantren mengalami perubahan
orientasi. Perubahan ini terutama sekali dipengaruhi oleh faktor kia , yang
dalam pesantren tradisional adalah pemilik sekaligus pemimpin absolut dari
pesantren tersebut. Persinggungan kiai-kiai tradisional dengan budaya luar,
baik melalui ibadah haji maupun kegiatan lainnya, turut menyumbangkan gagasan
pembaruan yang dilakukan kiai. Para Kiai yang sudah ”modern” itu beranggapan
bahwa santri tidak cukup dibekali dengan pengetahuan agama semata, melainkan harus
memiliki tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupannya ketika terjun
dan kembali ke masyarakat Beberapa pesantren yang membuka sekolah dan madrasah formal,
selain karena gagasan pembaruan kiai, juga disebabkan karena tuntutan zaman.
Oleh karenanya pesantren-pesantren yang membuka sekolah dan madrasah sedikit
banyak dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat tentang tenaga profesional yang
memiliki akhlak mulia. Pada awal kemerdekaan, negara banyak membutuhkan pegawai
negeri sipil. Untuk memenuhi kebutuhan itu , pesantren tidak tinggal diam.
Pendirian
sekolah dan madrasah adalah bentuk respon pesantren atas kelangkaan pegawai
negeri sipil. Pesantren berharap , stock
PNS dari lulusan pesantren memiliki kelebihan di bidang akhlaknya dibanding
lulusan dari sekolah biasa. Dalam perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan
peran pesantren semakin kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi
di masyarakat, seperti masalah disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak
sudah semakin terbuka dan merajalela di masyarakat.
Pesantren
diharapkan tidak saja mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan
faham keagamaan , tetapi juga diharapkan dapat terlibat menyelesaikan
masalah-masalah sosial tersebut. Sejauh pengamatan penulis, pesantren yang di
dalamnya ada madrasah dan sekolah Islam memiliki peluang dan kesempatan untuk
terlibat aktif dalam menuntaskan problem-problem sosial tersebut. Apalagi
pesantren tersebut memiliki karakter sosial dan kedekatan emosi dengan
masyarakat karena sifat egalitar dan kesahajaannya yang memungkinkan dapat
berinteraksi secara intensif dengan masyarakat (misalnya salah satu contoh
pesantren Sunan Pandanaran yang bertempat Dusun Candi , Sardonoharja, Ngaglik,
Sleman, ) setiap sebulan sekali tepatnya pada setiap Kamis wage terlihat
bagaimana tumpah ruah masyarakat dari berbagai Kecamatan bahkan Kabupaten di
sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta juga luar Propinsi mendatang pengajian Mujahadah Akbar yang contennya adalah
syiar Islam dan sekaligus media komunikasi antar masyarakat muslim muslimah
dalam rangka mencari solusi penyelesaian problem-problem sosial kehidupan yang
semakin ”menghimpit” terutama pasca kenaikan BBM ini dan penyadaran diri
sebagai hamba atau kholifah kepada
sang Kholiq Dengan demikian , esensi peran strategis pesantren, madasah dan
sekolah Islam ada dua pokok, yaitu mencetak kader ulama’ yang mendalami ilmu
agama dan pada saat yang sama mengetahui, terampil, dan peduli terhadap
persoalan keummatan .
Pesantren
adalah tempat untuk mencetak kader ”. Lulusan Pesantren diharapkan baik agamanya
dan pandai menghadapi persoalan umat. Dengan peran semacam ini, dimungkinkan
pesantren madrasah dan sekolah Islam terlibat maksimal dalam membangun bangsa
ini . Melalui pesantren , madrasah dan sekolah Islam, para santri atau siswa
belajar ilmu-ilmu agama dan ilmu sosial yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan
seterusnya pesantren menjadi lembaga pengkaderan bagi santri atau siswa yang
kelak siap terjun di masyarakat.
Peran
pesantren yang demikian ini sesungguhnya tidak asing lagi di kalangan dunia
pesantren, karena dunia pesantren sudah tahu betul bahwa setiap manusia yang
ingin sukses harus menguasai ilmu dan inovatif
sebagaimana pesan Rasul Muhammad SAW ”barang siapa ingin sukses dalam urusan duniaharus memiliki ilmunya,
sama halnya ingin sukses akhirat, dan barang siapa ingin menghendai keduanya,
baginya juga menguasai ilmu dunia dan akhirat. Mencermati peran
strategis pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia seperti tersebut
di atas , diharapkan dapat mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah
menyinari dunia dengan ilmunya. Saat itu, Islam menjadi pusat peradaban di mana
di tempat lain sedang mengalami kegelapan. Saat negara dan bangsa lain
terkungkung dalam kemunduran dan kemiskinan, Islam maju meninggalkan negara dan
bangsa lain. Kemajuan ini diperoleh karena perhatian serius Islam terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan, disamping tetap mempertahankan ilmu agama Saat
itu , tidak ada dikhotomi ilmu agama dan umum.
Para
cendekiawan muslim mempelajari dan menguasai kedua ilmu ini secara bersamaan.
Ambil saja contoh, ulama Ibnu Rusyd yang tidak Bukunya tentang kedokteran ”Althib ”, tidak saja dirujuk oleh ilmuwan
dan ahli di Barat, tetapi juga menjadi inspirasi bagi perkembangan dunia
kedokteran modern. Muhammad Abduh, ahli bidang sosiologi sekaligus pakar bidang
agama dan masih banyak lagi sederet cendekiawan muslim dalam berbagai bidang : matematika,
bahasa, ilmu tanah, pertanian dan sebagainya yang ikut mencerahkan dunia.
Islam
mengalami kemunduran saat terkungkung dengan taklid dan mengabaikan ilmu pengetahuan. Ketika Islam
meninggalkan ilmu pengetahuan dan mengalami kejumudan, negara dan bangsa lain
bangkit dari keterpurukan . Akhirnya , kini dalam beberapa kurun waktu Islam
mengalami keterpurukan. Oleh karena itu sudah saatnya pesantren , madrasah dan
sekolah Islam mengangkat keterpurukan bangsa Indonesia khususnya dan umat
manusia pada umumnya saat ini. Peran-peran madrasah dan pundi-pundi keilmuan
seperti Baitul Hikmah pada zaman kejayaan Islam, yang telah memberi sumbangan
berarti bagi kemajuan Islam , dapat ditransfer oleh pesantren, madrasah dan
sekolah Islam untuk dapat diterapkan saat ini, sehingga ketiga lembaga Islam
tersebut menjadi laboratorium ilmu pengetahuan agama dan pusat riset kegiatan
ilmiah Dengan menjadi pusat riset ilmu pengetahuan, prediksi Nurcholis Madjid,
tentang Universitas Tebuireng, Universitas Tremas, Universitas Lirboyo, dan
Universitas Pesantren lainnya di Indonesia dapat terwujud. Hal ini cukup
beralasan, karena kemajuan Islam masa pertengahan, terutama ditopang oleh budaya
riset ilmu pengetahuan. Apalagi pesantren yang jumlahnya puluhan ribu, jika
mampu menjadi pusat riset ilmu pengetahuan , maka pengaruh sekaligus perannya
akan melebihi Baitul Hikmah dan dampaknya dapat meluas ke seluruh dunia. Dengan
begitu, kemajuan Islam dapat diraih kembali. Lebih dari itu peran pesantren yang
utama adalah lulusannya diharapkan memiliki kelebihan dari sisi akhlakul
karimah, karena pesantern sudah semestinya menjadi pengawal bagi akhlak yang
terpuji ini. Di akhir tulisan sederhana ini penulis pertanyaan : ”mungkinkah pesantren, madrasah dan sekolah
Islam ” menjadi besar ? pertanyaan ini tidak untuk dijawab mungkin atau
tidak, tetapi harus dijawab dengan kata harus. Mengapa harus, karena pesantren
, madrasah dan sekolah Islam harus menjadi besar seiring dengan ekspektasi masyarakat
yang semakin besar terhadap pesantren, madrasah dan sekolah Islam , terutama
setelah pendidikan yang lain mampu memenuhi tuntutan mental dan akhlak yang
diharapkan masyarakat. Pesantren dimulai dengan menetapkan visi dan misi
(tujuan ) yang tepat, yaitu mencetak kader yang ahli di bidang agama dan mumpuni
dalam urusan sosial, kemudian bersama pemerintah membangun kemitraan untuk
merumuskan kebijakan dan program pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah
Islam di masa depan. Saran sederhana misalnya dengan mengacu kepada sistem mutu
sekolah formal yang tersandarisasi dan aspek manajerial yang berbasis industri
(dengan tetap mengacu kepada Qur’an Hadis).
PENUTUP
Pesantren merupakan institusi yang
banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim, demikian juga dengan
keberadaan Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Namun di saat yang sama
sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat”
kemajuan Islam. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak
langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk
selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut
sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Sama halnya Madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam yang dikelola oleh Departemen Agama, selama ini masih
dipandang rendah kualitasnya oleh sebagian masyarakat. Bahkan rentang waktu
perjalanan sekolah yang bernama madrasah di bumi pertiwi ini (Indonesia) sangat
panjang, dapat dikatakan hampir sama dengan irama dinamika dunia pendidikan di
Indonesia. Seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta globalisasi, maka upaya-upaya yang ditujukan
untuk mengembangkan kualitas agar citra sekolah ini tidak selalu menjadi nomor
dua, setelah sekolah umum yang
lain, banyak hal yang bisa dilakukan oleh stakeholder madrasah. Sejalan dengan perkembangan global,
pendidikan Islam menghadapi tantangan manajerial yang cukup mendasar.
Harapan dari berbagai pihak agar
pendidikan dikelola dengan pola “industri pendidikan” merupakan salah satu
perkembangan yang muncul dalam era kompetitif saat ini. Manajemen pendidikan
tidak lagi bisa dianggap sebagai “manajemen
sosial” yang bebas dari
keharusan pencapaian target dan dikendalikan oleh subyek yang berwawasan
“sempit”, misalnya dengan pendekatan kekeluargaan seperti yang penulis jumpai
di sebagian pesantren di Indonesia Sesuatu yang dapat dikembangkan mengenai
peran madrasah, pesantren bahkan sekolah Islam sekalipun, adalah pada peran
strategisnya dalam mengelola pola manajemen strategik yang dapat menghasilkan
rumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana-rencana untuk mencapai
sasaran-sasaran perusahaan dalam hal ini disebut dengan Madrasah, Pesantren dan
Sekolah Islam (Agus Maulana, 1997: 20).
Sesuatu yang dapat dikembangkan dalam
pengelolaan pendidikan Islam (pesantren, madrasah dan sekolah Islam) adalah
pola manajemen strategis, keputusan dan tindakan yang
menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi)
rencana-rencana untuk mencapai sasaran-sasaran perusahaan dalam hal ini disebut
madrasah (Agus Maulana, 1997: 20)
Dalam
konteks pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah Islam, apabila penerapan
“manajemen instruksional” dirumuskan dalam pola-pola praktis yang kaku oleh
pemegang kebijakan, akan mengakumulasikan kerawanan masalah. Seperti proses
pembelajaran yang kurang memadai, pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang
tidak profesional dan lain sebagainya. Membiarkan pola seperti ini berkembang
(tanpa ada solusi alternatif menuju perkembangan pesantren, madrasah dan
sekolah Islam ke depan) pada saatnya akan mengancam eksistensi pesantren,
madrasah dan sekolah Islam itu sendiri. Yang terpenting dari semua ini dalam
melaksanakan pengelolaan manajemen madrasah terutama pada perannya yang seluruh
potensi yang dimiliki stakeholder dan kemudian secara bersama menyusun program
dan rencana pengembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam secara bertahap
serta meneguhkan kembali komitmen stakeholder kepada pentingnya pendidikan
Islam (madrasah) dalam rangka mempersiapkan subyek didik yang cerdas, bermoral
dan memiliki ketrampilan, sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran
perkembangan zaman.
Sekilas apabila diperhatikan, era
globalisasi yang dijumpai masyarakat ternyata lebih memperkuat perhatian orang
terhadap pesantren. Di antara penyebabnya adalah dimungkinkan karena adanya
semangat untuk mencari pendidikan alternatif . Era global seakan mengharuskan
seseorang atau bahkan kepada komunitas masyarakat secara luas untuk mencari ,
menggali dan mengembangkan pendidikan alternatif tersebut dan sekaligus untuk
memperbesar peluang keunggulan terutama yang terkait dengan
peran
pesantren ,madrasah dan sekolah Islam yang ada di Indonesia ini.
Dalam
tulisan ini penulis kemukakan beberapa poin sebagai berikut:
1)
pesantren sebagai akar
sejarah pendidikan Islam di Indonesia,
2)
eksistensi pesantren,
madrasah dan sekolah Islam,
3) Reaktualisasi
peran strategis pesantren madrasah dan sekolah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Maulana,MSM dalam Pearce Robinson,1997, Manajemen Strategis, Formulasi,Implementasi
dan Pengenalian, Binarupa Aksara:Jakarta
Amin Haedari dalam Jurnal Pondok Pesantren
Mihrab, vol. II No. 1 Juli 2007 ,
Azyumardi Azra dalam Jurnal Pondok Pesantren
Mihrab, vol. II No. 2 November 2007
Mas’ud Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan
Madrasah;2002, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maksum,1999, Madrasah Sejarah dan
Perkembangannya , Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu
Mastuhu, 1999, Memberdayakan Sistem Pendidikan
Islam Ciputat : PT Logas Wacana Ilmu
Sri Haningsih. Peran Strategis Pesantren,
Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. (http://wordpress.com, diakses tanggal 14 Juni 2011).
[1] Amin Haedari. Jurnal Pondok
Pesantren Mihrab, 2007. Hlm 34.
[2] Amin Haedari. Jurnal Pondok
Pesantren Mihrab, 2007. Hlm 34.
[3] Abdurrahman Mas’ud. Dinamika
Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002). Hlm 4.
[4] Abdurrahman Mas’ud. Dinamika
Pesantren dan Madrasah. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002). 226
[5] Mastuhu. Memberdayakan Sistem
Pendidikan Islam. (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 1999). HLm 216.
[6] Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya.
(Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1999). Hlm 146
[7] Ayumardi Azra. Jurnal Pondok
Pesantren Mihrab Vol II. 2007. Hlm 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar