Senin, 24 Maret 2014

Makalah: Kajian Pendidikan di pesantren


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pasang surut peran pesantren sempat terjadi baik karena faktor di dalamnya maupun di luarnya. Pesantren dari saat ke saat terus engalami perubahan. Meskipun intensitas dan bentuknya tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Perubahan itu dalam realitasnya berdampak jauh bagi keberadaan, peran dan pencapaian tujua pesantren, serta pandangan masyarakat luas terhadap lembaga pendidikan ini. Ironisnya tidak semua orang dan tokoh pesantren menyadari seluk-beluk perubahan tersebut. Sebagian dari mereka menyadari dan merencanakan perubahan tersbeut tetapi belum mengatisipasi secara kritis dampaknya, baik bagi pesnatren sendiri aupun masyarakat sebagai pemangku kepeningan yang utama bagi pesantren. Kurikulum di pesantren bermuatkan mata pelajaran yang disusun berdasarkan prioritas keagamaan. Dalam praktiknya kurikulum di kedua kategori itu diikuti oleh para santri sebagai kurikulum wajib. Lulusan pesantren yang memiliki kompetensi sesuai kurikulum itu terus dapat dihasilkan dalma jumlah yang semakin banyak karena meningkatnya jumlah pesantren. Sementara kebutuhan masuarakat juga meningkat karena banyaknya madrasah yang didirikan dalam kawasan yang lebih menyebar. Pada saat yan sama masih sangat banyak lulusan pesantren tidak bisa terserap oleh lembaga-lembaga baru itu, meskipun sudah diakui oleh pesantren sebagai berkompetensi memadai.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prioritas Kajian di Pesantren
Bagian ini meninjau ilmu-ilu dasar yang diajarkan di pesantren yang dibagi menurut hukum mempelajarinya bagi orang Islam. Di dalamnya terdapat rumpun ilmu agama yang setiap peribadi muslim wajib mempelajarinya yang termasuk dalam kategori wajib ‘ain.[1] Di pesantren juga terdapat rumpun ilmu yang tisak setiap individumuslim diwajibkan untuk mempelajarinya yang termasuk dalam kategori wajib kifayah.
Tradisi keilmuan di pesantren adalah tradisi keilmuan yang sudah berumus sangat tua, dimulai semenjak islam pada abad ke 13 dan tidka bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang ada dalam Islam itu sendiri. Berbeda dengan tradisi keilmuan dalam Yunani kuno yang bersifat melangit, tadisi keilmuan dlama pesantren menawarkan sesuatu yang empiris dan jelas.
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa jika dilacak, tradisi keilmuan Islam di pesantren bersumber dari dua dekade, yakni dekade pengetahuan keislaman yang datang ke nusantara pada abad ke 13 dan yang kedua dekade ketika para anak-anak muda di kawasan nusantara berlayar menuntut ilmu di Arab, khususnya di Mekkah dan kembali setelah itu ke tanah air untuk mendirikan pesantren-pesantren, kemudian dapat berkembang menjaid pesantren-pesantren besar. Pada gelombang pertama, manifestasi keilmuan islam yang datang ke Indonesia adalah dalam bentuk tasawuf dan ilmu-ilmunya tentu juga tidak lepas dari ilmu-ilmu syariah pada umumnya, sementara pada gelombang kedua, muncul kebangkitan ilmu-ilmu keislaman yang mendalan yang ditandai dengan lahirnya ulama-ulama besar.[2]
Gelombang pertama keilmuan yang bercorak tasawuf terjadi karena yang dikembangkan sudah dalam bentuk ilmu jadi dari daratan Persia. Buku-buku tasawuf menggabungkan fiqih dengan amal dan akhlak merupakan bahan pelajaran utama. Kitab-kitab tasawuf karya Imam Abu Hamid al Ghazali di bidang fiqh sufistik yang pengeruhnya besar selama bearab-abad bahkan hingga sekarang. Pengaruh itu bertumbang tindih. Dengan pandangan dan perilaku misiki penduduk pribumi.
Gelombang kedua tradisi keilmuan pesantren menampakkan konsep yang jelas di dalam karya-karya penting seperti Nur Adh Dhalam dari Kiai Nawawi banten, Sabil al Muhtadin karya Kiai Arsyad Banjar dab lain sebagainya. Merekalah yang memperkenalkan pendalaman Bahasa Arab beserta cabang-cabang ilmunya di pesantren sehingga muncul kbangkitan humanis ilmu-ilmu keislaman yang telah terpendam cukup lama dalam khazanah intelektual Islam. Berikut ini klasifikasi keilmuan di pesantren:
1.      Wajib ‘ain : fiqih, tauhid dan akhlak
Mengenai ilmu-ilmu mana yang termasuk kategori wajib ‘ain  dan wajib kifayah untuk mempelajarinya, para ulama berbeda pendapat sehingga terdapat beberapa kelompokl. Kelompok ulama tauhid aau ilmu kalam menyakini bahwa ilmu tauhid, ilmu yang dengannya diketahui dzat Alloh, keseesaan Alloh dan sifat-sifat-Nya wajib bagi setiap muslim yang telah akil baligh untuk mempelajarinya. Sementara kelompok ulama fiqih berpendapat bahwa ilmu-ilmu fiqih yang wajib ‘ain. Dengan ilmu fiqih, segala persoalan yang doharamkan dan dihalalkan oleh Alloh dapat diketahui manusia. Selain itu ilmu fiqh juga mengajarkan kepada setiap muslim tentang tata cara beribadah kepada Alloh. Sementara ulama ahli tafsir dan hadits berpendapat, ilmu kitab dan sunnah (tradisi) Nabi Muhammad SAW yang wajib sebab dengan perantaraan keduanya dapat terbuka cakrawala segala penegtahuan menurut ajaran Islam.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang memungkinkan manusia mengetahui diri dan kedudukannya di hadapan Alloh SWT. Di dalamnya dibahas tentang penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri dan yang menyelamatkannya. Secara umum, terdapat pendapat yang sama di antara para ulama tentang beberapa hal prinsip dari ilmu pengetahuan yang wajib ‘ain yaitu ilmu yang bersendikan pokok-pokok mendasar dari ajaran Islam. Hal-hal pokok ini mengandung hakikat kewajiban makhluk kepada Tuhan. Al Qur’an sendiri mengandung pelajaran inti tentang tujuan-tujuan penciptaan alam semesta dan semua makhluk untuk mengetahui kekuasana dan keagungan Tuhan.
Selain ilmu tauhid, ilmu fiqih juga menjaid prioritas yang dipelajari dalam satuan [endidikan di pondok-pondok pesantren pada umumnya. Terdapat istilah yang cukup populer di kalangan pesantren terkait fungsi dirinya yaitu sebagai lembaga pendalaman ilmu-ilmu agama cukup mencerminkan betapa pentingnya status ilmu fiqih di kalangan santri. Dari ungkapan itu bahkan muncul pemahaman yang diyakini di kalangan pesantren, tidak akan dikatakan sebagai orang yang memahami agama jika ia tidak memahami fiqih. Namun demikian, yang layak untuk dicatat dalam tradisi keilmuan di atas adalah munculnya ciri yang kuat tentang pola hubungan kiai dan santrinya dalam jenjang keilmuan, artinya seorang ahli fiqih yang besra juga akan menjadi kiai fiqih terkenal.

2.      Wajib kifayah : tsaqafah, bahasa, kedokteran, hisan dan teknologi
Khasanah bangsa-bangsa menjadi akrab dalam kurikulum pesantren. Melalui mata pelajaran tafsir bangsa-bangsa itu muncul dalam kisah Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, Nabi Musa dan sebagainya. Peristiwa masa lalu dibaca dalam penjelasan dan dibingkai makna peradaban. Makna ada dalam diri pembelajar. Pendalaman Bahasa Arab menjadi ciri kurikulum pesantren sejak generasi abad ke 17, yaitu pada masa Ki Ageng dan Sunan atau Sultan. Islamisasi kalender Jawa terjadai pada periode itu. Penguasaan bahasa Arab meluas dua abad setelahnya. Para santri akan menjalani waktu sampai enam tahun dengan terus menerus menekuni mata pelajaran ini bersama tauhid, fiqih, tasawuf dan Al Qur’an. Sejumlah pesantren berlangganan majalah dan surat kabar berbahasa Arab untuk meningkatkan kecakapan kebahasaan ereka. Kelas bimbingan membca media itu pun diselenggarakan di beberapa pesantren dan ada yang membuatnya sebagai sub mata pelajaran. Ragam bahasa Arab menjadi dikenapi pula, yang klasiksebagaimana di dalam kitab-kitab kuning dan yang kontemporer seperti di dalam media massa tersebut.

B.     Kurikulum yang Memberdayakan di Pesantren
Semakin besarnya jumlah santri yang belajar di pesantren menuntut perluasan perhatian kurikuler di lembaga pendidikan islam ini dan merebaknya model-model madrasah atau sekolah unggulan yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi dan yayasan Islam menyediakan ajakan bagi pesantren untuk menentukan arah pengembangannya untuk tetap unik dengan menyerahkan garapan yang lain kepada pesaren lain atau mengambil pola yangs eragam dengan emmasukkan kurikulum pemerintah dna karenanya akan terjadi perlombaan antar pesantren karena yang dikelola adalah kurikulum yang sama.
Kurikulum yang dikembangkan di pesantren selama ini menunjukkan prinsip yang tetap yaitu:
1.      Kurikulum ditujukan untuk mencetak ulama di kemudian hari. Di dalamnya terdapat paket mata pelajaran, pengalaman dan kesempatan yang harus ditempuh untuk menghasilkan 100% santri sebagai ulama. Kapasitas seorang ulama membutuhkan waktu yang lama untuk dijangkau. Pesantren sadar, dalam setiap angkatan mungkin hanya akan dilahirkan lulusan yang berkapasitas sebagai ulama satu dua orang saja. Mereka yang tidak berkualifikasi sebagai ulama tetap menjadi pelaku kehidupan yang berarti di masyarakatnya. Profesi sebagai guru, pengusaha dan sebagainya terbuka luas bagi mereka.
2.      Struktur dasar kurikulum adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan layanan endidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi dan kelompok. Bimibingan ini seringkali bersifat menyeluruh, tidak hanya di kelas atau menyangkut penguasan materi mata pelajaran, melainkan juga di luar kelas dan menyangkut pembentukan karakter, peningkata kaasitas, pemberian kesempatan dan tanggung jawab yang dipandang memadai bagi lahirnya lulusan yang dapat mengembnagkan diri.
3.      Secara keseluruhan kurikulumnya bersifat felksibel, setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya, paling tidak setengah muatan kurikulum dapat dirancang oleh santri sendiri. Kurikulum yang diterapkan di atas tidak mengarah pada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan keagamaan. Sifatnya yang lebih menekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan kerja yang direncanakan sebelumnya.[3] Meskipun pada perkembangannya banyak pesantren yang juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, namun tujuan utama pendidikan di pesantren adalah enguasaan ilmu dan pemahaman keagamaan.
Fleksibilitas kurikulum itu dapat dipandang sebagai watak pesantren dalam melayani kebutuhan dan memenuhi hak santri untuk belajar ilmu agama. Kebutuhan kurikuler santri berbeda-beda sesuai dengan panggilan dirinya, misi keluarga, tuntutan masyarakat atau kekhasan kemampuannya.Sementara hak kurikuler santri adalah memperoleh pelajaran yang diperlukannya untuk menjadi penganut agama Islam yang baik sebagai pribadi, warga masyarakat dan warga negara sehingga ia dapat berperan serta dalam kehidupan demokratis bersama warga bangsanya dalam penghidupan yag layak bagi kemanusiaannya.

C.     Keseragaman dan Kekhasan Kurikulum
Bila ditelusuri lebih mendalam, keseragaman kurikulum pesantrens ejatinya bukanlah keseragaman. Di balik itu, penyampaian materinya dikontekstualisasikan dengan kehidupan konkret di sekitarnya. Hal ini dapat dilacak dari contoh-contoh yang diangkat dalam pengajian kitab kuning yangs ering dikonfirmasikan dengan peristiwa yang dialami kalangan santri sendiri. Selain itu juga dapat dilihat dari kelompok belajar bersama para santri yang menjamur di pesantren yang mendiskusikan selain materi pelajaran mereka, juga engaitan materi dengan pengalaman keseharian mereka.
Lebih dari itu, kurikulum pesantren adalah kehidupan yang ada dalam pesantren itu sendiri. Dalam ungkapan yang lain, dua puluh empat jam kehidupan santri sehari merupakan proses dan representasi pendidikan. Pendidikan pesantren tidka selesai denga usainya engajian kitab. Ketika para santri istirahat, kemudian makan, shalat, tidur dan bangun tengah malam, semua aktivitas ini adalah bagian instrinsik dari pendidikan pesantren. Karena itu, ketika para santri melakukan kegiatab mereka. Kiai pengasuh pesnatren mengawasi secara teliti kesesuaian kegiatan santri dengan materi pelajaran yang telah mereka peroleh.
Penciptaan suasana dialogis antara aspek teoritis dan pengalaman nyata di masyarakat memasukkan pesantren ke dalam pergumulan praktis bagi kehidupan para santri. Melalui pendidikan semacam itu, pesantren memiliki peluang untuk mengetahui potensi, kekuaan, kelemahan dan kekurangan yang dialami oleh pesantren sendiri. Pada gilirannya, pesantren mencoba melakukan pembenahan atas kekurangan yang ada dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Sebagai misal, manakala ibadah santri terhambat karena di pesantrenm itu kekurangan air bersih untuk wudlu atau mandi, maka pesantren akan melaksanakan program air bersih, bukan semata-mata karena hal itu kebutuhan santri melainkan juga keharusan agama yang bekaitan dengan pengolaan air dalam pengadaan sarana-sarana itu.

D.    Pengalaman Kurikuler
Meskipun istilah kurikulum belum akrab bagi pesantre, namun sebenarnya lembaga pendidikan Islam ini kaya akan pengalaman kurikuler. Bukti untuk itu adalah pesnatren sudah terbiasa dalam banyak hal sebagia berikut:
1.      Merumuskan kecakapan yang diharapkan dimiliki santri setelah belajar di pesantren dalam kurun waktu tertentu. Dengan ini pesantren menetapkan kecakapan kelulusannya. Misalnya untuk jenjang dasar adalah kecakapan santri memahami dan menjalankan ajaran Islam untuk pribadinya.
2.      Mennetukan jenjang pendidikan yang akan diselenggarakan oleh pesantren sejak jenjan dasar, menengah, atas dan pesanren luhur. Penentuan ini selalu didasarkan atas daya dukung dari dalma pesantren sendiri dan lingkungannya baik daya dukung berupa ketersediaan guru, tenaga kependidikan selain guru, potensi santri, kebutuhan masyarakat, sarana prasarana dan lainnya.
3.      Menentukan kelompok mata pelajaran yang diwajibkan untuk santri sebagai mata pelajaran pokok dan ciri khas serta mata pelajaran yang dianjurkan sebagai penunjang.
4.      Mengelompokkan beberapa mata pelajaran ke alam rumpun-rumpun kcakapan.
5.      Mengembangkan muatan setiap mata pelajaran yang biasanya dilaksanakan oleh masing-masing guru agar isi mata pelajaran lebih lengkap dan tanggap terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
6.      Mennetukan syarat-syarat kecakapan yang harus dipenuhi santri untuk memilih rombongan belajar pada kelas tertentu. Sebagian pesantren menyelenggarakan tes enempatan kelas.
7.      Mengatur beban belajar para santri dengan mempertimbangkan kemampuan mereka. Ini kelebihan sistem belajar di pesantren. Yang lampat, cepat membutuhkan layanan khusus dan yang berhak atas pengayaan bahan belajar dapat dilayani.
8.      Merumuskan panduan bagi masyarakat dan guru dalam melaksanakan pengajaran. Metode mengajar di pesantren biasanya khas.
9.      Menetapkan variasi cara mengajar guru agar santri dapat menguasai pelajaran sebagai pengetahuan dan pengalaman.

BAB III
KESIMPULAN
Kurikulum pesantren adalah kehidupan yang ada dalam pesantren itu sendiri. Dalam ungkapan yang lain, dua puluh empat jam kehidupan santri sehari merupakan proses dan representasi pendidikan. Pendidikan pesantren tidka selesai denga usainya engajian kitab. Ketika para santri istirahat, kemudian makan, shalat, tidur dan bangun tengah malam, semua aktivitas ini adalah bagian instrinsik dari pendidikan pesantren. Karena itu, ketika para santri melakukan kegiatab mereka. Kiai pengasuh pesnatren mengawasi secara teliti kesesuaian kegiatan santri dengan materi pelajaran yang telah mereka peroleh.
Penciptaan suasana dialogis antara aspek teoritis dan pengalaman nyata di masyarakat memasukkan pesantren ke dalam pergumulan praktis bagi kehidupan para santri. Melalui pendidikan semacam itu, pesantren memiliki peluang untuk mengetahui potensi, kekuaan, kelemahan dan kekurangan yang dialami oleh pesantren sendiri. Pada gilirannya, pesantren mencoba melakukan pembenahan atas kekurangan yang ada dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Sebagai misal, manakala ibadah santri terhambat karena di pesantrenm itu kekurangan air bersih untuk wudlu atau mandi, maka pesantren akan melaksanakan program air bersih, bukan semata-mata karena hal itu kebutuhan santri melainkan juga keharusan agama yang bekaitan dengan pengolaan air dalam pengadaan sarana-sarana itu.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid. “Asal-Usul Keilmuan di Pesantren” dalam Pesantren, edisi perdana. Jakarta : P3M, 1984.

Abdurrahman Wahid. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta : Pustaka Pesantren,2007.

Dian Nafi, dkk. Praktis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta : ITD. 2007.

Pendidikan di Pesantren. (http://wordpress.com, diakses tanggal 10 Juni 2011).

Marwan Saridjo. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta : Dharma Bhakti, 1982.

Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani. Irsyad al Fuhul ila Tahqiq al Haqq min “Ilm al Ushul. Beirut : dar a Fikr.





[1] Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani. Irsyad al Fuhul ila Tahqiq al Haqq min “Ilm al Ushul. (Beirut : dar a; Fikr, tt), hlm 6.
[2] Abdurrahman Wahid. “Asal-Usul Keilmuan di Pesantren” dalam Pesantren, edisi perdana. (Jakarta : P3M, 1984), hlm 7.
[3] Abdurrahman Wahid. Menggerakkan Tradisi. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren,2007 ). hlm 109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar