BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pasang surut
peran pesantren sempat terjadi baik karena faktor di dalamnya maupun di
luarnya. Pesantren dari saat ke saat terus engalami perubahan. Meskipun
intensitas dan bentuknya tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Perubahan
itu dalam realitasnya berdampak jauh bagi keberadaan, peran dan pencapaian
tujua pesantren, serta pandangan masyarakat luas terhadap lembaga pendidikan
ini. Ironisnya tidak semua orang dan tokoh pesantren menyadari seluk-beluk
perubahan tersebut. Sebagian dari mereka menyadari dan merencanakan perubahan
tersbeut tetapi belum mengatisipasi secara kritis dampaknya, baik bagi
pesnatren sendiri aupun masyarakat sebagai pemangku kepeningan yang utama bagi
pesantren. Kurikulum di pesantren bermuatkan mata pelajaran yang disusun
berdasarkan prioritas keagamaan. Dalam praktiknya kurikulum di kedua kategori
itu diikuti oleh para santri sebagai kurikulum wajib. Lulusan pesantren yang
memiliki kompetensi sesuai kurikulum itu terus dapat dihasilkan dalma jumlah
yang semakin banyak karena meningkatnya jumlah pesantren. Sementara kebutuhan
masuarakat juga meningkat karena banyaknya madrasah yang didirikan dalam
kawasan yang lebih menyebar. Pada saat yan sama masih sangat banyak lulusan
pesantren tidak bisa terserap oleh lembaga-lembaga baru itu, meskipun sudah diakui
oleh pesantren sebagai berkompetensi memadai.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prioritas Kajian di Pesantren
Bagian
ini meninjau ilmu-ilu dasar yang diajarkan di pesantren yang dibagi menurut
hukum mempelajarinya bagi orang Islam. Di dalamnya terdapat rumpun ilmu agama
yang setiap peribadi muslim wajib mempelajarinya yang termasuk dalam kategori wajib ‘ain.[1] Di
pesantren juga terdapat rumpun ilmu yang tisak setiap individumuslim diwajibkan
untuk mempelajarinya yang termasuk dalam kategori wajib kifayah.
Tradisi
keilmuan di pesantren adalah tradisi keilmuan yang sudah berumus sangat tua,
dimulai semenjak islam pada abad ke 13 dan tidka bisa dilepaskan dari tradisi
keilmuan yang ada dalam Islam itu sendiri. Berbeda dengan tradisi keilmuan
dalam Yunani kuno yang bersifat melangit, tadisi keilmuan dlama pesantren
menawarkan sesuatu yang empiris dan jelas.
Abdurrahman
Wahid menjelaskan bahwa jika dilacak, tradisi keilmuan Islam di pesantren
bersumber dari dua dekade, yakni dekade pengetahuan keislaman yang datang ke
nusantara pada abad ke 13 dan yang kedua dekade ketika para anak-anak muda di
kawasan nusantara berlayar menuntut ilmu di Arab, khususnya di Mekkah dan
kembali setelah itu ke tanah air untuk mendirikan pesantren-pesantren, kemudian
dapat berkembang menjaid pesantren-pesantren besar. Pada gelombang pertama,
manifestasi keilmuan islam yang datang ke Indonesia adalah dalam bentuk tasawuf
dan ilmu-ilmunya tentu juga tidak lepas dari ilmu-ilmu syariah pada umumnya,
sementara pada gelombang kedua, muncul kebangkitan ilmu-ilmu keislaman yang
mendalan yang ditandai dengan lahirnya ulama-ulama besar.[2]
Gelombang
pertama keilmuan yang bercorak tasawuf terjadi karena yang dikembangkan sudah
dalam bentuk ilmu jadi dari daratan Persia. Buku-buku tasawuf menggabungkan
fiqih dengan amal dan akhlak merupakan bahan pelajaran utama. Kitab-kitab tasawuf
karya Imam Abu Hamid al Ghazali di bidang fiqh sufistik yang pengeruhnya besar
selama bearab-abad bahkan hingga sekarang. Pengaruh itu bertumbang tindih.
Dengan pandangan dan perilaku misiki penduduk pribumi.
Gelombang
kedua tradisi keilmuan pesantren menampakkan konsep yang jelas di dalam
karya-karya penting seperti Nur Adh
Dhalam dari Kiai Nawawi banten, Sabil
al Muhtadin karya Kiai Arsyad Banjar dab lain sebagainya. Merekalah yang
memperkenalkan pendalaman Bahasa Arab beserta cabang-cabang ilmunya di
pesantren sehingga muncul kbangkitan humanis ilmu-ilmu keislaman yang telah
terpendam cukup lama dalam khazanah intelektual Islam. Berikut ini klasifikasi
keilmuan di pesantren:
1. Wajib ‘ain : fiqih, tauhid dan
akhlak
Mengenai ilmu-ilmu mana yang termasuk kategori wajib ‘ain dan wajib
kifayah untuk mempelajarinya, para ulama berbeda pendapat sehingga terdapat
beberapa kelompokl. Kelompok ulama tauhid aau ilmu kalam menyakini bahwa ilmu
tauhid, ilmu yang dengannya diketahui dzat Alloh, keseesaan Alloh dan sifat-sifat-Nya
wajib bagi setiap muslim yang telah akil baligh untuk mempelajarinya. Sementara
kelompok ulama fiqih berpendapat bahwa ilmu-ilmu
fiqih yang wajib ‘ain. Dengan ilmu fiqih, segala persoalan yang doharamkan
dan dihalalkan oleh Alloh dapat diketahui manusia. Selain itu ilmu fiqh juga
mengajarkan kepada setiap muslim tentang tata cara beribadah kepada Alloh.
Sementara ulama ahli tafsir dan hadits berpendapat, ilmu kitab dan sunnah (tradisi) Nabi Muhammad SAW yang
wajib sebab dengan perantaraan keduanya dapat terbuka cakrawala segala
penegtahuan menurut ajaran Islam.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang memungkinkan manusia
mengetahui diri dan kedudukannya di hadapan Alloh SWT. Di dalamnya dibahas tentang
penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri dan yang menyelamatkannya. Secara
umum, terdapat pendapat yang sama di antara para ulama tentang beberapa hal
prinsip dari ilmu pengetahuan yang wajib
‘ain yaitu ilmu yang bersendikan pokok-pokok mendasar dari ajaran Islam.
Hal-hal pokok ini mengandung hakikat kewajiban makhluk kepada Tuhan. Al Qur’an
sendiri mengandung pelajaran inti tentang tujuan-tujuan penciptaan alam semesta
dan semua makhluk untuk mengetahui kekuasana dan keagungan Tuhan.
Selain ilmu tauhid, ilmu fiqih juga menjaid
prioritas yang dipelajari dalam satuan [endidikan di pondok-pondok pesantren
pada umumnya. Terdapat istilah yang cukup populer di kalangan pesantren terkait
fungsi dirinya yaitu sebagai lembaga pendalaman ilmu-ilmu agama cukup
mencerminkan betapa pentingnya status ilmu fiqih di kalangan santri. Dari
ungkapan itu bahkan muncul pemahaman yang diyakini di kalangan pesantren, tidak
akan dikatakan sebagai orang yang memahami agama jika ia tidak memahami fiqih.
Namun demikian, yang layak untuk dicatat dalam tradisi keilmuan di atas adalah
munculnya ciri yang kuat tentang pola hubungan kiai dan santrinya dalam jenjang
keilmuan, artinya seorang ahli fiqih yang besra juga akan menjadi kiai fiqih
terkenal.
2. Wajib kifayah : tsaqafah, bahasa,
kedokteran, hisan dan teknologi
Khasanah bangsa-bangsa menjadi akrab dalam kurikulum
pesantren. Melalui mata pelajaran tafsir bangsa-bangsa itu muncul dalam kisah
Nabi Yusuf, Nabi Sulaiman, Nabi Musa dan sebagainya. Peristiwa masa lalu dibaca
dalam penjelasan dan dibingkai makna peradaban. Makna ada dalam diri
pembelajar. Pendalaman Bahasa Arab menjadi ciri kurikulum pesantren sejak
generasi abad ke 17, yaitu pada masa Ki Ageng dan Sunan atau Sultan. Islamisasi
kalender Jawa terjadai pada periode itu. Penguasaan bahasa Arab meluas dua abad
setelahnya. Para santri akan menjalani waktu sampai enam tahun dengan terus
menerus menekuni mata pelajaran ini bersama tauhid, fiqih, tasawuf dan Al
Qur’an. Sejumlah pesantren berlangganan majalah dan surat kabar berbahasa Arab
untuk meningkatkan kecakapan kebahasaan ereka. Kelas bimbingan membca media itu
pun diselenggarakan di beberapa pesantren dan ada yang membuatnya sebagai sub
mata pelajaran. Ragam bahasa Arab menjadi dikenapi pula, yang klasiksebagaimana
di dalam kitab-kitab kuning dan yang kontemporer seperti di dalam media massa
tersebut.
B. Kurikulum yang Memberdayakan di
Pesantren
Semakin
besarnya jumlah santri yang belajar di pesantren menuntut perluasan perhatian
kurikuler di lembaga pendidikan islam ini dan merebaknya model-model madrasah
atau sekolah unggulan yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi dan
yayasan Islam menyediakan ajakan bagi pesantren untuk menentukan arah
pengembangannya untuk tetap unik dengan menyerahkan garapan yang lain kepada
pesaren lain atau mengambil pola yangs eragam dengan emmasukkan kurikulum
pemerintah dna karenanya akan terjadi perlombaan antar pesantren karena yang dikelola
adalah kurikulum yang sama.
Kurikulum
yang dikembangkan di pesantren selama ini menunjukkan prinsip yang tetap yaitu:
1. Kurikulum
ditujukan untuk mencetak ulama di kemudian hari. Di dalamnya terdapat paket
mata pelajaran, pengalaman dan kesempatan yang harus ditempuh untuk
menghasilkan 100% santri sebagai ulama. Kapasitas seorang ulama membutuhkan
waktu yang lama untuk dijangkau. Pesantren sadar, dalam setiap angkatan mungkin
hanya akan dilahirkan lulusan yang berkapasitas sebagai ulama satu dua orang
saja. Mereka yang tidak berkualifikasi sebagai ulama tetap menjadi pelaku
kehidupan yang berarti di masyarakatnya. Profesi sebagai guru, pengusaha dan
sebagainya terbuka luas bagi mereka.
2. Struktur
dasar kurikulum adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan
layanan endidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi dan
kelompok. Bimibingan ini seringkali bersifat menyeluruh, tidak hanya di kelas
atau menyangkut penguasan materi mata pelajaran, melainkan juga di luar kelas
dan menyangkut pembentukan karakter, peningkata kaasitas, pemberian kesempatan
dan tanggung jawab yang dipandang memadai bagi lahirnya lulusan yang dapat
mengembnagkan diri.
3. Secara
keseluruhan kurikulumnya bersifat felksibel, setiap santri berkesempatan
menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya, paling tidak setengah muatan
kurikulum dapat dirancang oleh santri sendiri. Kurikulum yang diterapkan di
atas tidak mengarah pada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan
keagamaan. Sifatnya yang lebih menekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap
hidup yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan kerja yang
direncanakan sebelumnya.[3] Meskipun
pada perkembangannya banyak pesantren yang juga mengajarkan ilmu-ilmu umum,
namun tujuan utama pendidikan di pesantren adalah enguasaan ilmu dan pemahaman
keagamaan.
Fleksibilitas
kurikulum itu dapat dipandang sebagai watak pesantren dalam melayani kebutuhan
dan memenuhi hak santri untuk belajar ilmu agama. Kebutuhan kurikuler santri berbeda-beda
sesuai dengan panggilan dirinya, misi keluarga, tuntutan masyarakat atau
kekhasan kemampuannya.Sementara hak kurikuler santri adalah memperoleh
pelajaran yang diperlukannya untuk menjadi penganut agama Islam yang baik
sebagai pribadi, warga masyarakat dan warga negara sehingga ia dapat berperan
serta dalam kehidupan demokratis bersama warga bangsanya dalam penghidupan yag
layak bagi kemanusiaannya.
C. Keseragaman dan Kekhasan Kurikulum
Bila
ditelusuri lebih mendalam, keseragaman kurikulum pesantrens ejatinya bukanlah
keseragaman. Di balik itu, penyampaian materinya dikontekstualisasikan dengan
kehidupan konkret di sekitarnya. Hal ini dapat dilacak dari contoh-contoh yang
diangkat dalam pengajian kitab kuning yangs ering dikonfirmasikan dengan peristiwa
yang dialami kalangan santri sendiri. Selain itu juga dapat dilihat dari
kelompok belajar bersama para santri yang menjamur di pesantren yang
mendiskusikan selain materi pelajaran mereka, juga engaitan materi dengan
pengalaman keseharian mereka.
Lebih
dari itu, kurikulum pesantren adalah kehidupan yang ada dalam pesantren itu
sendiri. Dalam ungkapan yang lain, dua puluh empat jam kehidupan santri sehari
merupakan proses dan representasi pendidikan. Pendidikan pesantren tidka
selesai denga usainya engajian kitab. Ketika para santri istirahat, kemudian
makan, shalat, tidur dan bangun tengah malam, semua aktivitas ini adalah bagian
instrinsik dari pendidikan pesantren. Karena itu, ketika para santri melakukan
kegiatab mereka. Kiai pengasuh pesnatren mengawasi secara teliti kesesuaian
kegiatan santri dengan materi pelajaran yang telah mereka peroleh.
Penciptaan
suasana dialogis antara aspek teoritis dan pengalaman nyata di masyarakat
memasukkan pesantren ke dalam pergumulan praktis bagi kehidupan para santri.
Melalui pendidikan semacam itu, pesantren memiliki peluang untuk mengetahui
potensi, kekuaan, kelemahan dan kekurangan yang dialami oleh pesantren sendiri.
Pada gilirannya, pesantren mencoba melakukan pembenahan atas kekurangan yang
ada dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Sebagai misal, manakala ibadah
santri terhambat karena di pesantrenm itu kekurangan air bersih untuk wudlu
atau mandi, maka pesantren akan melaksanakan program air bersih, bukan
semata-mata karena hal itu kebutuhan santri melainkan juga keharusan agama yang
bekaitan dengan pengolaan air dalam pengadaan sarana-sarana itu.
D.
Pengalaman
Kurikuler
Meskipun
istilah kurikulum belum akrab bagi pesantre, namun sebenarnya lembaga
pendidikan Islam ini kaya akan pengalaman kurikuler. Bukti untuk itu adalah
pesnatren sudah terbiasa dalam banyak hal sebagia berikut:
1. Merumuskan
kecakapan yang diharapkan dimiliki santri setelah belajar di pesantren dalam
kurun waktu tertentu. Dengan ini pesantren menetapkan kecakapan kelulusannya.
Misalnya untuk jenjang dasar adalah kecakapan santri memahami dan menjalankan
ajaran Islam untuk pribadinya.
2. Mennetukan
jenjang pendidikan yang akan diselenggarakan oleh pesantren sejak jenjan dasar,
menengah, atas dan pesanren luhur. Penentuan ini selalu didasarkan atas daya
dukung dari dalma pesantren sendiri dan lingkungannya baik daya dukung berupa
ketersediaan guru, tenaga kependidikan selain guru, potensi santri, kebutuhan
masyarakat, sarana prasarana dan lainnya.
3. Menentukan
kelompok mata pelajaran yang diwajibkan untuk santri sebagai mata pelajaran
pokok dan ciri khas serta mata pelajaran yang dianjurkan sebagai penunjang.
4. Mengelompokkan
beberapa mata pelajaran ke alam rumpun-rumpun kcakapan.
5. Mengembangkan
muatan setiap mata pelajaran yang biasanya dilaksanakan oleh masing-masing guru
agar isi mata pelajaran lebih lengkap dan tanggap terhadap persoalan-persoalan
yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
6. Mennetukan
syarat-syarat kecakapan yang harus dipenuhi santri untuk memilih rombongan
belajar pada kelas tertentu. Sebagian pesantren menyelenggarakan tes enempatan
kelas.
7. Mengatur
beban belajar para santri dengan mempertimbangkan kemampuan mereka. Ini
kelebihan sistem belajar di pesantren. Yang lampat, cepat membutuhkan layanan
khusus dan yang berhak atas pengayaan bahan belajar dapat dilayani.
8. Merumuskan
panduan bagi masyarakat dan guru dalam melaksanakan pengajaran. Metode mengajar
di pesantren biasanya khas.
9. Menetapkan
variasi cara mengajar guru agar santri dapat menguasai pelajaran sebagai
pengetahuan dan pengalaman.
BAB III
KESIMPULAN
Kurikulum
pesantren adalah kehidupan yang ada dalam pesantren itu sendiri. Dalam ungkapan
yang lain, dua puluh empat jam kehidupan santri sehari merupakan proses dan
representasi pendidikan. Pendidikan pesantren tidka selesai denga usainya
engajian kitab. Ketika para santri istirahat, kemudian makan, shalat, tidur dan
bangun tengah malam, semua aktivitas ini adalah bagian instrinsik dari
pendidikan pesantren. Karena itu, ketika para santri melakukan kegiatab mereka.
Kiai pengasuh pesnatren mengawasi secara teliti kesesuaian kegiatan santri
dengan materi pelajaran yang telah mereka peroleh.
Penciptaan
suasana dialogis antara aspek teoritis dan pengalaman nyata di masyarakat
memasukkan pesantren ke dalam pergumulan praktis bagi kehidupan para santri.
Melalui pendidikan semacam itu, pesantren memiliki peluang untuk mengetahui
potensi, kekuaan, kelemahan dan kekurangan yang dialami oleh pesantren sendiri.
Pada gilirannya, pesantren mencoba melakukan pembenahan atas kekurangan yang
ada dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Sebagai misal, manakala ibadah
santri terhambat karena di pesantrenm itu kekurangan air bersih untuk wudlu
atau mandi, maka pesantren akan melaksanakan program air bersih, bukan
semata-mata karena hal itu kebutuhan santri melainkan juga keharusan agama yang
bekaitan dengan pengolaan air dalam pengadaan sarana-sarana itu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
Wahid. “Asal-Usul Keilmuan di Pesantren”
dalam Pesantren, edisi perdana. Jakarta : P3M, 1984.
Abdurrahman
Wahid. Menggerakkan Tradisi. Yogyakarta
: Pustaka Pesantren,2007.
Dian Nafi, dkk. Praktis
Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta : ITD. 2007.
Marwan Saridjo. Sejarah
Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta : Dharma Bhakti, 1982.
Muhammad
bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani. Irsyad
al Fuhul ila Tahqiq al Haqq min “Ilm al Ushul. Beirut : dar a Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar