BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti
Negara berkembang lainnya, Indonesia kini sedang berusaha membangun citra
bangsa sambil tetap mempertahankan identitas kulturalnya. Proses ganda ini diikhtiarkan
dengan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, sekaligus melestarikan
pola kehidupan social budaya yang mendukung proses tersebut dalam rumusan yang lebih
tetap. Indonesia sedang berusaha bagaimana memantapkan kelangsungan psikologis
dan kerangka proses perubahan yang lebih luas. Proses ini bersifat edukatif dan
distributive dan menyiapkan langkah-langkah yang lebih tepat untuk menciptakan
dan menyebarkan pesan pembangunan yang sarat akan nilai luhur dimana dapat
merangsang motivasi. Proses yang kemudian melembaga ini di harapkan dapat
mekanisme yang sesuai untuk memperlancar terbentuknya tingkah laku yang di
kehendaki, serta memberikan sanksi social sewajarnya terhadap tindakan yang
menyimpang. Hal ini sangat penting dalam kaitan upaya menemukan berbagai
alternative proses pendekatan pendidikan bangsa dalam bentuk transformasi diri
dalam rangka mengorganisir masyarakat agar lebih kreatif dan produktif di dalam
menghadap tugas- tugas barunya proses pembangunan seyogyanya mampu menemukan
dan memerankan secara tepat lembaga-lembaga dan system nilai moralitas dalam
kehidupan yang sudah eksis sebagai pendorong kearah positif.[1]
Kehidupan
manusia tidak lepas dari nilai, dan nilai itu selanjutnya perlu di
institusikan. Institusi yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Keberadaan
(eksistensi) pesantren beserta perangkatnya sebagai lembaga islam, sudah barang
tentu memiliki nilai-nilai khas yang membedakan dengan lembaga pendidikan
lainnya, dalam realitasnya, nilai-nilai pesantren yang di kembangkan oleh
pondok pesantren bersumberkan pada nilai-nilai ilahi dan nilai- insani.[2]
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah tentang pondok
pesantren dan perkembangannya.
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk memberikan gambaran tentang
pondok pesantren dan perkembangannya.
2. Untuk memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Sejarah Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pondok Pesantren dan
Perkembangannya.
Terus
terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren
pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan
istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihan. Menurut Manfred
Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur
atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan
sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren
berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan
tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap
sebagai gabungan kata santri (manusia baik) dengan suku kata (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Terlepas
dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan
ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di Tanah Air
(khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model pesantren di
pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo.
Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama
didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim
atau Syekh Maulana Maghribi.[3]
Kedudukan
dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang. Pada awal,
pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga
unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk
menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam
kehidupan sehari-hari.[4]
Sejak awal masuknya
Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan
kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit
sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan
pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah
Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita
pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang
membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan
memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun,
pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan
Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat
kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan
pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882
pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan
Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan
pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan
Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru
agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang
membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji.
Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang
memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan
pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di
Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren
juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan
Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya
dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam
administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik
dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di
Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak
muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun
dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali
pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang
cukup banyak .
Jika
kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah
Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk
akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem
pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata
sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah
pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti
yang dikatakan Zuhairini, ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik”
di Indonesia.[5]
B.
Elemen-elemen pesantren
Hampir
dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar
yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan
lainnya tidak dapat di pisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi kyai, santri,
pondok, masjid, dan pengajaran kitab kuning
1. Kyai
Kyai
atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu
pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai
begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani
oleh masyrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren
sangat biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren
yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren
sangat bergantung pada peran seorang kyai.[6]
Para
kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai
orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga
dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama
oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan
mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah
dan surban. [7]
Masyrakat
biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan- persoalan
keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin
tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan
dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan
kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta nasehat dan bimbingan
dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menghormati semua
orang, tanpa melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak
prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan
kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan
khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.[8]
2. Pondok
Sebuah
pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional di
mana para siswanya tinggal bersama belajar dan belajar di bawah bimbingan
seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama
untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai
bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang
untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini
biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar dan masuknya
para santri sesuai peraturan yang berlaku pondok, asrama bagi para santri,
merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan system
pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah
islam di Negara-negara lain. Bahkan system asrama ini pula membedakan pesantren
dengan system pendidikansur audi daerah minangkabau.
Ada
tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama,
kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menari
santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara
teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan
kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua
pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang
cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya
suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara
kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai
bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang
harus senantiasa dilindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab
di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping
itu dari pihak para santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga
para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi
kepentingan pesantren dan keluarga kyai.[9]
System
pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi
juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang . meskipun
keadaan pondok sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda dari pedesaan
dan baru pertama meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu
wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau
penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.[10]
3. Masjid
Masjid
merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab
klasik. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren
merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan tradisional. Dengan
kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al
Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam
system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan
islam. Dimana pun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai
tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural.
Lembaga-lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu
mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang
paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban
sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang
lain. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-
pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil
atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah
pesantren.[11]
4. Santri.
Menurut
pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa
disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam
pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu
santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian,
menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri:
a. Santri mukim yaitu murid-murid yang
berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim
yang menetap paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan suatu
kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan
pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri
tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
b. Santri kalong yaitu murid-murid yang
berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, Yang biasanya tidak menetap
dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren
kecil dan pesantren besar dapat dilihat diri komposisi santri kalong. Sebuah
besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain,
pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri
mukim.[12]
5. Pengajaran Kitab Kuning
Berdasarkan
catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya
karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab $an
tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya metode
yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para
santri dating dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam
kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir,
Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian
dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di
balik teks-teks klasik tersebut. Ada
beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf,
modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok
pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok
pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang
bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki
seorang kyai.
BAB
III
KESIMPULAN
Islam sebagai agama dan pesantren sebagai media dakwah Islam
yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara tampil secara kreatif berdialog
dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima
kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat
diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam. Dalam pandangan hidup santri, moralitas
tradisi pesantren adalah pijakan yang jelas untuk mempertahankan tradisi
kepesantrenan. Jadi dengan demikian moralitas yang terus di kembangkan adalah
berdimensi pada agama dengan tetap berada pada tataran tradisi pesantren dan
selalu melihat pada perubahan-perubahan yang terjadi terhadap system pendidikan
pesantren. Moralitas itulah yang akhirnya membentuk pandangan hidup santri
terhadap pesantrennya.
Dengan demikian, maka system pesantren didasarkan atas
dialog yang terus- menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar ajaran
agama yang di yakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas social yang
memiliki nilai kebenaran relative. Moralitas inilah yang kelak membentuk
pandangan hidup santri. Eksistensi
pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen
untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya
manusia (SDM) yang handal, kekuatan otak (berpikir), hati (keimanan), dan
tangan (keterampilan), merupakan modal utama untuk membentuk pribadi santri
yang mampu mengikuti perkembangan zaman.
Dalam konteks inilah, pendidikan pesantren sebagai media
pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi
multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang
inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Al-Jumbulati dan Abdul Fatuh
At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan
Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Drs.H. Mansur, MSI, Moralitas
Pesantren, Safiria Insani Press, Yogyakarta, 2004.
DR. dr Wahjoetomo, Perguruan Tinggi
Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta,1997
HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan
Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005
Oepen Manfrred DKK, Dinamika
Pesantren, P3M, Jakarta, 1988
Pondok Modern Gontor , website: http://www.angelfire.com/oh/gontor.html, diakses tanggal 25 Juni 2011.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982.
[1] Manfrred, dkk. Dinamika
Pesantren. (Jakarta : P3M, 1988). Hlm 72.
[2] Mansur. Moralitas Pesantren.
(Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004).hlm 55.
[3] Wahjoetomo. Perguruan Tinggi
Pesantren. (Jakarta : Gema Insani Press, 1997).hlm 70.
[4] Reaktualisasi Nilai
Kepesantrenan. (http://www.ginandjar.com/public,
diakses tanggal 25 Juni 2011.
[5] Pondok Modern Gontor.( http://angelfire.com, diakses tanggal 25 Juni
2011.
[6] Amin Haedari. Masa Depan
Pesantren dalam Tantangan Modernitas. (Jakarta : IRD Press, 2005).hm 28.
[7] Zamakhsyari Dhofier. Tradisi
Pesantren. (Yogyakarta : LP3ES, 1982).hlm 56.
[8] Ibid.hlm 60.
[9] Amin Haedari. Masa Depan
Pesantren dalam Tantangan Modernitas. (Jakarta : IRD Press, 2005). Hlm 32.
[10] Zamakhsyari Dhofier. Tradisi
Pesantren.( Yogyakarta : LP3ES, 1982). Hlm 44.
[11] Ibid.hlm 49.
[12] Ibid.hlm 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar