Minggu, 23 Maret 2014

Makalah: Pondok Pesantren dan perkembangannya


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Seperti Negara berkembang lainnya, Indonesia kini sedang berusaha membangun citra bangsa sambil tetap mempertahankan identitas kulturalnya. Proses ganda ini diikhtiarkan dengan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan, sekaligus melestarikan pola kehidupan social budaya yang mendukung proses tersebut dalam rumusan yang lebih tetap. Indonesia sedang berusaha bagaimana memantapkan kelangsungan psikologis dan kerangka proses perubahan yang lebih luas. Proses ini bersifat edukatif dan distributive dan menyiapkan langkah-langkah yang lebih tepat untuk menciptakan dan menyebarkan pesan pembangunan yang sarat akan nilai luhur dimana dapat merangsang motivasi. Proses yang kemudian melembaga ini di harapkan dapat mekanisme yang sesuai untuk memperlancar terbentuknya tingkah laku yang di kehendaki, serta memberikan sanksi social sewajarnya terhadap tindakan yang menyimpang. Hal ini sangat penting dalam kaitan upaya menemukan berbagai alternative proses pendekatan pendidikan bangsa dalam bentuk transformasi diri dalam rangka mengorganisir masyarakat agar lebih kreatif dan produktif di dalam menghadap tugas- tugas barunya proses pembangunan seyogyanya mampu menemukan dan memerankan secara tepat lembaga-lembaga dan system nilai moralitas dalam kehidupan yang sudah eksis sebagai pendorong kearah positif.[1]
Kehidupan manusia tidak lepas dari nilai, dan nilai itu selanjutnya perlu di institusikan. Institusi yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Keberadaan (eksistensi) pesantren beserta perangkatnya sebagai lembaga islam, sudah barang tentu memiliki nilai-nilai khas yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, dalam realitasnya, nilai-nilai pesantren yang di kembangkan oleh pondok pesantren bersumberkan pada nilai-nilai ilahi dan nilai- insani.[2]

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah tentang pondok pesantren dan perkembangannya.

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk memberikan gambaran tentang pondok pesantren dan perkembangannya.
2.      Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sejarah Pendidikan Agama Islam di Indonesia.



BAB IIBAB IPENDAHULUSeperti Negara berkenbang lainnya, Indonesia kini sedang berusaha membangun citra bangsa sambil tetap mempertahankan identitas kulturalnya. Proses ganda ini di khtiarkan dengan keseimbagan antara pertumbuhan dan pemerataan, sekaligus melestarikan pola kehidupan social budaya yang mendukung proses tersebut dalam rumusan yang yang lebih tetap. Indonesaia sedang berusaha bagaimana memantapkan kelangsungan psikologis dan dan kerangka proses perubahan yang lebih luas. Proses ini bersifat edukatuif dan distributive dan menyiapkan langkah-langkah yang lebih tepat untuk menciptakan dan menyebarkan pesan pembangunan yang sarat akan nilai luhur dimana dapat merangsang motivasi. Proses yang kemuian melembaga ini di harapkan dapt mekanisme yang sesuai untuk memperlancar terbentuknys tigkah laku yang di kehendaki, serta memberikan sanksi social sewajarnya terhadap tindakan yang menyimpang. Hal ini sangat penting dalam kaitan upaya menemukan berbagai alternative proses pendekatan pendidikan bangsa dalam bentuk transformasi diri dalam rangka mengorganisir masyarakat agar lebih kreatif dan produktif di dalam menghadap tugas- tugas barunya proses pembangunan seyogyanya mampu menemukan dan memerankan secara tepat lembaga-lembaga dan system nilai moralitas dalam kehidapan yang sudah eksis sebagai pendorong kearah positif.1
Kehidupan manusia tidak lepas dari nilai, dan nilai itu selanjutnya perlu di institusikan. Institusi yang terbaik adalah melalui upaya pendidikan. Keberadaan (eksistensi) pesantren beserta perangkatnya sebagai lembaga islam, sudah barang tentu memiliki nilai-nilai khas yang membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya, dalam realitasnya, nilai-nilai pesantren yang di kembangkan oleh pondok pesantren bersumberkan pada nilai-nilai ilahi dan nilai- insani.2
BAB II
1 Manfrred Oepen DKK, Dinamika Pesantren, P3M, Jakarta, 1988, hlm 72
2 Drs.H. Mansur, MSI, Moralitas Pesantren, Safiria Insani Press, Yogyakarta, 2004, hlm 55
2
PEMBAHASAN
1.Sejarah Pondok Pesantren dan Perkembangannya.
Terus terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan istilah pondok pesntren, kiai dans antr i masih di perselisihkan.
Menurut Manfred Ziemek, katapondok bedrasal dari katafunduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kat
pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti
menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan katasant (manusia baik) dengan suku katatra (suka menolong), sehingga katapes antr en dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa Indias has tr i artinya ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis.
Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilahpesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model pesantrn di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.3
Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang. Pada awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari4
3 DR. dr Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70
4ht t p:/ / www.gi nandj ar.com / publ i c/ 11R eakt ual i sasi Ni l ai Kep esant r enan.pdf
3
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak
4
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia5.
2. Elemen-elemen pesantren
Hampir dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Keliam elemen tersebut meliputi kyai,santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab kuning
a.Kyai
Kyai atau pengasuh pndok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masayrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren sangat biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersankutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai6.
Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke
5 Pondok Modern Gontor website: http://www.angelfire.com/oh/gontor.html
6HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta,
2005, hlm 28
5
khususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu
kopiah dan surban7.
Masyrakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan- persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menhormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.8
b.Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama belajardan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siwa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengwasi keluar dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku
pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Bahkan system asrama ini pula membedakan pesantren dengan system pendidikansur audi daerah minangkabau.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri.Per tam a, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menari santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai.Kedua, hampir semmua pesantren
7Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 56
8 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 60
6
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Pondok Pesantren dan Perkembangannya.
Terus terang, tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihan. Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata santri (manusia baik) dengan suku kata (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model pesantren di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi.[3]
Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang. Pada awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak .
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini, ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.[5]

B.     Elemen-elemen pesantren
Hampir dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi kyai, santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab kuning
1.      Kyai
Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masyrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren sangat biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersangkutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.[6]
Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan kekhususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban. [7]
Masyrakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan- persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.[8]

2.      Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama belajar dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Bahkan system asrama ini pula membedakan pesantren dengan system pendidikansur audi daerah minangkabau.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menari santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.[9]
System pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang . meskipun keadaan pondok sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda dari pedesaan dan baru pertama meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.[10]

3.      Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan islam. Dimana pun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain. Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama- pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.[11]

4.      Santri.
Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri:
a.       Santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan suatu kelompok tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari, mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santri-santri tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
b.      Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, Yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat diri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim.[12]

5.      Pengajaran Kitab Kuning
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning berbahasa Arab $an tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya metode yang secara formal diajarkan dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab Tafsir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut.  Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai.

BAB III
KESIMPULAN

Islam sebagai agama dan pesantren sebagai media dakwah Islam yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam.  Dalam pandangan hidup santri, moralitas tradisi pesantren adalah pijakan yang jelas untuk mempertahankan tradisi kepesantrenan. Jadi dengan demikian moralitas yang terus di kembangkan adalah berdimensi pada agama dengan tetap berada pada tataran tradisi pesantren dan selalu melihat pada perubahan-perubahan yang terjadi terhadap system pendidikan pesantren. Moralitas itulah yang akhirnya membentuk pandangan hidup santri terhadap pesantrennya.
Dengan demikian, maka system pesantren didasarkan atas dialog yang terus- menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar ajaran agama yang di yakini memiliki nilai kebenaran mutlak dan realitas social yang memiliki nilai kebenaran relative. Moralitas inilah yang kelak membentuk pandangan hidup santri.  Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang handal, kekuatan otak (berpikir), hati (keimanan), dan tangan (keterampilan), merupakan modal utama untuk membentuk pribadi santri yang mampu mengikuti perkembangan zaman.
Dalam konteks inilah, pendidikan pesantren sebagai media pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Al-Jumbulati dan Abdul Fatuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

Drs.H. Mansur, MSI, Moralitas Pesantren, Safiria Insani Press, Yogyakarta, 2004.

DR. dr Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta,1997

HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta, 2005

Oepen Manfrred DKK, Dinamika Pesantren, P3M, Jakarta, 1988

Pondok Modern Gontor , website: http://www.angelfire.com/oh/gontor.html, diakses tanggal 25 Juni 2011.

ReaktualisasiNilaiKepesantrenan. http://www.ginandjar.com/public, diakses tanggal 25 Juni 2011.

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982.







[1] Manfrred, dkk. Dinamika Pesantren. (Jakarta : P3M, 1988). Hlm 72.
[2] Mansur. Moralitas Pesantren. (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004).hlm 55.
[3] Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren. (Jakarta : Gema Insani Press, 1997).hlm 70.
[4] Reaktualisasi Nilai Kepesantrenan. (http://www.ginandjar.com/public, diakses tanggal 25 Juni 2011.
[5] Pondok Modern Gontor.( http://angelfire.com, diakses tanggal 25 Juni 2011.
[6] Amin Haedari. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas. (Jakarta : IRD Press, 2005).hm 28.
[7] Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren. (Yogyakarta : LP3ES, 1982).hlm 56.
[8] Ibid.hlm 60.
[9] Amin Haedari. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas. (Jakarta : IRD Press, 2005). Hlm 32.
[10] Zamakhsyari Dhofier. Tradisi Pesantren.( Yogyakarta : LP3ES, 1982). Hlm 44.
[11] Ibid.hlm 49.
[12] Ibid.hlm 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar