PENDIDIKAN MORAL DALAM PERSPEKTIF PEMIKIR ISLAM
Latar
Belakang
Pemikiran
pendidikan Islam selalu menjadi topik perbincangan hangat dari waktu ke waktu.
Mulai dari munculnya Islam sebagai agama hingga terelaborasinya Islam menjadi
objek studi dalam ranah pemikiran para cendekiawan muslim maupun orientalis.
Mulai dari zaman klasik hingga - meminjam istilah Prof. Dr. Nur Cholish Madjid
– zaman neo modernis. Pada tataran konsep pemikiran pendidikan, telah banyak
dikaji secara parsial maupun komprehensif tentang apa, bagaimana dan kemana
arah tujuan pendidikan Islam sesungguhnya, seiring sejalan dengan perkembangan
konstruksi sosial umat muslim tentunya dan perkembangan ilmu pengetahuan serta
tuntutan zaman.
Pada
mulanya pendidikan Islam berjalan secara alamiah, apa adanya, dalam arti belum
tampak dinamika pemikiran tentang konsep pendidikan Islam. Pada zaman
Rasulullah misalnya, sistem pendidikan, kurikulum (materi) maupun tujuan
pendidikan menjadi kewenangan beliau. Belum ada seorangpun yang mampu
memberikan masukan bahkan menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi
pendidikan masih berkisar pada norma-norma ajaran al-Qur’an dan petunjuk
al-Hadits mengenai bidang keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan
kemasyarakatan. Kenyatan tersebut terus berlangsung hingga akhir masa Dinasti
Khulafaurrosyidin dan awal masa Dinasti Umayyah. Perhatian para khalifah maupun
raja terhadap masala pendidikan Islam terasa kurang. Para ulama’lah yang terus
berjuang menelurkan konsep serta kebijakan pendidikan. Namun begitu, materi
pendidikan terus berkembang hingga melahirkan berbagai macam disiplin ilmu
keislaman lainnya. Mulai dari ilmu bahasa Arab, tafsir, mustholah hadits,
fiqih, kalam, mantiq, falak, tarikh, kedokteran, sastra dan lainnya. Meski
dilihat pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah mengalami proses
dinamika pemikiran yang sangat luas, unsur pendidikan moral pun tak luput dari
kajian pembahasan para pemikir pendidikan Islam. Pendidikan moral sendiri
kemudian menjadi semacam unsur permanen dalam sistem pendidikan Islam,
setidaknya dalam penetapan kurikulum maupun pemantapan visi dan misi
kependidikannya. Harun Nasution berpendapat, pendidikan moral merupakan titik
tekan yang sangat signifikan dalam pendidikan Islam, karena ia merupakan salah
satu inti dari ajaran agama Islam itu sendiri, selain juga pendidikan
ke-teologis-an dan keibadahan.[1]
Hal terpenting yang menjadi sorotan para pakar pendidikan Islam saat ini adalah
tentang fenomena gejala kemerosotan moral masyarakat, baik orang dewasa maupun
anak-anak pelajar, seperti penyelewengan, penipuan, perampokan penindasan,
saling menjegal dan saling merugikan dan masih banyak perbuatan tercela
lainnya. Ironinya segala permasalahan tersebut di atas ditumpahkan kepada
tanggung jawab para pendidik formal dalam mengatasinya. Meski kemudian para
orang tua, ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya turut berkecimpung
membahas akar permasalahan keburukan moral serta mengupayakan pencarian
solusinya.
A.
Pemikiran Pendidikan Moral
Harun Nasution
Diakui
dalam diskursus wacana cendekiawan muslim bahwa pada ranah pemikiran pendidikan
ada hubungan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan agama dan moral. Pendidikan
Islam misalnya tidak terlepas dari upaya penanaman nilai-nilai serta
unsur-unsur agama pada jiwa seseorang, yang diantaranya adalah nilai-nilai moral
atau yang biasa disebut dengan Akhlaq. Nilai-nilai moral yang dimaksud tidak
terlepas dari ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan
oleh Rasul. Rasulullah bersabda dalam sebuah Hadits bahwa Beliau diutus kepada
manusia adalah untuk menyempurnakan akhlaq/moral manusia. Tentang eratnya
hubungan agama dengan moral ini kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran
agama Islam itu sendiri, bahwa akhirnya akan berujung pada pembentukan moral.
Perintah mengucapkan dua kalimat syahadat misalnya yang merupakan inti awal
masuknya seseorang ke dalam agama Islam, mengandung pesan moral agar segala
ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan
Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus diarahkan untuk selalu
mendapat keridhaannya. Selanjutnya perintah shalat ditujukan agar terhindar dari
perbuatan yang keji dan mungkar (lihat Q.S. al-Angkabut,2:183). Perintah zakat ditujukan
untuk menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian (lihat Q.S.
al-Taubah,2:103). Perintah ibadah haji ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran
secara sengaja (fasiq), dan bermusuh-musuhan.
Kaitannya
dengan uraian di atas Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya
ajaran normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah
ke-Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan atau
moral.[1] Dalam
mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ini maka diperlukan seperangkat proses
maupun aturan sebagai media transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai ketauhidan
dan moral yang dimaksud berupa proses dan perangkat pendidikan Islam. Perangkat
pendidikan Islam harus memiliki beragam komponen di antaranya adalah pendidik,
orang yang akan dididik, materi, tujuan, metode dan lain sebagainya. Tujuan
pendidikan Islam menurut Harun Nasution adalah untuk membentuk manusia yang
bertaqwa, yang mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Bertaqwa yang dimaksud adalah seperti apa yang digambarkan dalam al-Qur’an yaitu,
mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian
rezeki, beriman kepada Al-qur’an dan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah
kepada Rasul-Nya serta yakin akan adanya hari kiamat.
Dari
konsep tersebut akan dapat kita tangkap bahwa tujuan pendidikan Islam mengindikasikan
kearah dua kutub yang berbeda namun saling berkaitan yaitu, di samping
mengutamakan ketauhidan dengan segala persoalannya (teosentris), tetapi juga
mengakomodasi pentingnya peran moral manusia dalam berinteraksi dengan jenisnya
(humanis). Tentang dua indikasi ini Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan
Islam sebaiknya memiliki bahan/materi pendidikan yang secara umum didasarkan
pada tujuan spiritual, moral dan intelektual, yang kemudian oleh pakar
pendidikan disebut dengan istilah Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan
Emosional. Meski begitu, Harun Nasution melihat lebih pentingnya penekanan
terhadap aspek pendidikan moral. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa
kemungkinan bahwa pendidikan moral akan dengan sendirinya mengarahkan manusia
kepada konsep tauhid dalam Islam.[2]
Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang
mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa
pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini
kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh Harun Nasution tentang hadits “Bu’itstu
liutammima makaarimal akhlaaq”. Pendapat ini seperti juga yang disampaikan
oleh Ibn Miskawaih bahwa letak keutamaan pentingnya pendidikan moral adalah
dalam urgensi nilainya yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian
manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis
spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Minusnya moral
(akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia – dengan akhlaq dan taqwa
– turun menjadi hina. Karena penekanan pendidikan Islam adalah pendidikan
moral, maka metode yang dipakai menurut Harun sebaiknya :
1. Pemberian
contoh dan teladan
2. Pemberian
nasehat
3. Pemberian
bimbingan / tuntunan moral dan spiritual
4. Kerjasama
antara tiga komponen pendidikan yaitu; sekolah, rumah (keluarga), dan
lingkungan (masyarakat)
5. Tanya
jawab dan Diskusi
6. Kerjasama
dengan pihak lain
Agar
metode tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar maka perlu untuk memperhatikan
kondisi para pendidiknya. Kualitas pendidik Islam harus mencerminkan pendidik
yang bertanggung jawab, penuh wibawa, cerdas, tangkas, beriman dan memiliki
wawasan yang luas. Menurut Harun kualitas para pendidik Islam setidaknya
memiliki kriteria :[3]
1. Sanggup
memberi contoh
2. Menguasai
ilmu-ilmu pendidikan
3. Menguasai
pengetahuan yang luas tentang agama
4. Menguasai
pengetahuan umum
Kemudian
apabila melihat kepada anak didik, Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan
Islam yang menekankan pentingnya pendidikan moral ini harus dilaksanakan sejak
anak masih bersih kalbunya dan belum ternodai oleh kebiasaan-kebiasaan tidak
baik, kerena menurutnya apabila sudah ternoda akan susah untuk menghilangkannya.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ali Asyraf bahwa pendidikan
moral harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal sekali
walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir. Artinya
pendidikan moral diusahakan dilaksanakan semenjak anak masih dini dan belum
terlalu mengenal kehidupan lingkungan yang begitu luas. Emile Durkhiem pun
berpendapat demikian, bahwa kondisi perkembangan intelektual anak-anak usia
dini masih belum sempurna. Begitu juga kehidupan emosinalnya masih terlalu
sederhana dan belum berkembang. Nah pada tahap inilah penanaman aspek dasar
pendidikan moral sangat dipentingkan untuk dapat diserap oleh mereka. Sebaliknya
apabila telah melewati tahap usia dini tetapi belum diletakkan dasar-dasar moral
kepada mereka, maka dasar-dasar moral itu tidak akan pernah tertanam dalam diri
si anak. Sampai di sini Harun Nasution kemudian menekankan pentingnya penekanan
terhadap terminologi pendidikan itu sendiri dari sekedar pengajaran moral Islam.
Hal tersebut penting karena di masyarakat telah terjadi salah kaprah tentang pendidikan
itu sendiri. Titik tekan pendidikan moral diletakkan pada bagaimana si anak
terdidik berpengetahuan moral, bukan bertujuan bagaimana mereka memiliki jiwa
yang sangat bermoral secara Islami.
B.
Pemikiran Pendidikan Moral
Nur Cholish Madjid
Lain
halnya dengan Harun Nasution, Nur Cholish Madjid menyoroti lebih tajam tentang
pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Ia berpendapat bahwa penekanan
pendidikan moral harus lebih diarahkan pada bagaimana membentuk manusia dapat
saleh secara maknawi dan bukan hanya saleh lahiri. Kaitannya dengan ini
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi lahiriah manusia tetapi
lebih melihat kondisi batinnya (lihat Q.S. an-Najm,53:32 dan an-Nisa’ 4:49).
Kesalehan
maknawi yang dimaksud adalah kemuliaan moral yang tampak sangat melekat pada
pribadi seseorang tanpa terjebak maupun dijebak oleh keadaan-keadaan formalitas
masyarakat sekelilingnya. Dalam konteks pendidikan Islam kesalehan maknawi ini
merupakan wujud dari akhlaqul karimah atau akhlaq mulia. Lebih lanjut akhlaq
mulia dalam dimensi yang lebih luas berkaitan dengan prinsip-prinsip inklusivisme
keagamaan (wajib beriman), kosmologi (paradigma optimispositif kepada alam,
yang juga berkaitan dengan teori ilmu yang benar), antropologi (pandangan
manusia sebagai makhluk tertinggi dengan hak-hak asasinya, yangdilahirkan dalam
fitrah dan bersifat hanif).[4]
Kemudian berkenaan dengan kesalehan maknawi ini, pertanyaan penting yang harus
dijawab adalah bagaimana cara membuat para calon terdidik dapat beramal saleh
dengan sebanr-benarnya tanpa terjebak ke dalam kehidupan pragmatisme. Seperti
yang telah menjadi rahasia umum bahwa dalam kondisi sosial masyarakat yang
serba modernis, hedonis, pragmatis seringkali menyebabkan keguncangan jiwa
masyarakat itu sendiri, yang akhirnya mengakibatkan tampilnya secara subur
simbol-simbol keagamaan formal dan penampilan-penampilan keagamaan lahiriah,
sehingga kesalehan lahiripun mengecoh orang banyak. Jawabannya sulit memang
tetapi dengan kesungguhan usaha dari para pendidik diharapkan akan mampu
diwujudkan para calon terdidik dengan kesalehan yang diharapkan.
Untuk
itu, diantara yang perlu dipersiapkan adalah para calon terdidik yang benar-benar
excellent dalam pendidikan Islam, yang diantaranya mampu mencerminkan sifat-sifat
yang dimiliki oleh Rasulullah yaitu; shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Dalam
hal ini kesulitan yang menghadang adalah bahwa paradigma para calon terdidik
telah dikungkung oleh pandangan umum akan rendahnya kualitas studi-studi keagamaan
sebagai akibat dari padangan “modern” saat ini, gengsi keagamaan khusus merosot
tajam, karena dianggap tidak mampu memberi “janji kerja” (promise job) yang
memadai dan lain sebagainya. Di lain hal kebutuhan akan tenaga pengajar yang benar-benar
profesional di bidangnya, terutama pendidikan moral ke-Islaman, sangat jarang
ditemukan. Yang ada hanyalah tenga pengajar yang terjebak ke dalam mind set nya
sendiri akan ajaran-ajaran dogmatis yang kaku dan tidak dapat menarik
perhatian. Melihat kesulitan-kesulitan di atas, ada beberapa solusi pemecahan
alternatif sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abuddin Nata yaitu: pertama,
pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari
model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan
dengan pendekatan integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu
pengetahuan. Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut, pendidikan moral harus
melibatkan seluruh guru. Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan,
kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga/rumah
tangga, sekolah dan masyarakat. Kelima,pendidikan moral harus menggunakan
berbagai macam kesempatan, berbagai sarana teknologi modern dan lainnya seperti
kesempatan berekreasi, berkemah, sarana masjid, surat kabar, radio, televisi
dan lain sebagainya.[5]
C.
Pemikiran Pendidikan Moral
Mukti Ali
Secara
umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana
ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu,
golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan
dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap
ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bisa lebih
mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari
sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang tidak
lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat memberi
sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih baik.
Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan
muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran
tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun tulisan.[6] Sedangkan
kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan
praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal
yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakantindakan untuk mengatasi
persoalan-persoalan empirik. Sampai di sini, menurut hemat penulis, sebenarnya
perbedaan antara kaum intelektualis dan kaum praxis ini hanyalah memiliki
fungsi untuk memisahkan bidang garap masing-masing kaum itu sendiri, tidak
lebih pada bagaimana keduanya samasama memiliki peran yang signifikan dalam
proses kehidupan bermoral di masyarakat. Atau lebih jelasnya pemisahan itu
untuk memberikan batasan-batasan peran masingmasing dalam memberikan sumbangan
manfaat ke dalam kehidupan berinteraksi sosial. Untuk itu maka perbedaan
tersebut mungkin lebih dikenal sebagai perbedaan dialektis daripada perbedaan
dikotomis. Perbedaan dialektis yang dimaksud adalah bahwa titik temu kedua
terminologi tersebut adalah bahwa kaum intelektualis dengan kritik sosial dan
ide-ide moralnya dapat mampu menyumbangkan hal yang bermafaat dalam tataran
praxis. Dan bahwa kaum praxis dengan sendirinya akan memberikan sumbangan
berharga bagi pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh kaum intelektualis. Kemudian
keluar dari permasalahan tersebut, seperti pendapat para cendekiawan muslim
lainnya, Mukti Ali tidak menafikan akan adanya hubungan ‘organik’ antara pendidikan
agama dan moral. Bahwa sistem agama, yang berupa oerientasi nilai, keyakinan,
norma hukum, juga mempunyai saham yang tidak kecil dalam membentuk watak dan
tingkah laku seseorang. Lebih jauh menurutnya fungsi pokok agama adalah
mengintegrasikan hidup. Bahwa agama
dengan nilai-nilai moralnya amat diperlukan dalam kehidupan manusia. Contoh
kecil dari hubungan agama dan moral ini dapat dilihat dari fenomena dewasa ini
tentang kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial yang merugikan
akhlak atau moral di kalangan penduduk kota-kota besar. Dalam hal ini nilai-nilai
moral dalam agama dirasa penting untuk diterapkan. Dalam Islam, al-Qur’an
misalnya menginginkan untuk menegakkan kehidupan masyarakat yang egaliter, baik
sosial,politik dan sebagainya yang ditegakkan pada dasar-dasar etika. Hal
tersebut dapat dilihat dari ayat-ayat yang menyiratkan tentang “memakmurkan
bumi” atau “menjauhi kerusakan di dunia”. Juga dapat dilihat dari ayat tentang
tugas manusia yang dinyatakan dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sampai di
sini semakin jelalah akan adanya hubungan yang tak teroisakan antara nilai-nilai
agama yang diinternalisakan kepada manusia dengan pendidikan agama dengan
pendidikan moral.
PENUTUP
Sampai pada akhir tulisan ini, penulis
dapat menyimpulkan bahwa para pemikir Islam kontemporer tersebut di atas
memiliki kesamaan visi dalam memandang pendidikan moral dalam perspektif
pendidikan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat bahwa pendidikan
agama dan moral sangat memiliki hubungan yang erat. Dan bahwa apapun bentuk
interaksi sosial manusia tentu tidak terlepas dari perilaku moral atau etika
dan akhlaq. Berangkat dari kesamaan visi tersebut, maka cita-cita pemikiran
pendidikan Islam kontemporer mengedepankan pentingnya mendasari setiap bentuk
pendidikan di atas bangunan moral yang tinggi. Kiranya demikian tulisan ini
penulis sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lamu bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa
ini. Jakarta: Rajawali, 1987
Asyraf,
Ali, Horison Baru Pendidikan Islam,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Habiburrohman Khoirul Umam,M.Pd.A. 2009. Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. (http://staipuimajalengka.files.wordpress.com,
diakses tanggal 13 Juni 2011)
Madjid,
Nur Cholish, Masalah Pendidikan Agama di
Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Ed) Dinamika
Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos, 2002
Nasution,
Harun, Islam Rasional, Bandung:
Mizan, 1998
Nata,
Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi
Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
Suwendi,
Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam,
Jakarta: Rajawali Press, 2004
[1] Suwendi. Sejarah dan
Pemikiran Pendidikan Islam. (Jakarta : Rajawali Press, 2004).
[2] Ali Asyraf. Horison Baru
Pendidikan Islam. (Jakarta : Pustaka firdaus, 1989).
[3] Harun Nasution. Islam
Regional. (Bandung : Mizan, 1998).
[4] Nur Cholish Madjid. Masalah Pendidikan
Agama di Perguruan Tinggi Umum dalam Fuaddudin & Cik Hasan Bisri (Ed)
Dinamika Peikiran Islam di Perguruan Tinggi. (Jakarta : Logos, 2002)
[5] Abuddin Nata. Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta :
Rajawali Press, 2004).
[6] Mukti Ali. Bebereapa
Persoalan Agama Dewasa Ini. (Jakarta : Rajawali, 1989).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar