PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya
agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, pada abad ke-7 M, menimbulkan
suatu tenaga penggerak yang luar biasa, yang pernah dialami oleh umat manusia.
Islam merupakan gerakan raksasa yang telah berjalan sepanjang zaman dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M[1]. Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.
Masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia dipandang dari segi historis dan sosiologis sangat kompleks dan terdapat banyak masalah, terutama tentang sejarah perkembangan awal Islam. Ada perbedaan antara pendapat lama dan pendapat baru. Pendapat lama sepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke-13 M dan pendapat baru menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali ke Indonesia pada abad ke-7 M[1]. Namun yang pasti, hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula dimasuki Islam adalah daerah Aceh.
Datangnya
Islam ke Indonesia dilakukan secara damai, dapat dilihat melalui jalur
perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf dan tarekat, serta jalur
kesenian dan pendidikan, yang semuanya mendukung proses cepatnya Islam masuk
dan berkembang di Indonesia. Kegiatan pendidikan Islam di Aceh lahir, tumbuh
dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam di Aceh. Konversi massal
masyarakat kepada Islam pada masa perdagangan disebabkan oleh Islam merupakan
agama yang siap pakai, asosiasi Islam dengan kejayaan, kejayaan militer Islam,
mengajarkan tulisan dan hapalan, kepandaian dalam penyembuhan dan pengajaran
tentang moral.[2]
Konversi
massal masyarakat kepada Islam pada masa kerajaan Islam di Aceh tidak lepas
dari pengaruh penguasa kerajaan serta peran ulama dan pujangga. Aceh menjadi
pusat pengkajian Islam sejak zaman Sultan Malik Az-Zahir berkuasa, dengan
adanya sistem pendidikan informal berupa halaqoh. Yang pada kelanjutannya menjadi
sistem pendidikan formal. Dalam konteks inilah, pemakalah akan membahas tentang
pusat pengkajian Islam pada masa Kerajaan Islam dengan membatasi wilayah
bahasan di daerah Aceh, dengan batasan masalah, pengertian pendidikan Islam,
masuk dan berkembangnya Islam di Aceh, dan pusat pengkajian Islam pada masa
tiga kerajaan besar Islam di Aceh.
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Islam
Secara etimologis pendidikan
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba”
yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.[3]
Menurut pendapat ahli, Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tuntutan di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan adalah menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya[4]. Pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan[5].
HM. Arifin menyatakan, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian
“memberi makan” kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah,
juga sering diartikan dengan menumbuhkan kemampuan dasar manusia.
Menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan memang sangat berguna
bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar
yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan
mengamalkan semua nilai yang disepakati kati sebagai nilai terpuji dan
dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat,
bangsa dan negara. Pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan
yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud
dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang
bersifat teoritis dan praktis.[6]
Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik
terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah
terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).
B.
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Masa Kerajaan Islam
di Aceh
1. Masuk dan Berkembangnya Islam di
Aceh
Hampir
semua ahli sejarah menyatakan bahwa daerah Indonesia yang mula-mula di masuki
Islam ialah daerah Aceh.[7]
Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang
berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
a. Islam untuk pertama kalinya telah
masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
b. Daerah yang pertama kali didatangi
oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah
di Pasai.
c. Dalam proses pengislaman
selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan
proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
d. Keterangan Islam di Indonesia, ikut
mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk
kepribadian bangsa Indonesia.
C.
Masuknya Islam ke Indonesia
Ada yang mengatakan dari India,
dari Persia, atau dari Arab dan jalur yang digunakan adalah:
1. Perdagangan, yang mempergunakan sarana
pelayaran
2. Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang
berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai
sufi pengembara.
3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang
muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya
inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
4. Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu
berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
5. Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai
untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk
agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke
Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India,
dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan
Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh
sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi
juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
D.
Faktor yang menyebabkan Islam mudah berkembang di Aceh
Faktor yang menyebabkan Islam
mudah berkembang di Aceh yaitu:
1. Letaknya sangat strategis dalam
hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok
2. Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan
Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena
jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.[8]
Sedangkan
Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang
menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia antara lain:
1. Agama Islam tidak sempit dan berat
melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat
manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah
syahadat saja.
2. Sedikit tugas dan kewajiban Islam
3. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara
berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
4. Penyiaran Islam dilakukan dengan
cara bijaksana.
5. Penyiaran Islam dilakukan dengan
perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan
golongan atas.
E.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam
Pada masa perdagangan terjadi
karena beberapa sebab yaitu:
1.
Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
2.
Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara
bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka
adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka
bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.
3.
Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan
tangguh dalam peperangan.
4.
Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan
ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
5.
Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting
bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.
6.
Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada
Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai
menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan
dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
7.
Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari
berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui
faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh
Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas
negeri ini.
F.
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Tiga Kerajaan Islam
di Aceh.
1.
Zaman Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan
Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudra Pasai, yang didirikan pada
abad ke-10 M dengan raja pertamanya Malik Ibrahim bin Mahdum. Yang kedua
bernama Al-Malik Al-Shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun
1444 M/ abad ke-15 H).[9]
Pada
tahun 1345, Ibnu Batutah dari Maroko sempat singgah di Kerajaan Pasai pada
zaman pemerintahan Malik Az-Zahir, raja yang terkenal alim dalam ilmu agama dan
bermazhab Syafi’i, mengadakan pengajian sampai waktu sholat Ashar dan fasih
berbahasa Arab serta mempraktekkan pola hidup yang sederhana. Keterangan Ibnu
Batutah tersebut dapat ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman
kerajaan Pasai sebagai berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran
agama bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b. Sistem pendidikannya secara informal
berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh
agama
d. Biaya pendidikan bersumber dari negara.
Pada
zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai kejayaannya pada abad ke-14 M, maka
pendidikan juga tentu mendapat tempat tersendiri. Mengutip keterangan Tome
Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra Pasai banyak terdapat kota, dimana
antar warga kota tersebut terdapat orang-orang berpendidikan”.
Menurut
Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam
di Asia Tenggara, dan banyak berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam.
Ibnu Batutah menyatakan bahwa Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta
kepada para ulama dan ilmu pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan
sembahyang di Masjid menggunakan pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan
diskusi dengan para alim pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi,
dan Tajudin dari Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis
Ta’lim atau halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi
melingkari guru. Guru duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi
seluruh wajah murid menghadap guru.
2.
Kerajaan Perlak
Kerajaan
Islam kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh. Rajanya yang pertama Sultan
Alaudin (tahun 1161-1186 H/abad 12 M). Antara Pasai dan Perlak terjalin kerja
sama yang baik sehingga seorang Raja Pasai menikah dengan Putri Raja Perlak.
Perlak merupakan daerah yang terletak sangat strategis di Pantai Selat Malaka,
dan bebas dari pengaruh Hindu.
Kerajaan
Islam Perlak juga memiliki pusat pendidikan Islam Dayah Cot Kala. Dayah
disamakan dengan Perguruan Tinggi, materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab,
tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan
tata negara, mantiq, ilmu falaq dan filsafat. Daerahnya kira-kira dekat Aceh
Timur sekarang. Pendirinya adalah ulama Pangeran Teungku Chik M.Amin, pada
akhir abad ke-3 H, abad 10 M. Inilah pusat pendidikan pertama. Rajanya yang ke
enam bernama Sultan Mahdum Alaudin Muhammad Amin yang memerintah antara tahun
1243-1267 M, terkenal sebagai seorang Sultan yang arif bijaksana lagi alim.
Beliau adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam yaitu suatu
Majlis Taklim tinggi dihadiri khusus oleh para murid yang sudah alim. Lembaga
tersebut juga mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot
pengetahuan tinggi, misalnya kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.(A.Mustofa,
Abdullah, 1999: 54) Dengan demikian pada kerajaan Perlak ini proses pendidikan
Islam telah berjalan cukup baik.
3.
Kerajaan Aceh Darussalam
Proklamasi
kerajaan Aceh Darussalam adalah hasil peleburan kerajaan Islam Aceh di belahan
Barat dan Kerajaan Islam Samudra Pasai di belahan Timur. Putra Sultan Abidin
Syamsu Syah diangkat menjadi Raja dengan Sultan Alaudin Ali Mughayat Syah
(1507-1522 M).
Bentuk
teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan Kerajaan Aceh adalah Gampong
(Kampung), yang dikepalai oleh seorang Keucik dan Waki (wakil). Gampong-gampong
yang letaknya berdekatan dan yang penduduknya melakukan ibadah bersama pada
hari jum’at di sebuah masjid merupakan suatu kekuasaan wilayah yang disebut
mukim, yang memegang peranan pimpinan mukim disebut Imeum mukim.[10]
Jenjang
pendidikan yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam diawali pendidikan terendah
Meunasah (Madrasah). Yang berarti tempat belajar atau sekolah, terdapat di
setiap gampong dan mempunyai multi fungsi antara lain:
a. Sebagai tempat belajar Al-Qur’an
b. Sebagai Sekolah Dasar, dengan materi
yang diajarkan yaitu menulis dan membaca huruf Arab, Ilmu agama, bahasa Melayu,
akhlak dan sejarah Islam.
c. Sebagai tempat ibadah sholat 5 waktu
untuk kampung itu.
d. Sebagai tempat sholat tarawih dan
tempat membaca Al-Qur’an di bulan puasa.
e. Tempat kenduri Maulud pada bulan
Mauludan.
f. Tempat menyerahkan zakat fitrah pada
hari menjelang Idhul Fitri atau bulan puasa
g. Tempat mengadakan perdamaian bila
terjadi sengketa antara anggota kampung.
h. Tempat bermusyawarah dalam segala
urusan
Letak
meunasah harus berbeda dengan letak rumah, supaya orang segera dapat mengetahui
mana yang rumah atau meunasah dan mengetahui arah kiblat sholat. Selanjutnya
sistem pendidikan di Dayah (Pesantren) seperti di Meunasah tetapi materi yang
diajarkan adalah kitab Nahu, yang diartikan kitab yang dalam Bahasa Arab,
meskipun arti Nahu sendiri adalah tata bahasa (Arab). Dayah biasanya dekat
masjid, meskipun ada juga di dekat Teungku yang memiliki dayah itu sendiri,
terutama dayah yang tingkat pelajarannya sudah tinggi. Oleh karena itu orang
yang ingin belajar nahu itu tidak dapat belajar sambilan, untuk itu mereka
harus memilih dayah yang agak jauh sedikit dari kampungnya dan tinggal di dayah
tersebut yang disebut Meudagang. Di dayah telah disediakan pondok-pondok kecil
mamuat dua orang tiap rumah. Dalam buku karangan Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, istilah Rangkang merupakan madrasah seringkat Tsanawiyah,
materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah, berhitung, dan
akhlak. Rangkang juga diselenggarakan disetiap mukim.
Bidang
pendidikan di kerajaan Aceh Darussalam benar-benar menjadi perhatian. Pada saat
itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan
ilmu pengetahuan yaitu:
a. Balai Seutia Hukama, merupakan
lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan
cendikiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
b. Balai Seutia Ulama, merupakan
jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan
pengajaran.
c. Balai Jama’ah Himpunan Ulama,
merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar
fikiran membahas persoalan pendidikan dan ilmu pendidikannya.
Aceh pada
saat itu merupakan sumber ilmu pengetahuan dengan sarjana-sarjananya yang
terkenal di dalam dan luar negeri. Sehingga banyak orang luar datang ke Aceh
untuk menuntut ilmu, bahkan ibukota Aceh Darussalam berkembang menjadi kota
Internasional dan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Kerajaan Aceh
telah menjalin suatu hubungan persahabatan dengan kerajaan Islam terkemuka di
Timur Tengah yaitu kerajaan Turki. Pada masa itu banyak pula ulama dan
pujangga-pujangga dari berbagai negeri Islam yang datang ke Aceh. Para ulama
dan pujangga ini mengajarkan ilmu agama Islam (Theologi Islam) dan berbagai
ilmu pengetahuan serta menulis bermacam-macam kitab berisi ajaran agama.
Karenanya pengajaran agama Islam di Aceh menjadi penting dan Aceh menjadi
kerajaan Islam yang kuat di nusantara. Diantara para ulama dan pijangga yang
pernah datang ke kerajaan Aceh antara lain Muhammad Azhari yang mengajar ilmu
Metafisika, Syekh Abdul Khair Ibn Syekh Hajar ahli dalam bidang pogmatic dan
mistik, Muhammad Yamani ahli dalam bidang ilmu usul fiqh dan Syekh Muhammad Jailani
Ibn Hasan yang mengajar logika.[11]
Tokoh
pendidikan agama Islam lainnya yang berada di kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri. Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan
ajaran tasawuf yang beraliran wujudiyah. Diantara karya-karya Hamzah Fansuri
adalah Asrar Al-Aufin, Syarab Al-Asyikin, dan Zuiat Al-Nuwahidin. Sebagai
seorang pujangga ia menghasilkan karya-karya, Syair si burung pungguk, syair
perahu.
Ulama penting lainnnya adalah
Syamsuddin As-Samathrani atau lebih dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah
murid dari Hamzah Fansuri yang mengembangkan paham wujudiyah di Aceh. Kitab
yang ditulis, Mir’atul al-Qulub, Miratul Mukmin dan lainnya. Ulama dan pujangga
lain yang pernah datang ke kerajaan Aceh ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Ia
menentang paham wujudiyah dan menulis banyak kitab mengenai agama Islam dalam
bahasa Arab maupun Melayu klasik. Kitab yang terbesar dan tertinggi mutu dalam
kesustraan Melayu klasik dan berisi tentang sejarah kerajaan Aceh adalah kitab
Bustanul Salatin. Pada masa kejayaan kerajaan Aceh, masa Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) oleh Sultannya banyak didirikan masjid sebagai tempat beribadah
umat Islam, salah satu masjid yang terkenal Masjid Baitul Rahman, yang juga
dijadikan sebagai Perguruan Tinggi dan mempunyai 17 dasar (fakultas). Dengan
melihat banyak para ulama dan pujangga yang datang ke Aceh, serta adanya
Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan bahwa kerajaan Aceh menjadi pusat studi
Islam. Karena faktor agama Islam merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh pada periode berikutnya. Menurut B.J.
Boland, bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.
KESIMPULAN
Pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan
kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan mengamalkan
semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan dikehendaki,
serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi, masyarakat, bangsa
dan negara. Pendidikan Islam sendiri adalah proses bimbingan terhadap peserta
didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (insan kamil).
Keberhasilan dan kemajuan pendidikan di masa kerajaan Islam
di Aceh, tidak terlepas dari pengaruh Sultan yang berkuasa dan peran para ulama
serta pujangga, baik dari luar maupun setempat, seperti peran Tokoh pendidikan
Hazah Fansuri, Syamsudin As-Sumatrani, dan Syaeh Nuruddin A-Raniri, yang
menghasilkan karya-karya besar sehingga menjadikan Aceh sebagai pusat
pengkajian Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Ed. Agama dan
Perubahan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, 1983
Drajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, cet. 4
Ibrahim, M, et.al., Sejarah Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Jakarta : CV. Tumaritis, 1991, cet 2
Mustofa.A, aly, Abdullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, Bandung : CV. Pustaka
Setia, 1999
Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan
Teoritis, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1992
Sunanto, Musrifah, Sejarah Peradaban
Islam Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005
Zauharini, et.al., Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2000, set 6
Sejarah Pendidikan Islam Indonesia,
www. scrib.com, diakses tanggal 1 Juni 2011.
[1] Abdulah Mustofa. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm 23.
[2] Musrifah Sunanto. Sejarah
Peradaban Islam Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm
23.
[3] Zakiyah Darajat. Ilmu
Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm 25.
[4] Hasbulah. Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 4.
[5] Ngalim Purwanto. Ilmu
Pendidikan Teoritis. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1992), hlm 11.
[6] Zakiyah Darajat. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi
Aksara, 1996), hlm 25.
[7] Taufik Abdullah. Agama dan
Perubahan Sosial. (Jakarta : CV Rajawali, 1983), hlm 4.
[8] Abdulah Mustofa. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm 53.
[9] Abdulah Mustofa. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hlm 54.
[10] M Ibrahim. Sejarah Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Jakarta : CV Tumaritis, 1991), hlm 75.
[11] M Ibrahim. Sejarah Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. (Jakarta : CV Tumaritis, 1991), hlm 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar