Rabu, 19 Maret 2014

Makalah Sejarah Pendidikan Islam


PERKEMBANGAN MADRASAH DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DI JAMAN PENJAJAHAN

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika memasuki era Orde Baru, dunia kependidikan di Indonesia sudah berkembang dalam sistem yang dualistic antara pendidikan umum (nasional) di satu pihak dan pendidikan agama Islam di lain pihak dengan posisi pendidikan umum jauh lebih dominan. Dualisme itu sendiri pada awalnya merupakan produk penjajahan Hindia Belanda, namun sampai pada batas tertentu juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik antara Islam dan nasionalisme, yang sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan telah menjadi titik perbenturan yang cukup serius khususnya dalam penentuan dasar dan bentuk negara Indonesia. Meskipun dalam kenyataannya terjadi rekonsiliasi dalam formula negara yang berdasarkan Pancasila, tetapi implikasi dualisme ideologis itu terhadap dunia kependidikan tampaknya tidak bisa dihapuskan dalam masa yang pendek. Di samping karena masalahnya cenderung bersifat instrumental, juga karena secara realistik pendidikan Islam di Indonesia, baik dalam bentuk masjid, pesantren maupun madrasah memiliki akar sejarah yang sangat panjang di Indonesia, jauh lebih panjang dari tradisi pendidikan sekolah atau universitas yang mendominasi pendidikan nasional sampai dewasa ini.
Usaha untuk memadukan sistem pendidikan yang dualistik itu, sebagaimana diusahakan dalam era Orde Baru, bukan merupakan usaha yang baru sama sekali. Pada tingkat yang sangat signifikan, usaha ke arah itu sudah dimulai sejak abad ke 19 ketika gerakan modernisme Islam mulai berkembang di Indonesia. Pada tahap ini usaha memperbaharui pendidikan islam dengan memasukkan mata pelajaran baru (umum) dan memperkenalkan sistem didaktik metodik ala Belanda sudah mulai dilakukan, di samping usaha mempengaruhi kebijakan Hindia Belanda untuk memasukkan pendidikan agama dalam sistem pendidikan pribumi yang dikembangkannya.

B.     Kebijakan Pemerintah Belanda
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, madrasah memulai proses pertumbuhan atas dasar semangat pembaharuan di kalangan umat Islam. Latar belakang kelahiran madrasah itu bertumpu pada dua faktor penting. Pertama pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Kedua laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekularisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana. Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola response umat islam yang progresif terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin banyak.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintah penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya bersifat pedagogis kultural tetapi juga bersifat psikologis politis.[1] Melalui pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi, di pihak lain, pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah. Walaupun pengorganisasian madrasah menerima pengaruh dari sistem sekolah Belanda tetapi muatan keagamaan di lembaga itu pada akhirnya akan menambah semangat krisis umat Islam terhadap sistem kebudayaan yang dibawakan oleh kaum penjajah.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru untuk memiliki surat ijin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Latar belakang ordonansi guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Ordonansi guru dinilai umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan. Dalam perkembangannya, ordonansi guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan surat ijin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja. Ordonansi guru yang diperbaharui ini diberlakukan secara lebih kuas di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Namun demikian, ordonansi guru ini pun sering kali disalahgunakan oleh pemerintah lokal untuk menghambat gerakan umat Islam. Peristiwa yang dialami oleh kalangan Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan adanya maksud negatif di balik ordonansi guru tersebut. Pada waktu itu, pengurus pusat akan meresmikan sekolah Muhammadiyah setempat tetapi tiba-tiba dilarang padahal sebelumnya sudah memberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen Palembang.[2]
Selain ordonansi guru, pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan ordonansi sekolah liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai kurikulum dan keadaan sekolah pun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum tertata, ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat, reaksi negatif terhadap ordonansi sekolah liar ini juga datang dari para penyelenggara pendidikan di luar gerakan Islam.
Reaksi umat islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat dikelompokkan ke dalam dua corak yaitu defensif dan progresif. Corak defensif ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional pesantren yang sepenuhnya mengambil jarak dengan pemerintahan penjajah. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan kurikulum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental keagamaan, Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan.
Corak responsi umat Islam yang bersifat progresif yang memandang bahwa tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijakan diskriminatif. Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai kesetaraan dan kesejajaran baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akan semakin melemahkan posisi umat Islam sendiri. Begitu sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus akan semakin memberi ruang yang lapangan bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda.
Terlepas dari kedua pola responsi di atas, umat Islam pada umumnya menolak segala bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat Islam menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat reaksi cukup keras. Di bawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia Belanda, sebagaimana digambarkan di atas, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang memperoleh pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang setengah-setengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam pendidikan akhirnya terpenuhi melalui madrasah, sementara pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolah-sekolah yang didirikannya sebagai wujud dari kebijakan diskriminatifnya.

C.    Kebijakan Pemerintah Jepang
Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan dari pada penjajahan Belanda tetapi kebijakan dasar pemerintah penjajah Jepang berorientasi pada penguatan kekuasaannya di Indonesia. Pemerintah Jepang memegang kendali yang sangat ketat dalam program-program pendidikan di Indonesia, walaupun dalam kenyataannya menghadapi kendala kurangnya tenaga pengajar yang memenuhi kriteria. Untuk memutus hubungan dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang menghapuskan sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia bahkan digunakan secara lebih luas di lingkungan pendidikan. Kurikulum dan struktur pendidikan pun dirubah.[3]
Untuk memperoleh dukungan umat Islam, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa pemerintahan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena  kenyataan bahwa pengawasan pemerintah Jepang sendiri tidak dapat menjangkau madrasah dan pesantren yang sebagian besar berlokasi di desa-desa terpencil. Namun demikian pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di Indonesia.
Upaya mengamankan kepentingannya, pemerintahan Jepang lebih banyak mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama. Pejabat-pejabat seperti itu tentu saja lebih dapat bekerjasama dengan pemerintahan Jepang karena mereka tidak memiliki perhatian yang serius terhadap pentingnya gerakan pendidikan Islam di Indonesia. Kantor ini bertugas antara lain mengorganisasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha itu pada dasarnya bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah maupun di pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.
Respon umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Jepang nampaknya lebih progresif. Menghadapi politik pendidikan Jepang, kalangan ulama di Minangkabau bersepakat mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau. Dipimpin oleh M Jamil Jambek dan mahmud Yunus. Majelis ini berusaha mengkoordinasikan pendidikan agama, baik di madrasah maupun di sekolah. Dalam hal kurikulum, majelis ini membuat rancangan yang menjamin standar mutu pendidikan agama. Pemerintah Jepang memberikan pertimbangan yang cukup serius terhadap setiap rancangan dan usulan dari Majelis Islam Tinggi, khususnya dalam bidang pendidikan.[4]
Dilaporkan bahwa pada masa penjajahan Jepang, pengembangan Madrasah Awaliyah digalakkan secara luas. Majelis Islam Tinggi menjadi penggagas dan sekaligus penggerak utama untuk berdirinya madrasah-madrasah awwaliyah yang diperuntukkan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada madrasah-madrasah awwaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan diselenggarakan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan bagi anak-anak yang pada umumnya mengikuti sekolah-sekolah rakyat pada pagi hari. Perkembangan madrasah-madrasah itu ikut mewarnai pola pengorganisasian pendidikan agama yang lebih sistematis.
Pendidikan Islam dalam bentuk masjid dan pesantren, masih menjadi lembaga pendidikan yang dominan bagi masyarakat Indonesia. Pergeseran mulai terjadi ketika dalam situasi penjajahan, masyarakat pribumi Indonesia khususnya di Jawa, disediakan model pendidikan yang dirancang berdasarkan kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Penyediaan pendidikan itu sendiri pada awalnya dimaksudkan untuk mempersiapkan kalangan pribumi untuk  jabatan-jabatan di kantor pemerintahan Hindia Belanda. Pola pendidikan yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan ini sama sekali bukan merupakan penyesuaian-penyesuaian terhadap sistem pendidikan islam pada masa itu, tetapi malah lebih menyerupai sekolah-sekolah yang berkembang di wilayah Minangkabau dan Maluku.
Hindia Belanda pada dasarnya menggunakan politik asosiasi yang semestinya membawa konsekuensi pada penyelenggaraan pendidikan pribumi yang berasal dari adat atau kebiasaan pribumi dalam hal ini pesantren. Prinsip politik asosiasi adalah harus menghormati unsur pribumi dalam masyarakat keengganan menolak kebudayaan asli dalam hubungannya dengan kebudayaan asing yang bercorak Barat. Sangat wajar sebelumnya diperkirakan bahwa pendidikan pribumi yang akan dilaksanakan oleh Hindia Belanda itu adalah sistem pendidikan yang berdasarkan masyarakat desa yang dihubungkan erat pada pendidikan Islam yang sudah ada sebelumnya.[5]
Penyebab utama diasingkan sistem pendidikan Islam itu adalah karena kemungkinan konsekuensinya yang justru tidak menguntungkan kepentingan politik Hindia Belanda sendiri. Pendidikan Islam dalam praktiknya lebih menekankan kepada aspek keimanan dan keyakinan dalam beragama yang secara langsung memberi rangsangan dan motivasi untuk melawan penjajahan dan pemerintahan yang kafir.
Pemberlakukan pendidikan pribumi oleh pemerintah Hindia Belanda dapat dianggap sebagai awal dari dualisme sistem pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan Islam tetap berjalan sesuai dengan karakternya dan secara tradisional menjadi andalan masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslimin, sementara sistem pendidikan pribumi ala Belanda terus berkembang dan menjadi pusat pengajaran dan pelaksanaan bagi kaum elit pribumi yang memiliki hubungan dengan pemerintah Hindia Belanda. Dualisme pendidikan ini dalam perkembangannya menghasilkan orientasi dan wawasan masyarakat Indonesia yang terbelah sesuai dengan karakter masing-masing pendidikan yang ditempuhnya. Namun demikian, orientasi kaum terpelajar yang berlatarbelakang pendidikan ala Belanda secara politis lebih siap menangani masalah-masalah kenegaraan, karena memang pola pendidikannya sejak awal mempersiapkan mereka untuk menjadi tenaga-tenaga pemerintahan. Hal ini membawa konsekuensi pada kecenderungan  mereka untuk lebih mengembangkan pola dan orientasi pendidikan yang pernah dinikmatinya, ketika harus menentukan kebijakan dalam bidang pendidikan.
Upaya menyesuaikan pendidikan islam secara lebih modern pada umumnya dihubungkan dengan perkembangan pendidikan yang terjadi di Minangkabau tahun 1906-1930. Melalui wilayah ini tradisi pendidikan modern model Mesir masuk dan mempengaruhi penyesuaian-penyesuaian pendidikan Islam di Indonesia. Upaya serupa juga dilakukan oleh seorang tokoh Zaenudin Labai el Yunusi (1890-1924) yang memiliki pengalaman pendidikan di sekolah gubernurmen. Madrasah diniyah yang didirikannya tidak saja mengajarkan agama tetapi juga sejarah dan ilmu bumi. Dalam masa-masa itu, penyesuaian-penyesuaian pendidikan Islam dengan perkembangan modern secara luas dilakukan baik di wilayah Minangkabau maupun di Jawa seperti oleh Muhammadiyah di Yogyakarta.[6]

PENUTUP
Dari gambaran umum di atas terdapat kesan bahwa kecenderungan-kecenderungan ke arah pertemuan dua pola dan orientasi pendidikan yang dualistic itu tampaknya bersifat alamiah dan satu sama lain saling terpisah-pisah, belum ada pengorganisasian untuk upaya pengembangan pendidikan Islam secara kolektif dan terpadu. Perubahan itu terjadi sebagai konsekuensi logis dari kesadaran umat Islam yang dibangunkan oleh perkembangan modern, baik yang dirasakan melalui kontak dan pengalaman dengan pihak Hindia Belanda dan kaum terpelajar pribumi maupun melalui pertemuan dan korespondensi dengan gerakan modern Timur Tengah. Perkembangan itu baru terkesan politis ketika sudah berada dalam era Indonesia merdeka, karena pergumulan antara kepentingan-kepentingan untuk menentukan arah perkembangan Indonesia berlangsung cukup keras. Tarik menarik antara kecenderungan integratif yang mempertimbangkan pendidikan Islam sangat tampak terutama pada masa-masa awal kemerdekaan.

DAFTAR PUSTAKA
Aquib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta : LP3ES, 1984.

Karel A Steenbink. Pesantren Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam kurun modern. Jakarta : LP3ES, 1994.

Lee kam Hing. Education and Politics in Indonesia 1945-1965. Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1995.

Mangun Budiyanto. 2010. Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan. http://wordpress.com, diakses tanggal 2 Juni 2011.

Muljanto Sumardi. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975. Jakarta : LPIAK Balitbang Agama Depag. 1977.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hidakarya Agung, Jakarta, 1985.



[1] Aquib Suminto. Politik Islam Hindia Belanda. (Jakarta : LP3ES, 1984). Hlm 49.
[2] Aqib Suminto. Politik Islam. Hlm 55.
[3] Lee kam Hing. Education and Politics in Indonesia 1945-1965. (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1995).Hlm 23-25.
[4] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979).
[5] Karel A Steenbink. Pesantren Madrasah dan Sekolah Pendidikan Islam dalam kurun modern. (Jakarta : LP3ES, 1994). Hlm 2.
[6] Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta : Pustaka Mahmudian, 1960). Hal 35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar