BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu kelemahan umat Islam dalam mengkaji dan mempelajari Islam adalah masalah
penguasaan metodologi. Sebab, metode yang dipakai umat Islam dalam mempelajari
Islam, umumnya bertumpu pada tiga hal yaitu metode yang epistemologinya
didasarkan pada pemikiran analogis di mana ilmu pengetahuan diproduksi juga
secara analogis. Cara kerjanya dengan menyandarkan apa yang tidak tampak
terhadap apa yang tampak dan menyandarkan apa yang tidak diketahui pada apa
yang diketahui serta menyandarkan yang baru pada model masa lalu. Ilmu-ilmu
yang didasarkan pada model ini, mencakup hampir seluruh ilmu-ilmu di awal Islam
yang terus ditransmisikan kepada umat Islam hingga kini.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan permasalahan
dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Bagaimana
urgensi metodologi dalam Studi Islam di Indonesia?
2. Apa
saja pendekatan yang dapat dilakukan dalam metodologi studi Islam di Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
memberikan gambaran tentang urgensi metodologi dalam Studi Islam di Indonesia.
2. Untuk
memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sejarah Pendidikan Agama Islam di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Urgensi
Metodologi
Salah satu permasalahan yang mendesak
untuk segera dibahas dalam studi Islam adalah masalah metodologi. Hal ini disebabkan
oleh 2 hal, yaitu kelemahan di kalangan umat Islam dalam mengkaji Islam secara
komprehensif adalah tidak menguasai metodologi[1].
Kelemahan ini makin terasa manakala umat Islam khususnya Indonesia tidak
menjadi produsen pemikiran tetapi menjadi konsumen pemikiran. Jadi, kelemahan
umat Islam bukan terletak pada kurangnya penguasaan materi , namun lebih pada
cara-cara penyajian terhadap materi yang dikuasai. Jadi tidak mengherankan jika
banyak di antara mahasiswa perguruan tinggi Islam belum mumpuni dengan wilayah
kajian keilmuan yang digeluti.
Bukan hanya itu, untuk kuliah di
Pascasarjana perguruan tinggi Islam juga mengalami stagnasi dalam bidang
metodologi studi Islam. Ini sekaligus memberikan indikasi bahwa orang-orang
lulusan perguruan tinggi Islam tidak mempunyai bekal metodologi yang cukup
membimbing sebuah disertasi. Padahal, saat ini sudah banyak sarjana PTAI
(Perguruan Tinggi Agama Islam) diakui secara internasional tetapi justru masih
diragukan di lingkungannya sendiri. [2]
Karena itu, tidak heran jika PTAI menggunakan dua cara pandang berbeda pada
gilirannya, mengindikasikan bahwa perkembangan metodoogi di lembaga pendidikan
ini sangar diragukan. Ada anggapan bahwa studi Islam di kalangan ilmuwan telah
merambah ke berbabagai wilayah, misalnya studi Islam sudah masuk ke kawasan
fisiologi, antrolopogi, arkeologi dan sebagainya.
Metode atau pendekatan yang layak adalah
salah satu keharusan yang mesti dikuasai oleh peneliti studi Islam. Sekarang
ini metodologi Islam hanya dialami oleh mereka yang menempuh studi Islam pada
tingkat S2 atau S3. Namun, untuk S1 mulai diajarkan hanya sebatas untuk menulis
skripsi. Stelah itu, mahasiswa tidak mempunyai ilmu untuk mengakses apa yang
telah mereka dalami karena dosen hanya mengajarkan secara umum. Mereka
mempertanyakan apa gunanya ilmu yang dikuasai sejak semester awal sampai
semester akhir sebab mereka mempelajari Islam sama dengan yang mereka dapati
ketika mereka belajar ngaji di pengajian atau pondok pesantren.[3]
B.
Pendekatan
dalam Mengkaji Islam
1. Pendekatan
Filsafat
Dalam suatu agama
mempunyai dua unsure yaitu unsure sakralitas dan profran[4].
Kedua unsur tersebut jika dikaitkan dalam studi Islam, maka Al Qur’an dan Al Hadits merupakan unsur yang pertama.
Adapun selain hal tersebut dapat disebut sebagai unsure profane. Pendekatan ini
memiliki sifat keilmuan, inklusif dan terbuka. Dari ketiga sifat ini, sangat
tepat untuk dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam studi Islam. Lebih
lanjut dalam pandangan Amin Abdullah, filsafat sebagai metodologi keilmuan
ditandai dengan tiga ciri yaitu pendekatan kajian atau telaah filsafat selalu
terarah pada pencarian dan perumusan gagasan yang bersifat mendasar-fundamental
dalam berbagai persoalan, pengenalan dan pendalaman persoalan serta isu-isu fundamental
dapat membentuk cara berpikir yang kritis dan kajian dalam filsafat secara
otomatis akan membentuk mentalitas cara berpikir serta kepribadian yang
mengutamakan kebebasan intelektual sekaligus mempunyai sikap toleran terhadap
berbagai pandangan dan kepercayaan yang berbeda serta terbebas dari fanatisme.[5]
2. Pendekatan
Sosiologi Sejarah
Pendekatan sosiologis dapat digunakan dalam studi
Islam dengan mengambil beberapa tema yaitu:[6]
a. Studi
pengaruh agama terhadap masyarakat
b. Studi
pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran Islam atau
konsep Islam
c. Studi
tentang tingkat pengalaman Islam masyarakat
d. Studi
pola interaksi social masyarakat muslim
e. Studi
gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang
kehidupan beragama dalam islam.
Hukum
Islam dipandang sebagai gejala social, karena itu konteks realitas social
dihadapkan teks pada gilirannya hasil penelitian ini mampu menjelaskan fenomena
social menurut hokum islam. Pendekatan sosiologi dalam studi hukum hamper sama
dengan yang dipaparkan Minhaji, Minhaji ingin mensosialisasikan pendekatan sejarah
sebagai salah satu pendekatan dalam studi hukum Islam. Gagasan Minhaji banyak
dipengaruhi oleh para sarjana Barat yang sering menggunakan pendekatan sejarah
sebagai kunci analisis dalam mengkaji hukum Islam.[7]
Sejarah dibawa dalam konteks kahian ushul
fiqih disebabkan kajian usuhul fiqih cenderung
mengabaikan sejarah. Sedangkan menurut pandangan Fazlur Rahman dalam kajian
Islam terdapat dua kutub yang berbeda yaitu orang dalam (insider) dan orang luar (outsider).
Kedua kelompok ini tentunya sangat berlainan dalam mengkaji Islam, karena itu
orientalis dianggap sebagai orang luar dan ilmuan Islam dianggap sebagai orang
dalam.
3. Pendekatan
Interdisipliner
Ada empat model pendekatan ilmu sosial dalam kajian Islam
di Barat menurut Azizy, yaitu:
a. Menggunakan
metode ilmu-ilmu yang masuk di dalam kelompok humanities seperti filsafat, filosofi, ilmu bahasa dan sejarah.
b. Menggunakan
pendekatan dalam disiplin teologi, studi Bible dan sejarah gereja. Dalam
disiplin ini mereka menjadikan islam sebagai lapangan kajiannya atau
penelitiannya.
c. Menggunakan
metode ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan
psikologi.
d. Menggunakan
masukan pendekatan yang dilakukan di dalam departemen-departemen, pusat-pusat.
Di samping itu Azizy menelaah beberapa
sarjana Indonesia yang mengecap pendidikan di Barat dengan menggunakan empat
model tersebut. Hal ini penting untuk dikaji selanjutnya, apakah model-model
ini dapat diterapkan oleh perguruan tinggi Islam di Indonesia. Azizy melihat
bahwa Islam dapat dikaji secara akademik, dengan kata lain, Islam dapat
dijadikan sebagai objek penelitian. Untuk itu, pendekatan yang terdapat dalam
ilmu-ilmu sosial dapat diterapkan dalam kajian ini. [8]
Sebagaimana diuraikan oleh Fazlur Rahman
di atas, out sider dalam memandang
islam tentunya lepas dari subjektivitas. Untuk itu, dalam studi Islam terutama
hukum Islam para out sider dapat
dibagi dalam dua kelompok traditionalist dan
revisionist. Kedua pembagian ini
digunakan dalam hukum Islam, tampaknya pembagian ini juga dapat diterapkan
dalam studi Islam secara keseluruhan karena kelompok traditionalist mendasarkan kajiannya pada apa yang ditulis orang
Arab atau Islam.
Traditionalist
memandang bahwa Islam itu sebenarnya tidak mempunyai rumusan ajaran hukum.
Kelompok ini ingin menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah hasil jiplakan
agama-agama sebelumnya. Untuk mendukung pendapatnya kelompok ini menawarkan
empat teori dalam mengkaji hukum Islam. Keempat teori ini pada awalnya
merupakan alat bantu dalam kajian biblical
texts yang kemudian diaplikasikan pada ajaran islam. Teori-teori tersebut
yaitu:
a. Common Link Theory
Teori ini menegaskan
bahwa pada saat tertentu, pembawa hadits (rawi) itu hanya satu orang saja.
Orang tersebut menerima dari banyak orang kemudian menyebarkan kepada orang
banyak.
b.
E-Silentio
theory
Menurut teori ini, pada
saat terjadi perdebatan masalah hukum tertentu, salah seorang peserta diskusi
tersebut mengajukan satu dalil berupa hadits yang dikatakan berasal dari Nabi. Sebenarnya,
jauh sebelum itu sudah ada perdebatan menyangkut hal yang sama. Namun ketika
perdebatan pertama itu terjadi ternyata tak seorang pun yang menemukan hadits
ini. Ini memberikan indikasi bahwa hadits itu sebenarnya fabrikasi seseorang
untuk mendukung pendapatnya yang dimunculkan pada saat perdebatan kedua.
c. Backward projection
theory
Teori ini bertolak dari
banyaknya data yang menunjukkan bahwa pada saat tertentu seseorang mengeluarkan
satu alasan untuk mendukung pendapatnya. Agar alasan itu dipandang bersekutu,
mudah diterima oleh orang banyak dan mampu mengalahkan pendapat yang
menentangnya, maka alasan atau pernyataan itu disandarkan kepada orang terkenal
sebelumnya.
d. Redaction theory
Teori ini mencakup tiga
teori sebelumnya. Teori ini menegaskan bahwa satu pendapat atau satu karya
tulis itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Karenanya untuk memahami
suatu pendapat atau suatu karya diperlukan pemahaman terhadap konteks yang ada.
Jika teori-teori ini digunakan oleh peneliti di Indonesia dalam mengkaji Islam
tampaknya, studi Islam akan menemukan bentuknya yang menyamai studi Islam di
Barat.[9]
Sebagai contoh, Andrew Rippin mengulas analisis
literer yang pernah diterapkan dalam Bible oleh John Wansbrough. Pendekatan
ini, oleh John Wansbrough diterapkan dalam penelitian al Qur’an dan Sunnah.
Meski pendekatan ini dikritik oleh Fazlur Rahman. Tampknya bagi ilmuwan muslim,
pendekatan ini dapat diterapkan dalam mengkaji karya-karya ulama tempo dulu.
Karena itu, kajian Rippin sebenarnya hanya membahas dari metodologi yang
dikembangkan oleh Joh Wansbrough.
Dari model-model pendekatan di atas, tampak bahwa
Islam bisa dikaji secara akademis. Namun demikian, model-model tersebut hanya
dapat digunakan sebagai alat bantu saja karena yang paling urgen untuk dikuasi
oleh calon peneliti dalam studi Islam adalah penguasaan ilmu kalam (teologi
Islam). Tasawuf (sofisme) dan ilmu fiqh beserta ushulnya. Penguasaan ilmu-ilmu itu sebagai bahan dasar untuk
melakukan penelitian. Yang paling penting adalah bagaimana calon peneliti mampu
menguasai beberapa ilmu dasar dalam studi Islam. Jika terjadi ketimpangan,
misalnya seorang peneliti cenderung menguasai metodologi namun miskin ilmu
dasar, maka hasil penelitiannya cacat dari segi kualitas. Jadi, ilmu dasar
adalah modal pembantu sedangkan pendekatan adalah model dari penelitian yang
akan dilakukan. Demikian beberapa model pendekatan dalam studi Islam. Kiranya
model-model tersebut dapat digunakan oleh calon peneliti, baik dari kalangan
perguruan tinggi Islam maupun non-perguruan tinggi Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hal yang perlu dicermati
dalam studi Islam yaitu (1) pada dasarnya untuk mengkaji Islam diperlukan
semacam pendekatan yang mampu menjelaskan dari mana sisi Islam dilihat. Dengan
begitu perdebatan tidak akan terjadi, jika masing-masing kita belajar untuk
memahami dari sisi mana kita mengkaji Islam. (2) Sesungguhnya dapat
dikolaborasikan antara ilmu yang berkembang di Barat dan Islam sendiri. Kendati
dasarnya berbeda, namun jika masing-masing memberikan ruang saling mengisi,
maka studi Islam dan studi lainnya akan menemui bentuk yang bisa saling mengisi
satu sama lain. (3) studi ini masih bersifat pengantar, untuk itu diperlukan
studi lanjutan untuk menemukan bagaimana studi Islam yang bercorak
keindonesiaan, sebab bagaimanapun warna Islam sangat berbeda dengan Islam di
Barat dan Timur.
Akhirnya,
kita mengharapkan agar metodologi studi Islam itu diajarkan kepada mahasiswa
ketika baru masuk ke perguruan tinggi Islam, dengan begitu, mereka akan
tertarik dengan penelitian dan akan bergairah kembali. Inilah yang diharapkan
agar studi Islam di Indonesia semarak lagi. Jika dilihat dari lintasan sejarah,
masih banyak hal yang belum tergali dalam khasanah keislaman Indonesia.
Kenyataan tersebut sementara ini banyak dikaji oleh para peneliti asing
sedangkan kita bangsa Indonesia menjadi konsumen terhadap hasil penelitian
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah. Mencari Islam : Studi Islam dengan berbaggai
pendekatan. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2000.
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam : Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru. (Jakarta : PT Logos. 1999).
Hasan Muarif Ambary. Menemukan Peradaban : Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. (Jakarta : PT
Logos, 1998).
Kamaruzzaman. Law and Culture in Islam : The Case of
Western Schoolarship Perception on Islamic and its Effects to Islamic Law
Studies in State Institute of Islamic Studies (IAIN) of Indonesia. 2001.
Minhaji. Reorientasi Kajian Ushul Fiqh, dalam Al Jami’ah. 1999.
Mohammad Mumtaz Ali. Recontruction of Islamic Thought and
Civilization : An Analytical Study of The Movement for the Islamization of
Knowledge. The Islamic Quarterly. 1991. Volume XLII.
Yudian W Asmin. Pengalaman Belajar Islam di Kanada.
Yogyakarta : Titian Ilahi Press. 1997.
Zainuddin Fananie dan M
Thoyibi. Studi Islam Asia Tenggara.
Surakarta : Muhammadiyah University Press. 1999.
[1] Zainuddin Fananie dan M Thoyibi. Studi Islam Asia Tenggara. Surakarta : Muhammadiyah University
Press. 1999. Hlm 153.
[2] Minhaji. Reorientasi Kajian
Ushul Fiqh, dalam Al Jami’ah.
1999. Hlm 28
[3] Kamaruzzaman. Law and Culture
in Islam : The Case of Western Schoolarship Perception on Islamic and its
Effects to Islamic Law Studies in State Institute of Islamic Studies (IAIN) of
Indonesia. 2001. Hlm 36.
[4] Mohammad Mumtaz Ali. Recontruction
of Islamic Thought and Civilization : An Analytical Study of The Movement for
the Islamization of Knowledge. The Islamic Quarterly. 1991. Volume XLII.hlm
28-29.
[5] Amin Abdullah. Mencari Islam
: Studi Islam dengan berbaggai pendekatan. Yogyakarta : Tiara Wacana. 2000.
Hlm 7-8.
[6] Ibid. Hlm 30.
.
[7] Yudian W Asmin. Pengalaman
Belajar Islam di Kanada. Yogyakarta : Titian Ilahi Press. 1997. Hlm 115.
[8] Hasan Muarif Ambary. Menemukan
Peradaban : Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Indonesia. (Jakarta : PT Logos, 1998). Hlm 83.
[9] Azyumardi Azra. Pendidikan
Islam : Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Jakarta : PT Logos.
1999). Hlm 220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar