PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
masa klasik Islam, masjid mempunyai fungsi yang jauh lebih besar dan bervariasi
dibandingkan fungsinya yang sekarang. Disamping sebagai tempat ibadah, masjid
juga menjadi pusat kegiatan sosial dan politik umat Islam. Lebih dari itu,
masjid adalah lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam. Masjid pula
yang menjadi pilar utama pembangunan peradaban pada suatu negeri. Inilah yang
dicontohkan Rasulullah ketika pertama kali beliau menginjakan kakinya di Madinah.
Praktek
Rasulullah ini menjadi panutan bagi khalifah dan penguasa muslim sesudahnya.
Pembangunan masjid terus berkembang di daerah-daerah kekuasaan
Islam. Setiap kota memiliki sejumlah masjid, sebab pembangunannya tidak saja
dilakukan penguasa resmi, tetapi juga oleh para bangsawan, hartawan dan swadaya
masyarakat. Jumlah masjid terus bertambah sejalan dengan meluas dan majunya
peradaban Islam. Tidak mengherankan bila pada abad ke-3 / 9 H, menurut catatan
al-Ya'qubi, kota Baghdad saja memiliki tidak kurang dari 3000 masjid. Di pihak
lain pengelana terkenal, Ibnu Zaubair (w. 614 H/1217 M) memperkirakan bahwa
kota Alexandria (Iskandariyah) mempunyai sekitar 12.000 masjid. Al-Nu'aymi,
sarjana Damaskus yang hidup pada abad ke-10 H/16 M, dalam bukunya ia mencatat
di Damaskus jumlah masjid saat itu ada 500. Observasi para sarjana tersebut
menunjukkan betapa banyaknya jumlah masjid di masa-masa awal kejayaan Islam,
dan dalam konteks ini berarti semaraknya pendidikan Islam di lakukan dalam
masjid-masjid tersebut.
Barangkali
di tengah bayangan definisi pendidikan modern, orang bisa saja meragukan apakah
pada periode paling awal ini kita telah bisa menganggap masjid sebagai lembaga
pendidikan. Tapi sejarah membuktikan bahwa fungsi akademis masjid
berkembang cukup pesat. Pada masa Umar bin Khattab kita bisa menjumpai
tenaga-tenaga pengajar yang resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar di
masjid-masjid, seperti di Kufah, Bashrah dan Damaskus. Seiring dengan samakin
pesatnya perkembangan islam yang mewarnai dunia, hingga akhirnya sampailah ke
indonesia.
B. Perumusan Masalah
Secara umum tulisan ini berusaha
untuk menguraikan kembali tentang masjid dan pengembangan islam di Indonesia
yaitu : Bagaimana peran, fungsi dan system yang digunakan dalam pengembangan
islam di Indonesia? Pertanyaan tersebut kemudian diturunkan pada rumusan
masalah yang lebih kecil, yaitu :
1.
Bagaimana peran dan fungsi masjid dalam pengembangan pendidikan islam ?
2.
Bagaimana system pendidikan yang di gunakan di masjid ?
3.
Bagaimana perkembangan pendidikan islam di masjid ?
C. Tujuan Penulisan
Secara umum tulisan ini bertujuan
untuk mengetahui dan menganalisis masjid dan pengembangan pendidikan islam di
indonesia. Secara spesifik tulisan ini bertujuan untuk:
1.
Untuk mengetahui bagaimana islam dalam memandang pendidikan secara holistik.
2.
Untuk mengetahui tinjauan fungsi da peran masjid dalam konsep pendidikan islam.
3.
Untuk mengetahui dan menganalisis pendidikan islam berbasis masjid.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Tentang Pendidikan Islam
Makna
dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan. Adanya perbedaan
konseptualisasi dan perbedaan kedua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan
dalam memahami hakikat, peranan, dan tujuan hidup manusia di dunia, yang
ternyata sangat berkaitan dengan serentetan pertanyaan mengenai hakikat ilmu
pengetahuan dan realitas Mutlak. Ahmad Tafsir menyatakan bahwa pendidikan dalam
Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif
(kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi
kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan
sebagai ‘pemelihara’ (khalifah) pada semesta-(Tafsir, 1994). Karenanya, fungsi
utama pendidikan adalah mempersiapakn peserta didik (generasi penerus) dengan
kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan
kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan). Dalam lintasan sejarah
peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan pada
masa-masa kejayaan Islam.[1]
Dalam
lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa
diaktualisakan dan diaplikasikan tepatnya pada zaman kejayaan Islam, yang mana
itu semua adalah sebuah proses dari sekian lama kaum musliminin berkecimpung
dalam naungan Ilmu-ilmu ke-Islaman yang bersumber dari Quran dan Sunnah. Hal
ini dapat kita saksikan, dimana pendidikan benar-benar mampu membentuk
peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus
peradaban yang mewarnai sepanjang jazirah Arab, Afrika, Asia Barat hingga Eropa
timur.
Kamajuan
peradaban dan kebudayaan islam pada masa ke-emasan sepanjang abad pertengahan,
dimana kebudayaan dan peradaban Islam berhasil memberikan Illuminatif
(pencerahan) jazirah Arab, Afrika, Asia Barat dan Eropa Timur, hal ini
merupakan bukti sejarah yang tak terbantahkan bahwa peradaban Islam tidak dapat
lepas dari peran serta adanya sistem pendidikan yang berbasis Kurikulum Samawi.
Kebodohan dan pengentasannya termasuk persoalan pendidikan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu Al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan tidak memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya. Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran, maka para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur tentang kualitas pendidikan. Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu dan pasti sebagai ukuran kualitas pendidikan.
Kebodohan dan pengentasannya termasuk persoalan pendidikan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu Al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan tidak memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya. Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran, maka para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur tentang kualitas pendidikan. Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu dan pasti sebagai ukuran kualitas pendidikan.
B.
Sejarah Masjid
Sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Tirmizi dari Abi Sa’id Al-Khudri berbunyi bahwa
tiap potong tanah itu adalah masjid. Dalam hadist yang lain Nabi Muhammad saw
menerangkan, “telah dijadikan tanah itu masjid bagiku, tempat sujud”. Masjid
berasal dari kata sajada-sujud, salah satunya bermakna mengikuti maupun
menyesuaikan diri dengan ketetapan Allah berkaitan dengan alam raya. Dalam
perkembangannya kata-kata masjid sudah memiliki pengertian khusus, yakni suatu
bangunan yang berfungsi dipergunakan sebagai tempat shalat, baik shalat lima waktu,
shalat jumat maupun shalat hari raya.[2]
Kata masjid di Indonesia menjadi istilah baku sehingga bila disebut kata-kata
masjid maka yang dimaksudkan adalah tempat melaksanakan shalat jumat.
Tempat-tempat shalat yang tidak dipergunakan untuk shalat jum’at maka tidak
disebut masjid di Indonesia.
Masjid
sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan spiritual sebenarnya bukan hanya
berfungsi sebagai tempat shalat saja, tetapi juga merupakan pusat kegiatan
sosial kemasyarakatan, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Beberapa ayat dalam Al quran menyebutkan bahwa fungsi masjid adalah sebagai
tempat yang didalamnya banyak menyebut nama Allah (tempat berdzikir), tempat
beri’tikaf, tempat beribadah (shalat), pusat pertemuan islam untuk membicarakan
urusan hidup dan perjuangan .
C. Peran Dan Fungsi Masjid
Masjid
dalam peradaban pendidikan islam di Indonesia selain berfungsi sebagai tempat
ibadah, mempunyai peran sekaligus memiliki fungsi yang sangat vital dalam
perkembangannya yaitu :[3]
1.
Masjid Sebagai Pusat Pendidikan
Islam Di Indonesia
Dalam
hubungannya dengan pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, sejak awal
penyebaran Islam, masjid telah memegang peranan yang cukup besar. Kedatangan
orang-orang Islam ke Indonesia yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang,
mereka hidup berkelompok dalam beberapa tempat, yang kemudian tempat-tempat
yang mereka tempati tersebut menjadi pusat-pusat perdagangan. Di sekitar
pusat-pusat dagang itulah, mereka biasanya membangun sebuah tempat sederhana
(masjid), dimana mereka bisa melakukan shalat dan kegiatan lainnya sehari-hari.
Memang
tampaknya tidak hanya kegiatan perdagangan yang menarik bagi penduduk setempat.
Kegiatan para pedagang muslim selepas dagangpun menarik perhatian masyarakat.
Maka sejak itulah pengenalan Islam secara sistematis dan berlangsung di banyak
tempat.
Awal penyebaran Islam tidak bisa terlepas dari jasa besar
masjid, yang menjadi tempat bertemunya ulama dengan masyarakat umum.
Keterlibatan dua pihak yang saling bersepakat untuk bertemu di sebuah
tempat yang bernama masjid. Masjid sangat diperlukan, mengingat tidak ada
tempat yang lebih memadai dalam mewadahi proses itu. Bahkan dimasa lampau
sebelum dikenalnya sekolah dan lembaga lainnya, masjid itulah merupakan
satu-satunya pusat kegiatan pendidikan bagi penduduk pedesaaan. Generasi awal
muslim Indonesiapun, mulai dirintis melalui proses pendidikan Islam di masjid.
Merekalah yang nantinya membuka jalan baru dalam membentuk masyarakat muslim di
Indonesia dan menyebar sampai seluruh pelosok tanah air hingga terbentuknya
kerajaan Islam di Indonesia.
Pada masa kerajaan Islam, para sultan memberikan dukungan
yang sangat besar terhadap pengembangan masjid sebagai pusat pendidikan. Di
jawa, Sultan Demak memerintahkan pembangunan masjid agung yang menjadi pusat
keilmuan kerajaan di Bintara, kemudian dukungan kepada para wali yang
bertanggung jawab terhadap kehidupan agama Islam di Demak dengan pusat
kegiatannya di Masjid Agung Demak. Dari masjid itulah para wali merencanakan,
mendiskusikan dan membahas perkembangan Islam di Jawa, dan pada akhirnya mereka
berhasil mengislamkan Pulau Jawa.
Di Kutai, Sultan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai
tempat terhormat untuk menjadi tempat pendidikan dari kalangan bawah sampai
atas, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa
masjid benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi seluruh rakyat Kutai
dan sekitarnya untuk pengembangan pendidikan Islam.
Di Aceh, masjid dibangun dengan megah dan dijadikan
tempat mendidik masyarakat kesultananan Aceh. Kehidupan masyarakat Aceh menjadi
sangat baik dan damai, mereka sangat mencintai ilmu pengetahuan dan agama
Islam. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan agama yang begitu kuat merupakan
landasan untuk memahami kehidupan yang serba ibadah ini. Kecintaan ini kemudian
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, termasuk penghormatan terhadap diri
alim ulama, ahli-ahli ilmu agama, kesediaan untuk berkorban, bekerja keras
untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan kesediaannya untuk
mengembangkannnya dalam lembaga yang sama tanpa memperdulikan hambatan dan
rintangan yang bakal terjadi. Maka Aceh menjadi daaerah yang terkenal dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia.
Di
Minangkabau, pola pendidikan Islam tersebar dalam surau-surau, masjid berukuran
kecil. Kehadiran surau sebagai lembaga pendidikan Islam semacam
pesantren jelas berkaitan erat dengan perluasan fungsi surau dalam msayarakat
Minangkabau. Pola pendidikan semacam ini terus berkembang sampai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sebagai pusat
pendidikan dan pengajaran secara informal maupun nonformal ini ternyata
memberikan hasil yang cukup gemilang, yakni tersebarnya ajaran Islam keseluruh
pelosok tanah air.
[1] Diambil dari Widodo – 2005. Masjid dan Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia. From
: http://eprints.ums.ac.id/285/1/Bibliografi-wahyu.doc,
23 Agustus 2005
[2] Sidi Gazalba. Masjid Pusat
Ibadat dan Kebudayaan Islam. (Jakarta : Pustaka Antara, 1971).
[3] Moh E Ayub. Menejemen Masjid.
(Jakarta : Gema Insani Press, 1997).
sangat membantu min..
BalasHapusizin buat rujukan. terimakasih
mongo silahkan....
BalasHapuspermisi boleh saya sunting sebagai bahan rujukan?
BalasHapusmonggo dipersilahkan,, maksih sdh mampir
BalasHapus