BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filosofi
pendidikan pesantren didasarkan atas hubungan yang bermakna antara manusia,
ciptaan atau makhluk dan Alloh SWT. Hubungan itu baru bermakna jika bermuatan
atau menghasilkan keindahan dan keagungan. Manusia bisa dilihat dalam dua
tataran yaitu basyar dan insan. Basyar menunjuk pada segi yang tampak pada manusia baik,
pertumbuhan maupun kedewasaannya. Sementara dalam konsep insan terlihat totalitasnya meliputi jiwa dan raga.[1]
Potensi manusia adalah jasad, akal, nafsu, ruh dan kalbu. Kemampuan mengatur
dan mengarahkan kelima potensi itu memungkinkan manusia tersapa oleh
firman-Nya.
Selain
aspek ruh manusiawi pelakunya sebagai seorang hamba Alloh SWT dan khalifah-Nya,
maka secara kelembagaan ruh pesantren yang serba ibadah itu dijabarkan menurut
sifat agama Islam yaitu agama wahyu, agama keilmuan, agama kemanusiaan dan
agama kemajuan.[2]
Dengan ruh itu mudah dipahami pembelajaran pesantren dan pergumulannya yang
selalu terkait dengan kitab-kitab klasik keagamaan, keterbukaan pada masuknya
aspek-aspek keilmuan melalui kehadiran madrasah / sekolah dan perguruan tinggi,
pemihakan kepada hak-hak asasi manusia warga negara dan kepeloporannya dalam
berpikir kritis untuk kemajuan.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat
dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana
peran pesantren di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk
memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
pada semester jurusan S1 PAI di STAINU Kebumen
2. Untuk
memberikan sedikit gambaran tentang kondisi pesantren di Indonesia.
3. Menambah
khasanah budaya bangsa dalam bidang pendidikan.
BAB II
PERAN PESANTREN
Pesantren
mengembangkan beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada
lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga
bimbingan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, maka itu adalah
pondok pesantren. Pesantren dalam kehidupan di Indonesia mempunyai peran, diantaranya
sebagai :
A.
Lembaga
Pendidikan
Tidak
semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah dan kursus seperti yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya. Keteraturan pendidikan di
dalamnya terbentuk karena pengajian yang bahannya diatur sesuai urutan
penjenjangan kitab. Penjenjangan itu diterapkan secara turun temurun membentuk
tradisi kurikuler yang terlihat dari segi standar isi kualifikasi pengajar dan
santri lulusannya.
Pesantren-pesantren
dalam rumpun pondok modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, memiliki paket dan
jenjang yang khas. Penguasaan kebahasaan dan metodologi menjadi ciri khas
rumpun pesantren modern. Sekarang rumpun pesantren Gontor telah beranggotakan
179 pesantren di tanah air.[3]
Perkembangan program akan berjalan secara berangsur-angsur seiring banyaknya
santri yang telah selesai dari suatu jenjang dan melanjutkan pelajaran ke
jenjang selanjutnya. Santri yang lebih senior akan segera mendapatkan tugas
membimbing sejawatnya yang lebih yunior. Demikianlah setahap demi setahap tersedia
komunitas pembelajar yang dapat menyelenggarakan satuan pendidikan yang utuh
dan lengkap.
B.
Lembaga
Keilmuan
Pesantren
dapat juga sebagai lembaga keilmuan. Kitab-kitab produk para guru pesantren
dipakai juga di pesantren lainnya. Luas sempitnya atas kitab-kitab itu bisa
dilihat dari banyaknya yang ikut mempergunakannya. Bimbingan menulis menjadi
kebutuhan di pesantren sejak lama. Kebiasaan mencatat menjelaskan fakta tentang
banyaknya buku kajian keagamaan dan sosial yang melimpah dalam dua dasawarsa terakhir
ini di tanah air. Buku merupakan bagian dari tradisi kosmopolitan. Dialog
keilmuan yang terjadi melalui buku-buku itu telah berkembang sejak ratusan
tahun yang lalu dan menjadi penanda kosmopolitan pesantren yang justru dibangun
dari tradisi kitab kuning. Dengan pengembangan karya ilmiah itu terjadi
pembaharuan metodologi kajian Islam di kalangan pesantren apalagi setelah akses
untuk belajar di universitas Timur Tengah dan belahan dunia lainnya meningkat
sejak akhir abad ke 19. Dalam rentang waktu yang panjang umat islam telah
merekam berbagai perkembangan sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya dan
keilmuan yang mendorong pembaharuan alamiahnya.
C.
Lembaga
Pelatihan
Pelatihan
awal yang dijalani para santri adalah mengelola kebutuhan diri santri sendiri
sejak makan, minum, pengelolaan barang-barang pribadi sampai pada jadwal
belajar. Pada tahap ini kegiatan pembelajaran masih dibimbing oleh santri yang
lebih senior. Jika tahapan ini dikuasai dengan baik, maka santri akan menjalani
pelatihan berikutnya untuk dapat menjadi anggota komunitas yang aktif dalam
rombongan belajarnya.[4]
Disitu santri belajar bermusyawarah, menyampaikan pidato, mengelola tugas
organisasi santri, mengelola urusan operasional di pondok dan mengelola tugas
membimbing santri yuniornya.
Pelatihan
atau kursus bisa saja berkembang menjadi lembaga pendidikan ketrampilan yang
diakreditasi oleh kantor dinas pemerintah, memperoleh pengakuan luas dan
menjangkau peserta dari luar pesantren. Pelatihan bisa juga berlanjut jika
santri menyediakan waktu di pesantren setamat dari jenjang sekolah atau
madrasah tertinggi yang diikutinya. Di sini santri dilatih untuk dapat
mengelola lembaga yang diselenggarakan oleh pesantren. Kualifikasi dan tanggung
jawab santri akan meningkat sejalan dengan tahap penguasaannya atas standar
kompetensi yang diterapkan di lembaga pesantren.
D.
Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat
Dalam
melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, pesantren pada umumnya benar-benar
mandiri dan telah selektif pada lembaga-lembaga penyandang dana dari luar masyarakatnya sendiri. Jenis
pengembangan masyarakat yang lebih menjadikan masyarakat pesantren sebagai
pasar bagi produk asing menjadi sorotan tajam. Konsep pengembangan masyarakat
pun diganti dengan pemberdayaan masyarakat yaitu yang dapat memperbaiki tata
usaha, tata kelola dan tata guna sumber daya yang ada pada masyarakat
pesantren. Di dalam pemberdayaan masyarakat itu pesantren berteguh pada lima
asas yaitu:
a. Menempatkan
masyarakat sebagai pelaku aktif bukan sasaran pasif
b. Penguatan
potensi lokal baik yang berupa karakteristik, tokoh, pranata dan jejaring
c. Peran
serta warga masyarakat sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pemantauan, refleksi dan evaluasi.
d. Terjadinya
peningkatan kesadaran, dari kesadaran semu dan kesadaran naif, ke kesadaran
kritis
e. Kesinambungan
setelah program berakhir
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren percaya bahwa manusia akan meningkat
martabatnya seiring dengan pengetahuan nilai-nilai did alam dirinya. Penanaman
atau penumbuhan nilai-nilai dalam pribadi dan masyarakat membutuhkan waktu
penyemaian yang tidak sebentar. Menurut Ahmad Mahmudi ada 15 prinsip untuk
diperhatikan dalam setiap pemberdayaan masyarakat, yaitu:[5]
1. Pendekatan untuk meningkatkan kehidupan sosial dengan
cara mengubahnya
2. Keseluruhan bentuk partisipasi dalam arti yang murni
3. Kerjasama untuk perubahan
4. Membangun mekanisme kritik dari komunitas
5. Proses membangun pemahaman situasi dan kondisi sosial
secara kritis
6. Melibatkan sebanyak mungkin orang dalam teoritisasi
kehidupan sosial mereka
7. Menempatkan pengalaman, gagasan, pandangan dan asumsi sosial individu
maupun kelompok untuk diuji
8. Semua orang dimudahkan untuk menjadikan pengalamannya
sebagai objek riset
9. Tindakan warga dirancang sebagai proses politik alam arti
luas
10. Program mensyaratkan adanya analisis relasi sosial kritis
11. Memulai isu kecil dan mengaitkannya dengan relasi-relasi yang lebih luas
12. Memulai dengan siklus proses yang kecil
13. Memulai dengan kelompok sosial yang kecil untuk
berkolaborasi dan secara lebih luas dengan kekuatan-kekuatan kritis lain
14. Mensyaratkan semua orang mencermati dan membuat rekaman
proses
15. Mensyaratkan semua orang memberikan alasan rasional yang
mendasari kerja sosial mereka
Dengan perspektif itu, maka pemberdayaan masyarakat yang dilakukan
pesantren tidak menggurui, melainkan menemani masyarakat untuk bertindak
menentukan, menemani masyarakat untuk memaknai tindakannya dan menemani
masyarakat untuk merangkai makna-makna itu menjadi pengetahuan bersama.
Pengetahuan ini akan menjadi bahan bagi masyarakat dan pesantren untuk membenahi
diri.
E.
Lembaga Bimbingan
Keagamaan
Pesantren ditempatkan sebagai bagian dari lembaga bimbingan keagamaan oleh
masyarakat pendukungnya. Setidaknya pesantren menjadi tempat bertanya
masyarakat dalam hal keagamaan. Mandat pesantren dalam hal ini tampak sama
kuatnya dengan mandat pesantren sebagai lembaga pendidikan. Di bebeberapa
daerah, identifikasi lulusan pesantren pertama kali adalah kemampuannya menjadi pendamping
masyarakat untuk urusan ritual keagamaan sebelum mandat lain yang berkaitan
dengan keilmuan, kepelatihan dan pemberdayaan masyarakat.
Faktor yang mendukung pesantren sebagai lembaga bimbingan keagamaan adalah
kualifikasi kiai dan jaringan kiai yang memiliki kesamaan panduan keagamaan
terutama di bidang fiqih dan kesamaan pendekatan dalam merespon masalah-masalah
yang berkembang di masyarakat.
Semua itu menjadi pertimbangan bagi sejumlah pesantren untuk menata ulang pembelajaran dengan lebih
menekankan dua hal yaitu relevansi akademik dan relevansi sosial kurikulum
pesantren. Relevansi akademik menunjuk pada kesesuaian isi kurikulum dengan
perkembangan ilmu pengetahuan
di masyarakat dan relevansi sosial menunjuk pada kesesuaian isi kurikulum
dengan permasalahan hidup masyarakat.
Untuk menjawab persoalan itu banyak lulusan pesantren mendirikan madrasah, sekolah unggulan, terpadu atau program khusus di perkotaan.
Cita-cita kekotaan sengaja ditonjolkan dalam rancangan kurikulum, sarana
prasarana, sistem pengorganisasian sumber daya, bahasa pengantar dan
pengelolaan simbol, Sebagai lulusan pesantren juga membentuk kelompok-kelompok
pengajian yang diorganisasikan lebih rapi di berbagai kota. Dalam kelompok
pengajian itu mereka memperoleh kelanjutan kehangatan komunitas tradisional dan pelajaran kepesantrenan yang mereka tinggalkan karena
tuntutan pekerjaan mengharuskan mereka meninggalkan daerah asal dan berkediaman
di kota-kota.[6]
F.
Simpul Budaya
Pesantren dan simpul budaya itu sudah seperti dua sisi dari mata uang yang
sama. Bidang garapannya yang berada di tataran pandangan hidup dan penguatan
nilai-nilai luhur menempatkannya ke dalam peran itu, baik yang berada di daerah
pengaruh kerajaan islam maupun di luarnya. Pesantren berwatak tidak larut atau
menentang budaya di sekitarnya dan selalu kritis sekaligus membangun relasi
harmonis dngan kehidupan di sekelilingnya. Pesantren hadir sebagai sebuah
sub-kultur, budaya sandingan yang biasa selaras dengan budaya setempat
sekaligus tegas menyuarakan prinsip syari’at. Di situlah pesantren melaksanakan
tugas dan memperoleh tempat.
Ukuran baik buruk dan beragam rujukan seni yang berkembang di masyarakat
bisa dikenali hubungannya dengan dikembangkan oleh pesantren. Dalam status itu
kiai bertindak
sebagia salah satu pengatur arus dari masyarakat pesantren dan luarnya atau sebaliknya. Peran
itu menempatkan pada keharusan berposisi tengah, menerima lebih banyak
informasi memiliki
tingkat keterhubungan individual yang lebih tinggi daripada warga lainnya,
merekam lebih banyak opsi yang diajukan dalam berbagai pertemuan serta
memudahkan masyarakat untuk membangun kembali pengetahuan mereka
dalam menjawab persoalan-persoalan yang kadangkala belum
ada contoh pemecahannya.
Kemampuan para kiai dalam menggali manfaat dari kemudian lalu lintas barang
dan informasi internasional kini dilipatgandakan oleh temuan perangkat elektronik yang menyediakan sumber belajar digital yang segera menjadi
perpustakaan raksasa dan bisa tersedia dalam lemari dan meja para santri dalam
kemasan perangkat komputer yang semakin kecil bentuknya dan mudah
dipindah-pindahkan. Pembelajaran agama tida bisa dilepaskan dari keteladanan
guru dalam peragaan dalil-dalilnya berikut bimbingan yang memampukan peserta
didik menemukan dan menghayati nilai-nilai agama ke dalam praktik hidup
sehari-hari. Pengajaran dan pembimbingan ini memperkuat hubungan antara guru dengan
murid yang menjadi cikap bakal terbangunnya komunitas pembelajar. Komunitas
pembelajar lebih sesuai sebagai basis bangunan umat dala pandangan pesantren.
Kehadiran peantren semakin diperlukan seiring dengan kemudahan-kemudahan yang sebagian telah menimbulkan ketergantungan dan
pelemahan kedaulatan masyarakat lokal atas nilai-nilai, pengetahuan, komunitas dan sumber daya mereka. Refleksi
atas pengalaman pendampingan untuk mediasi di berbagai daerah konflik
memberikan pelajaran bahwa pesantren diharapkan dapat mengembangkan panduan hidup nirkekerasan dalam
penyelesaian masalah-masalah konfliktual. Panduan hidup itu tidak menyarankan
pilihan sika untuk menghindar dari konflik yang terjadi. Kecakapan untuk
berunding, memulihkan hubungan, mediasi, arbitrasi, penyelesaian masalah
melalui peradilan dan mengawal masalah sampai ke tingkat legislasi di parlemen
kiranya sudah mendesak dimasukkan ke dalam muatan kurikulum pesantren.
BAB
III
KESIMPULAN
Pesantren
dalam kehidupan di Indonesia mempunyai peran, diantaranya sebagai Lembaga Pendidikan, tidak semua
pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah dan kursus seperti yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya. Lembaga Keilmuan, Pesantren dapat juga sebagai lembaga keilmuan.
Kitab-kitab produk para guru pesantren dipakai juga di pesantren lainnya. Luas
sempitnya atas kitab-kitab itu bisa dilihat dari banyaknya yang ikut
mempergunakannya. Bimbingan menulis menjadi kebutuhan di pesantren sejak lama.
Kebiasaan mencatat menjelaskan fakta tentang banyaknya buku kajian keagamaan
dan sosial yang melimpah dalam dua dasawarsa terakhir ini di tanah air. Lembaga Pelatihan, pelatihan awal yang
dijalani para santri adalah mengelola kebutuhan diri santri sendiri sejak
makan, minum, pengelolaan barang-barang pribadi sampai pada jadwal belajar.
Pada tahap ini kegiatan pembelajaran masih dibimbing oleh santri yang lebih
senior. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat,
dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, pesantren pada umumnya
benar-benar mandiri dan telah selektif pada lembaga-lembaga penyandang
dana dari luar masyarakatnya sendiri. Lembaga Bimbingan Keagamaan,
pesantren ditempatkan sebagai bagian dari lembaga
bimbingan keagamaan oleh masyarakat pendukungnya. Setidaknya pesantren menjadi
tempat bertanya masyarakat dalam hal keagamaan. Mandat pesantren dalam hal ini
tampak sama kuatnya dengan mandat pesantren sebagai lembaga pendidikan. Di
bebeberapa daerah, identifikasi lulusan pesantren pertama kali adalah kemampuannya menjadi pendamping
masyarakat untuk urusan ritual keagamaan sebelum mandat lain yang berkaitan
dengan keilmuan, kepelatihan dan pemberdayaan masyarakat.
Simpul
Budaya, Pesantren
dan simpul budaya itu sudah seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Bidang
garapannya yang berada di tataran pandangan hidup dan penguatan nilai-nilai
luhur menempatkannya ke dalam peran itu, baik yang berada di daerah pengaruh
kerajaan islam maupun di luarnya. Pesantren berwatak tidak larut atau menentang
budaya di sekitarnya dan selalu kritis sekaligus membangun relasi harmonis
dngan kehidupan di sekelilingnya. Pesantren hadir sebagai sebuah sub-kultur,
budaya sandingan yang biasa selaras dengan budaya setempat sekaligus tegas
menyuarakan prinsip syari’at. Di situlah pesantren melaksanakan tugas dan
memperoleh tempat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Mahmudi. Prinsip-Prinsip Kerja
Participatory Action Research (PAR). Yogyakarta : Insist.
Gerakan Sempalan di Kalanga Umat
Islam Indonesia latar Belakang Sosial-Budaya. (Jakarta :
Ulumul Qur’an Vol.III No.1, 1992)
http://wordpress.com. Peran Pesantren di Indonesia, diakses
tanggal 2 Juni 2011.
KH Abdullah
Syukr Zarkasyi,MA. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. (Jakarta :
Rajagrafindo Persada, 2005).
M Dian Nafi,dkk.
Praktis Pembelajaran Pesantren. (Yogyakarta : LKis {elangi Aksara, 2007).
M
Quraish Shihab. Wawasan Al Qur’an :
Tafsir Maudlu’I atas Perbagai Persoalan Umat, (Jakarta : Mizan,
1996).
Muhsin
‘Abd Al Hamid. At Tarbiyah as Sulukiyah
dalam Adib Ibrahim ad Dabbagh, et al, opcit, hlm 75.
[1] M Quraish Shihab. Wawasan Al
Qur’an : Tafsir Maudlu’I atas Perbagai Persoalan Umat, (Jakarta :
Mizan, 1996), hlm 279.
[2] Muhsin ‘Abd Al Hamid. At
Tarbiyah as Sulukiyah dalam Adib Ibrahim ad Dabbagh, et al, opcit, hlm 75.
[3] KH Abdullah Syukr Zarkasyi,MA. Gontor
dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. (Jakarta : Rajagrafindo Persada,
2005), hlm 161.
[4] M Dian Nafi,dkk. Praktis
Pembelajaran Pesantren. (Yogyakarta : LKis {elangi Aksara, 2007), hlm 16.
[6] . gerakan Sempalan di Kalanga Umat Islam Indonesia latar Belakang
Sosial-Budaya. (Jakarta : iUlumul Qur’an
Vol.III No.1, 1992), hlm 16.