Nyadran berasal dari kata Sadran, mendapat akhiran “an” menjadi Sadranan adalah tradisi masyarakat Islam Jawa berupa membersihkan makam para leluhur yang dilanjutkan dengan kenduri dan doa bersama yang dilakukan di bulan Sya’ban (menjelang bulan suci Ramadlan).
Menurut penuturan
Prof. DR. KH. Raden Ngabehi Agus Sunyoto, M.Pd (Sejarawan dan Penulis sejarah Walisanga), dalam bukunya
“Sejarah masuknya Islam ke Nusantara” disebutkan bahwa istilah atau sebutan
sadran berasal dari bahasa sansekerta Sadara yang artinya mengingat roh
para leluhur (Ngeling-eling marang leluhur). Atau ada yang mengatakan Seradaan
atau Shraddha yang artinya menghormati ruh para leluhur (Ngurmati marang
para leluhur). Dari dua sebutan itu kemudian menjadi istilah Sadran/nyadran
yang artinya memanjatkan doa atau menaikkan doa kepada arwah para leluhur agar
diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT. Dan oleh masyarakat Islam Jawa di Desa
Logandu Kecamatan Karanggayam disebut unggah-unggahan.
Sejarah
Pada mulanya sadran/shraddha adalah ajaran Kapitayan, berupa tradisi membersihkan makam dan memberikan persembahan kepada roh leluhur yang dilakukan setiap tahun pada hari dan pasaran meninggalnya. Upacara persembahan dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada ruh para leluhurnya dengan keyakinan bahwa ruh para leluhur yang telah memberikan perlindungan keselamatan (ngayomi) dan memberikan anugrah rejeki. Setelah masuknya Islam di tanah Jawa yang dibawa dan disebarkan oleh walisanga, tradisi Sadran tetap dipertahankan namun ada beberapa perubahan, diantaranya:
- Sadran menjadi tradisi bersama-sama yang dilaksanakan pada bulan Sa’ban (Ruwah).
- Acara persembahan menjadi kenduri selamatan (bancakan).
- Mendoakan roh para leluhur dan bertawashul kepadanya.
Sadranan masyarakat Desa Logandu
Tradisi sadranan bagi masyarakat Islam di Desa Logandu:
- Puncak dari acara bersih makam (gebasan) yang dilaksanakan setiap 4 bulan sekali. Baca: https://babehmardiadi.blogspot.com/search?q=gebasan+
- Ritual Sadranan atau nyadran diawali dengan membuat sesaji dirumah masing-masing dilanjutkan dengan membersihkan makam secara bersama-sama, dan ditutup dengan kenduri di Balai Desa atau rumah Kepala Desa/Kepala Dusun..
- Membakar kemenyan dengan menggunakan ‘upet” di makam leluhurnya sebagai sarana permohonan / tawashul kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa.
- Upet alat untuk membakar kemenyan adalah alat yang terbuat dari mancung (manggar kelapa yang sudah kering), klari (daun kelapa yang kering) yang diikat dengan tali. Makna yang tersirat, mancung artinya manungsa mesthi arep dikuncung (dipocong) alias mati, klari artinya selagi masih hidup manusia harus selalu “nglalari” menyambung silaturahim dengan sanak saudara. Dua hal tersebut diikat dengan tali, artinya selagi masih hidup manusia harus “hablum minalloh” membangun hubungan baik dan selalu ingat kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa dan “hablum minannas” membangun hubungan baik dengan sesama manusia.
- Pulang dari makam harus minum kopi (ngopi).
- Dilaksanakan di hari Jum’at terakhir bulan Sya’ban (menjelang bulan suci ramadlan).
- Sadranan disebut dengan unggah-unggahan, karena adanya keyakinan bahwa selama bulan Ramadlan ruh para leluhurnya tidak berada di makam, tetapi sedang “munggah” ke langit, sehingga selama bulan ramadlan tidak baik untuk ziarah “tilik” para leluhurnya.
Mengapa tradisi sadranan dipertahankan?
Tradisi sadranan adalah warisan para leluhur yang didalamnya ada beberapa pelajaran penting dalam kehidupan sosial dan kehidupan beragama, yaitu:
- Mengingat dan mengetahui sanak saudaranya, lantaran yang ikut bersih makam adalah yang masih ada hubungan nasab;
- Menjaga kerukunan dan mempererat tali persaudaraan;
- Mengingat akan adanya kematian;
- Mendoakan para leluhurnya sebagai bentuk birrul walidain (berbakti kepada orangtua)
- Ajaran bersedekah terhadap sanak saudara. (kgta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar