Ada anggapan kuat bahwa Nasab sangat mempengaruhi nasib, atau jika dibalik nasib sangat dipengaruhi oleh nasab. Anggapan itu berdasarkan pada melihat realita/kondisi dalam kehidupan nyata. Salahsatu contoh misalnya: Jika orangtuanya keturunan bangsawan, maka anaknya bernasab bangsawan yang tentunya berpengaruh pada nasibnya menjadi baik. Sebaliknya seseorang bernasib buruk, ekonomi pas-pasan apalagi jabatan atau kedudukan, karena dia dilahirkan dari golongan sudra.
Pertanyaannya adalah apakah itu merupakan hukum pasti atau hanya faktor kebetulan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami terlebih dahulu pengertian antara nasab dan nasib, dan adakah hubungan /keterkaitan antara keduanya?
Pengertian
Nasab
Nasab berasal dari bahasa arab yang artinya adalah garis keturunan, atau ada yang menyebutnya dengan istilah trah atau silsilah (dalam bahasa Jawa). Dengan kata lain nasab adalah pertalian keluarga sedarah, baik dari garis ke atas (ayah, kakek, nenek dst), atau garis kesamping (saudara, paman, bibi, pakde, bu de). Nasab secara etimologi berarti al qorobah (kerabat), kerabat dinamakan nasab karena antara dua kata tersebut ada hubungan dan keterkaitan. Nasab berasal dari frasa "nisbatuhu ilaa abiihi nasaban" (nasabnya kepada ayahnya). Nasab mempunyai peran yang sangat penting, karena berkaitan denga hak waris, perwalian dan hal penting lainnya.
Dibawah ini ada beberapa pendapat para ulama tentang nasab.
- Suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. (Wahbah al- Zuhaili).
- "an yajma'a insan ma'a akhar fi abin au ummin qaraba dzalik am ba' uda" artinya seorang manusia berkumpul bersama yang lain dalam hubungan kebapaan atau keibuan, baik hubungan itu dekat maupun jauh. (Ibnu Athiyah).
- "al-ittishal baina insanain bi al-isytirak fi wiladatin qariibatin au ba 'idatin" artinya hubungan keterikatan antara dua orang dengan persamaan dalam kelahiran, dekat maupun jauh. (Ibnu Aby Taghlib).
Pengertian Nasib
Nasib juga berasal dari bahasa Arab, (nashib) yang artinya bagian, jatah, ketentuan atau sering juga dipahami sebagai takdir. Takdir atau ketentuan yang baik maupun yang buruk. Takdir adalah sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan atas diri seseorang. Dalam ajaran Islam takdir dibagi menjadi 2, yaitu:
- Takdir mubram, ketentuan Allah SWT yang tidak dapat diubah atau dibatalkan, contohnya: kematian, jenis kelamin, ras manusia dll.
- Takdir mu’alaq, ketentuan Allah SWT yang digantungkan pada usaha manusia, artinya ketentuan Allah SWT yang dapat diubah oleh manusia, contohnya, jika ingin kaya, harus bekerja dengan giat, jika ingin jadi dokter, harus belajar dengan tekun, dll.
Dengan kata lain, Nasib dan takdir adalah dua ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, tetapi, keduanya berbeda. Perbedaan antara nasib dan takdir adalah:
- Jika takdir lebih kepada ukurannya, sedangkan nasib adalah hasilnya;
- Takdir tidak terlihat, sedangkan nasib adalah hasil yang terlihat.
- Nasib adalah hal-hal yang bisa diperjuangkan dan bisa diubah dengan usaha dan kerja keras manusia. Sehingga nasib seseorang tergantung cara pola pikir. Sementara takdir adalah segala hal yang diberikan kepada anda oleh yang Maha kuasa sejak lahir, dan tidak bisa diganggu gugat.
Dari penjelasan diatas maka hubungan antara nasab dengan nasib adalah
jika nasib itu garis hidup sedang nasab adalah garis
keturunan. Dalam teori jawa disebutkan, “Nasab
ora bisa dipungkiri, dene nasib kenyataan sing kudu ditampa”.
Apakah keduanya sesuatu yang pasti dan
tidak dapat diubah? Keduanya dapat diubah atau diperbaiki. Untuk
memperbaiki nasab dengan cara membuat nasab yang baru, sedangkan untuk mengubah
nasib dengan giat berusaha dan berikhtiar, sebab nasib seseorang sangat
tergantung dengan usahanya, sebagaimana firman Allah SWT,
انَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا
بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengubah
nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah nasibnya sendiri. (QS Ar Ra’du: 11).
Sayyidina Ali RA, Sahabat Rosululloh pernah
mengatakan: Seorang pemuda bukanlah ia yang mengatakan "inilah
ayahku", tapi ia adalah yang berkata "inilah aku".
Dalam filosofi jawa, “ajining nalar ngungkuli dinar sak latar”.
Memperbaiki NASAB DAN NASIB adalah ikhtiar manusia, ketentuan keberhasilannya ada pada qodlo dan qodar dari Allah SWT. (kgta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar