Minggu, 08 September 2013

Peraturan Desa tentang Batas Desa

Cerita dari seorang kawan:
Berharganya Tiap Jengkal Tanah Desa

Ukur-mengukur tanah di Desa Penimbun itu seru! Di balik aktivitas berbau teknis itu, tersimpan cerita menarik dari para pelakunya. Mereka memang bukan petugas ukur tanah, hanya warga biasa. Mungkin itu pula yang membuat pengalaman mereka jadi tak terlupakan.
Salah satu warga Desa Penimbun yang bersedia membagi kisahnya adalah Haminah. Perempuan kelahiran 5 Mei 1977 ini memang aktif di desa. Ia tidak hanya menjadi pegiat Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD), tapi juga tergabung bersama 3 perempuan dan 11 laki-laki dalam Tim Penyusun Perdes Partisipatif Batas Desa. Tim ini terdiri dari unsur perangkat desa dan lembaga desa.
Pembuatan Perdes Partisipatif Batas Desa ini dipicu oleh adanya sengketa tanah gege di perbatasan desa antara Penimbun dan Ginandong. Tanah gege adalah tanah peninggalan zaman pemerintahan Belanda. Ketika Indonesia merdeka, status tanah tersebut milik pemerintah Indonesia. Namun, tanah tersebut justru dimiliki oleh perseorangan. Sengketanya sudah berlangsung lama. Teredam sesaat, kemudian muncul lagi. Tak kunjung selesai.
Selain itu, seorang peneliti yang datang ke Penimbun mengatakan bahwa batu-batu yang ada di desa ini mengandung mineral tertentu. Orang-orang kemudian datang sesuka hati untuk mengambilnya. Tentu saja, itu memunculkan amarah warga karena aset mereka diambil tanpa izin.
Hal itulah yang kemudian menginisiasi Badan Permusyawaratan Desa Penimbun agar pemerintah desa membuat Perdes Partisipatif Batas Desa pada tahun 2010. Plan pun memfasilitasi mereka dengan mengadakan focused group discussion yang menghadirkan pihak Agraria, Bapermasdes, juga FORMASI sebagai narasumber. “Perdes ini untuk melindungi aset yang ada di desa. Jadi, ketika kita mau mengatur aset desa, kita harus tahu dulu batas wilayah kita mana saja,” terang Haminah.
Hal ini sejalan dengan Permendagri Nomor 27 Tahun 2006 bahwa batas-batas wilayah bagi desa mempunyai peran penting sebagai batas wilayah yurisdiksi pemisah wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan suatu desa. Oleh karena itu, kegiatan penetapan dan penegasan batas desa perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap batas-batas desa. Hal tersebut juga untuk mencegah tidak terjadinya tumpang tindih aset desa.
Penetapan batas pun dilakukan oleh Tim melalui serangkaian tahapan penelitian dokumen batas, penentuan peta dasar, dan delineasi garis batas secara kartometrik di atas peta dasar. Penegasan batas desa dilakukan melalui tahapan penentuan dokumen penetapan batas, pelacakan garis batas, pemasangan pilar batas, pengukuran batas dan pilar batas, penentuan koordinat titik-titik batas dan pilar batas, serta pembuatan peta batas wilayah desa.

Sebagai bagian dari proses penyusunan Perdes tersebut, mereka mau tak mau harus turun ke lapangan. Menyusuri sungai, mendaki bukit, turun ke lembah, melalui setapak yang tak biasa, bahkan membabat hutan dengan golok untuk buka jalan baru. Selama melakoni aktivitas tersebut, Haminah dan tiga perempuan lainnya bertugas membawa bekal. Para pria yang babat alas dan mengukur dengan meteran.
“Kami mengukur batas desa itu lama lho! Butuh waktu lebih dari sebulan. Berangkat pagi, pulang sore. Kadang melewati jurang atau berjalan di tebing. Tapi, saya salut dengan teman-teman. Meskipun capek luar biasa, tapi semangatnya juga luar biasa,” tutur Haminah.
Padahal selain medan yang menantang, mereka juga dihadapkan pada masalah yang tidak sepele dengan pihak lain. Misalnya, ketika mau menemui kepala desa sebelah dan tidak berjumpa, mereka datang lagi keesokan harinya. Saat bertemu, mereka malah dimarah-marahi. “Dia bilang, urus saja desamu sendiri. Tapi, karena kami santai saja, tidak menganggap itu sebagai masalah. Maklum, masing-masing kepala desa kan karakternya berbeda-beda,” jelas ibu dua anak ini.
Kendala lainnya adalah miskomunikasi yang terjadi antara pihak Perhutani dengan pihak desa. Sebelum pengukuran batas desa dilakukan, tim berkomunikasi dulu dengan Perhutani. Sebab, di beberapa bagian tanah desa ada yang bersisian dengan wilayah hutan milik Perhutani. Ketika tim turun ke lokasi, muncul konflik dengan petugas lapangan Perhutani. “Mereka mengira warga desa mau menguasai lahan. Padahal maksud kami adalah untuk mengetahui batas desa. Mana hutan yang masuk wilayah Penimbung, mana yang masuk wilayah Perhutani. Nah, orang-orang Perhutani di lapanan mengira kami mau menguasai,” terang Haminah.
Situasi yang menegangkan tersebut muncul di beberapa titik. Ada petugas Perhutani yang memang sudah paham maksud kehadiran mereka. Ada juga yang belum. Namun, setelah persoalan dipahamkan dan koordinasi kembali dilakukan, situasi pun mencair. “Itulah sisi seru dan menariknya. Ada kenikmatan sendiri. Kami jadi tahu desa kami seperti apa. Batasnya bagaimana. Kami benar-benar keliling saat pengukuran dan pematokan batas desa,” ucap perempuan lulusan Paket C ini.
Apa yang dikerjakan oleh Tim Perdes Partisipatif Batas Desa ini memang dilandasi oleh motivasi yang kuat, yakni menjaga aset-aset desa dan mencegah konflik batas desa yang telah terjadi sejak dulu. “Kami membayangkan apa yang kami lakukan ini akan bermanfaat beberapa puluh tahun ke depan bagi anak cucu kami. Bahwa, mereka tahu batas desa mereka sampai di sini dan di situ. Ini juga karena kami tidak ingin mengulangi kesalahan peninggalan orangtua kami.”
Sejauh ini, setelah Perdes jadi, tidak ada konflik yang berarti lagi. “Meskipun begitu, kalau sampai terjadi sesuatu di desa kami terkait aset desa, kami lebih mudah mengatasinya,” ucapnya.
Masyarakat Penimbun yang berbatasan wilayah dengan Desa Poh Kumbang, Kenteng, Ginandong, Kalirejo, Karangmojo, dan Karanggayam pun merasakan manfaat dari adanya Perdes ini. Manfaat paling nyata adalah ketika ada sengketa tanah gege antara Penimbun dan Ginandong. Setelah ada Perdes ini, terbukti kalau tanah gege tersebut milik Desa Penimbun. Meskipun saat ini masih di tangan perseorangan, tapi Penimbun sudah tahu kalau itu tanah mereka. Hal yang lagi dipikirkan adalah cara mengembalikan kepemilikan tanah itu.
Di Kabupaten Kebumen sendiri, sejauh ini baru Penimbun yang punya Perdes Partisipatif Batas Desa. Sebuah terobosan yang patut diacungi jempol karena didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Dukungan tersebut tentunya muncul dari kesadaran yang telah tertanam kuat bahwa tiap jengkal tanah desa itu sangat berarti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar