Selasa, 03 September 2013

Tata Pemerintahan Baik, Masyarakat Apik

Fokus pada anak secara holistik. Itulah yang jadi tujuan Plan. Maka, Plan tidak hanya memfasilitasi dan memberdayakan anak secara langsung. Tapi juga ikut terlibat dalam program tata kelola pemerintah yang baik.
Program khusus ini merupakan bagian dari proses Child-Centered Community Development. Tak lain maksudnya untuk melatih masyarakat agar paham tentang perencanaan anggaran, termasuk menjalin jaringan desa dengan LSM lokal untuk mengawal perencanaan.
Dukungan Plan dalam bidang ini lantas diwujudnyatakan di Kebumen, mulai dari level desa hingga kabupaten. Plan bekerja sama dengan IDEA Yogyakarta memulai pendampingannya dalam bidang ini di Desa Sidototo pada tahun 2005. Setelah itulah, secara bertahap diterapkan di 23 desa dampingan Plan yang ada di Kecamatan Mirit, Bonorowo, Padureso, Prembun, dan Karanggayam.
Salah satu desa dampingan Plan yang paling menonjol tata kelola pemerintahannya adalah Logandu. Desa yang dipimpin oleh Sarlan ini setidaknya telah menerapkan sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, yakni: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi & efektivitas, dan profesionalisme.
Dari segi partisipasi, Logandu membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat, termasuk kelompok anak, untuk terlibat dalam proses Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES) per lima tahun. Mereka berpartisipasi sejak musyawarah tingkat dusun hingga lokakarya tingkat desa. Di forum itu, mereka menggali masalah, mengidentifikasi, mengelompokkan, membuat skala prioritas, serta menganggarkan dana untuk penyelesaiannya.
Di bidang penegakan hukum, Logandu sebagaimana 14 desa dampingan Plan lainnya di Kebumen, sudah memiliki Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD). Kelompok ini berperan dalam menjamin terpenuhinya hak-hak anak dan terlindunginya mereka dari segala bentuk perlakukan salah. Untuk menguatkan posisi institusi ini pula, dibuatlah Peraturan Desa Perlindungan Anak yang mengatur semua elemen di desa, baik itu masyarakat, orangtua, pemerintah desa, juga anak.
Terkait transparansi, tiada tirai tertutup antara pemerintah desa dan masyarakat Logandu. Selain adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang menjalankan fungsi kontrol, ada pula tim independen yang diusulkan pembentukannya oleh warga sendiri. Namanya Tim Monitoring Partisipatif. Tim ini dibentuk pada awal 2013 yang tugasnya memonitor pemetaan, pelaksanaan, serta administrasi dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Desa.
“Keberadaan tim ini bukan untuk mengintervensi, namun semata-mata membantu BPD dan perangkat desa sendiri. Bukan berarti kami mengesampingkan atau meremehkan fungsi kontrol dari BPD, tapi biar masyarakat ikut belajar,” jelas Mardiadi, Ketua Tim Monitoring Partisipatif.
Pendekatan yang ditempuh oleh Tim Monitoring Partisipatif adalah agar pemerintah tidak hanya melibatkan masyarakat pada tahap perencanaan dan penarikan iuran saja. Tapi, masyarakat juga dilibatkan saat laporan pertanggungjawaban di akhir tahun. Respon baik itu pun ditunjukkan oleh pemerintah dengan menuliskan laporannya secara gamblang di papan di balai desa.
Kesetaraan adalah aspek berikutnya yang diterapkan dalam tata kelola pemerintahan yang baik di Logandu. Tanpa memandang bulu, semua unsur di desa memiliki posisi yang setara dalam pemerintahan. Anak-anak didengarkan suaranya dan diimplementasikan aspirasi mereka melalui kebijakan. Misalnya, kebijakan jam belajar di desa. Laki-laki dan perempuan, baik perorangan maupun yang tergabung dalam kelompok, seperti kelompok tani, kelompok ternak, Posyandu, PKK, dan sebagainya juga punya porsi yang sama untuk aktif serta dalam pembangunan desa. Contoh paling nyata, tentu saat rapat RPJMDES.
Daya tanggap dari warga pada pemangku kebijakan juga bisa dikatakan telah berjalan baik di Logandu. Salah satu bukti kongkretnya adalah inisiatif dari KPAD untuk mengusulkan pada pemerintah desa agar diadakan pembuatan akta kelahiran secara massal. Pada 2007, misalnya, ada seribu lebih anak Logandu yang belum punya akta kelahiran.
“Sekali berangkat ke Kantor Pencatatan Sipil, kami membawa 300 sampai dengan 400 berkas,” terang Mardiadi yang juga Ketua Umum Forum KPAD Kebumen.
Adapun dari aspek wawasan ke depan, tata kelola pemerintahan yang baik tercermin dari perencanaan strategis yang baik pula. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui skala prioritas, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam hal ini, Logandu telah memiliki RPJMDES untuk jangka waktu lima tahun serta Rencana Kerja Pembangunan Desa untuk jangka waktu satu tahun. Hal yang amat bersesuaian dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa pada pasal 64 ayat (1).
Demikian pula dengan akuntabilitas. Pemerintah dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban dan menerangkan kinerja dan tindakan kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk menerima keterangan. Dalam hal ini, Logandu telah menerapkannya saat sesi Laporan Pertanggungjawaban akhir. Kepala desa dan jajarannya menyampaikannya kepada BPD, Tim Monitoring Partisipatif, dan masyarakat.
Satu hal yang menarik adalah ketika Tim Monitoring Partisipatif melakukan kroscek terhadap Laporan Pelaksanaan APBDES alias Laporan Pertanggungjawaban akhir. Tim independen tersebut menemukan ketimpangan anggaran pembangunan fisik. Satu item yang janggal adalah adanya selisih lima sak semen antara laporan anggaran pemerintah dengan data yang dihimpun tim monitoring. Kalau diuangkan, jumlahnya mencapai Rp300 ribu lebih.
Ketika dikomunikasikan dengan perangkat desa, ternyata pada saat pelaksanaan, ada alokasi yang tidak dianggarkan tapi harus dikeluarkan. Padahal itu tidak boleh masuk APBDES.
“Ada budaya selametan sebelum jembatan mulai dibangun. Karena masyarakat sudah berkontribusi dengan swadaya tenaga juga sumbangan bambu dan papan, sehingga untuk selametan menggunakan dana dari APBDES,” terang Mardiadi.
Saat itu, panitia pelaksana kegiatan langsung menanggapi dan menerangkan. Mereka mengakui telah terjadi penambahan untuk selametan. Penjelasan mereka pun bisa diterima oleh masyarakat.
Adapun prinsip pengawasan dalam tata kelola pemerintahan di Desa Logandu terefleksikan melalui keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Selain berfungsi untuk merumuskan dan menetapkan peraturan desa bersama-sama dengan pemerintah desa, BPD juga melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa, serta keputusan kepala desa. Jika memang ada hal yang tidak sesuai aturan, BPD-lah yang akan memberi teguran pada pemerintah desa.
Dari aspek efisiensi & efektivitas pun demikian. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Hasilnya pun sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat. Dikarenakan proses pembuatan kebijakan tidak hanya bersifat down top atau top down, tapi pemerintah dan masyarakat duduk satu meja, akhirnya dua belah pihak mengetahui potensi masing-masing.
Satu contoh kecil adalah saat pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Masyarakat tidak hanya memberi dukungan moral, tapi juga melaksanakan pembangunan swadaya. Bahkan, ketika ada pembangunan jembatan yang inisiatifnya dari masyarakat, mereka pun dengan sukarela menyumbangkan tenaga, waktu, juga material bangunan berupa bambu dan kayu.
Aspek terakhir, yakni profesionalisme telah coba dijalankan oleh pemerintah Desa Logandu. Tidak hanya pada tahap perencanaan, tapi juga saat pelaksanaan juga evaluasi pembangunan. Jajaran pemerintah desa pun berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat.
Profesionalisme itu pun direspon baik oleh masyarakat. Sebagaimana penuturan Ii Pujianti, misalnya. Anak Desa Logandu yang juga Ketua Kelompok Child Al-Habib ini mengaku kalau kepala desa sudah mencoba menjalankan wewenangnya secara profesional.
“Kepala desa mudah diajak kerja sama dalam hal positif. Saat ada kasus rencana nikah dini, beliau tidak menyetujui. Si anak harus dapat izin dulu dari Pengadilan Negeri Agama Kebumen, baru pemerintah desa menyetujui. Bagi saya, itu bagus sekali,” ucap perempuan kelahiran 10 Maret 1995 ini.
Kesepuluh prinsip yang terjelma dalam tata kelola pemerintahan yang baik di Logandu, memang belum bisa dikatakan telah termanifestasikan seratus persen. Namun, setidaknya telah ada perubahan positif pada masyarakat desa yang dibawa oleh Plan.
Menurut cerita Mardiadi, dulu sebelum Plan masuk, masyarakat Logandu bersikap apatis. Mereka kurang mau melihat kanan kiri, lebih mementingkan kerja daripada kepedulian untuk desa. Kalau ada pertemuan, masyarakat hadir tanpa memberikan respon yang berarti. Program-program yang ada di desa pun lebih banyak tergantung pada perangkat desa. Masyarakat lebih memosisikan diri mereka sebagai pelaksana di lapangan.
Berbeda ketika masyarakat mendapat pendampingan dari Plan dan memfasilitasi mereka tentang peningkatan kapasitas partisipasi. Masyarakat pelan-pelan mulai sadar pentingnya kapasitas tingkat desa. Mereka pun mulai berani menyampaikan pendapat serta mau memerhatikan desa.
Pola pikir yang mulai terbuka, kemudian muncul kepedulian pada lingkungan. Saat pertemuan pun, masyaraka tidak hanya menerima, tapi juga memberi umpan balik yang membangun. Mereka juga lebih berinisiatif, tanpa harus menunggu perintah dari perangkat desa.
Dalam hal partisipasi, masyarakat mulai mengusulkan hal-hal yang mereka butuhkan terkait kondisi lingkungan masing-masing. Saat duduk berdiskusi dan mencari solusi, mereka juga ikut memikirkan. Karena dilibatkan sejak perencanaan, ketika itu direalisasikan, mereka pun tahu bahwa mana saja usulan mereka yang diakomodasi.
Mardiadi mengatakan, “Sebelumnya, gotong royong tetap ada, tapi tetap saja menunggu perintah. Kalau sekarang justru masyarakat lebih berinisiatif bahwa ini bagian dari kewajiban mereka. Jadi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi, masyarakat benar-benar terlibat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar