Minggu, 08 September 2013

Berjuang Agar Anak Desa Tak Telantar

Perjuangan seorang kawan,

Cita-cita Rodiyah menjadi guru kini sudah tercapai. Meski hanya lulusan SMP, ia bekerja keras untuk mengelola TK Penimbun di Kecamatan Karanggayam Kebumen sejak tahun 2005. Karena harus berjuang menjadi guru TK, Rodiyah pun melanjutkan sekolah kejar paket serta kuliah di Universitas Terbuka (UT).
Semua berawal pada saat Plan mulai berperan dengan menginisiasi pendirian TK untuk pembelajaran anak-anak di Penimbun. Plan sendiri masuk ke Penimbun pada tahun 2003. Setelah Plan memberikan pelatihan dan pengenalan untuk merencanakan pendirian TK, dua tahun kemudian, tepatnya pada 10 Januari 2005, TK Penimbun sudah mulai diterapkan pembelajaran. Ada dua guru yang mengelola, yakni Rodiyah dan Sarmi.
Karena belum punya gedung, TK menempati rumah salah satu penduduk. Kondisinya pun seadanya. Kala hujan, genting rumah bocor di sana-sini. Setahun kemudian, tepatnya pada Januari 2006 Plan membantu pembuatan gedung. Lahan untuk pembangunan TK itu wakaf dari salah satu warga.
Sejak dulu, guru TK Penimbun hanya ada dua. Tapi, hanya Rodiyah yang tak pernah ganti. “Guru yang lain sudah ganti tiga kali,” kata Rodiyah di sela-sela aktivitas mengajarnya, 2 Februari 2013 silam.
Bu Sarmi berhenti karena sakit. Selama enam bulan ia harus kontrol rutin karena sakit flek di paru-paru. Ia pun mengundurkan diri karena merasa kurang nyaman saat dekat dengan anak-anak. Guru kedua, pengganti Sarmi, juga pindah ke Kalimantan. Guru ketiga yang kini menemani Rodiyah.
“Kebetulan saja saya di sini terus. Tidak punya tempat lain,” kata Rodiyah. Sebab di desanya sangat sulit mencari pengajar di TK karena memang harus benar-benar ikhlas.
Sempat Bekerja Sebagai Buruh
Sebelum menjadi pengajar TK, Rodiyah sempat membanting tulang menjadi buruh. Ia pernah menjadi buruh pabrik sepatu di Jakarta pada 1996-1998 selama dua tahun dengan gaji Rp 60 ribu per bulan. Rodiyah juga pernah bekerja di konveksi di Pademangan Jakarta. Karena tidak punya kemampuan menjahit, ia bekerja di bagian packing, mengantar barang ke toko dan pemesan. Di pabrik konveksi, Rodiyah bertahan hingga empat tahun. Setelah itu, ia pulang ke Kebumen dan menikah.
Proses Rodiyah menjadi pengajar pun terbilang singkat. Kala itu, Plan menantang warga: jika didirikan TK ada tidak warga yang mau menjadi pengajar. Kebetulan Rodiyah saat itu hanya menjadi ibu rumah tangga. “Dari pada bengong di rumah mending jadi guru. Apalagi saya juga pernah punya cita-cita jadi guru,” kata perempuan kelahiran di Kebumen, 22 Juli 1980 tersebut.
Setelah mendapatkan izin keluarganya, Rodiyah pun tekun untuk menjadi guru TK. Dia mengikuti berbagai pelatihan yang diberikan Plan. “Saya benar-benar dari nol. Fasilitator dan narasumbernya dari Plan adalah orang-orang yang kompeten di pendidikan TK. Saya merasa tiba-tiba tahu lebih banyak,” kenang Rodiyah.
Karena menjadi guru, Rodiyah pun tertantang untuk meningkatkan kualitasnya. Maklum, ia cuma lulus SMP. Sempat sekolah SMA tetapi keluar. Pada 2008, ia melanjutkan sekolah SMA melalui kejar paket. Lulus kejar paket ia pun mendaftar di Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Terbuka di Purwokerto. Kini, ia baru semester enam. Tiap hari minggu ia harus meluncur ke Purwokerto untuk kuliah.
Awal-awal menjadi guru, Rodiyah mengakui banyak hambatannya. Apalagi, ia harus menghadapi warga desa yang belum sadar pentingnya pendidikan. Kata dia, ada warga yang meremehkan sekolah TK. “Buat apa sekolah TK,” kata Rodiyah menirukan salah satu ucapan warga.
Karena pendidikan Rodiyah saat itu masih minim maka ia pun merasa kesusahan. “Sempat mengurangi kepercayaan diri saya,” kata dia. Dengan ketekunan, Rodiyah menghadapi itu semua. Pelan-pelan ia memberi pemahaman ke warga akan pentingnya pendidikan untuk anak. Bersama perangkat desa dan guru sekolah dasar, Rodiyah melakukan sosialisasi terus menerus. Ada kerjasama dengan guru SD untuk sosialisasi ke wali murid mengenai urgensi pendidikan anak usia dini.
Ada juga pertemuan guru SD, kepala SD, komite dengan wali murid. “Katanya setelah ada TK, hasilnya bagus untuk anak SD. Anak mengerti bagaimana sekolah, belajar, dan berkawan,” papar Rodiyah.
Sekarang wali murid dan masyarakat juga sudah sangat mendukung keberadaan TK. Jika TK butuh apa-apa, masyarakat berinisiatif turun tangan. Pada saat tanah di belakang TK berpotensi longsor, warga berinisiatif memperbaikinya.
Kurikulum Berbasis Desa
Soal pembuatan kurikulum, Rodiyah memakai panduan dari kabupaten. Pada saat kurikulumnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), TK menerima kurikulum yang sudah jadi. Setelah itu, kurikulum diganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan sistem semua pelajaran dibuat sendiri disesuaikan dengan lingkungan sendiri.
Ia mencontohkan, karena TK di desa maka ada pembuatan bahan ajar berbahan alam. Beberapa waktu lalu, anak-anak TK diajak menanam padi bersama para petani. Juga ada penanaman jagung dan kacang di halaman belakang TK. “Potnya pakai bekas gelas kemasan. Karena desa kami juga dekat dengan pertanian,” kata Rodiyah.
Di TK Penimbun ada lima bidang pengembangan, yakni bahasa, moral emosional, kognitif, seni, dan kemandirian. Masuk mulai dari hari Senin hingga Sabtu pukul 07.30 hingga 10.00 WIB, Rodiyah kadang menambah ekstra sedikit berupa baca Iqro, menari, dan drum band. Alat drum band ini merupakan bantuan dari Plan PU Kebumen.
Karena sudah lama beroperasi, alat-alat permainan di TK Penimbun pun sudah aus. “Mainan-mainan dari besi perlu dicat ulang biar tidak berkarat dan aman bagi anak,” tutur Rodiyah. Kamar mandi yang posisinya miring juga perlu disangga dengan balok kayu. Tapi karena belum ada dana maka perbaikan belum dilakukan.
Maklum, sumber dana di TK Penimbun sangat minim. Ada sumber dana dari bantuan desa serta sumbangan komunitas perantauan. “Tapi jumlahnya sangat sedikit,” kata Rodiyah.
TK Berbiaya Murah
Sumber pendanaan lainnya dari wali murid. Itu pun sangat sedikit. Sebab, wali murid hanya dibebani membayar SPP saja. Ia membandingkan di TK lain biasanya kalau ada kegiatan maka akan memungut biaya dari wali murid. “Kalau kami tidak. Hanya mengandalkan anggaran satu tahunan itu saja. mau ada lomba atau tidak, tetap disiasati dari TK,” ujarnya.
Honor untuk pengajarnya sendiri dari SPP. Rodiyah mengaku sempat masuk di bagian Kesra di Pemda Kebumen. Tapi tahun 2012 ini dibatalkan (dicancel). Dari 23 guru di Kecamatan Karanggayam, sebanyak 13 guru dibatalkan. “Katanya sih ada pengurangan kuota. Tapi kami juga tidak menanyakan lebih jauh. Mungkin memang belum rezekinya. Kecuali ada upaya lain dari Diknas,” kata Rodiyah.
Rodiyah juga mengkritik adanya diskriminasi antara TK dengan Pendidikan Usia Dini (PAUD). Saat ini, kata Rodiyah, PAUD sedang digalakan pemerintah. Akibatnya, TK agak ditelantarkan dan jarang dilirik lagi. “Kalau PAUD bikin proposal kegiatan, sering digolkan,” kata Rodiyah.
Tetapi, Rodiyah merasa masih sangat beruntung. Sebab, warga dan komite sekolah sangat mendukung keberadaan TK Penimbun. Jika TK ada kekurangan, komite langsung bergerak. Ia mencontohkan, pada saat TK kekurangan guru maka komite melobi dari rumah ke rumah mencari guru. Karena tak mendapatkan gaji memadai, tak banyak warga yang mau menjadi guru.
Rodiyah belum punya rencana ke depan untuk pengembangan TK-nya. Kini, Rodiyah hanya punya satu harapan: TK yang ia kelola bisa tetap berjalan, tidak berhenti beroperasi. “Sehingga anak-anak desa tidak telantar,” kata Rodiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar