Minggu, 18 Desember 2011

KURIKULUM PLURALIS MULTIKULTURAL

MAKALAH

KURIKULUM PLURALIS MULTIKULTURAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL

PRODI : S1/PAI/VI/E
TAHUN AKADEMIK 2010/2011

Dosen Pembimbing
Muhammad Siswanto, M. Pd.I













Disusun oleh
Mardiadi        NIM    2083247
               



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ‘ULAMA (STAINU) KEBUMEN
TAHUN 2011

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL         i
DAFTAR ISI         ii
KATA PENGANTAR         iii

BAB I PENDAHULUAN         1
A.     Latar belakang         1
B.    Maksud dan tujuan         2
C.    Rumusan masalah …………………………………………….             2
D.    Sasaran ………………………………………………………..     2
E.    Metode Pembahasan ………………………………………….    3

BAB II PEMBAHASAN MASALAH        4
A.    Pendekatan kurikulum pluralis-multikultural        4
B.    Kurikulum pluralis-multikultural                        6
C.    Pedoman penyusunan kurikulum pluralis-multikultural            7
D.    Langkah-langkah mengembangkan kurikulum pluralis-multikultural    8

BAB III PENUTUP ………………….. ……………………………….    11
A.    Kesimpulan         11

DAFTAR PUSTAKA         12





Kata Pengantar


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik dan inayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan pada sosok uswatun hasanah dan pendidik ulung yakni Nabi Muhammad SAW
Penulisan makalah yang berjudul ”Kurikulum Pluralis-Multikultural” disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Islam Multikultural.
Meskipun masih jauh dari kesempurnaan, namun kami berharap mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua tentang hal-hal yang terkait dalam dunia Pendidikan Agama Islam.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak terutama kepada Dosen Pembimbing Bapak Muhammad Siswanto, M.Pd.I  yang telah membantu dan membimbing kami dalam penulisan makalah ini.
Karena kesempurnaan hanya milik Allah, maka tidak lupa segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini, penyusun memohon maaf yang setulus-tulusnya dan berharap kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


Penyusun

BAB  I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pengembangan kurikulum untuk negara yang besar, penuh ragam, dan miskin, seperti Indonesia, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum.
Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai  hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi  juga kurikulum sebagai hasil.
Posisi keragaman sebagai variabel bebas memang berada pada tataran sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan  masyarakat yang dapat diperkirakan (perceived needs of a society).
Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggungjawab terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang menjalani kurikulum. Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh diabaikan sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan dan diputuskan (Waring, 1982 ).
Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.

B.    Maksud dan tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan sebagai berikut :
1.    Mengetahui pendekatan kurikulum pluralis multicultural;
2.    Mengetahui kurikulum pluralis multicultural;
3.    Mengetahui pedoman penyusunan kurikulum pluralis multicultural;
4.    Mengetahui langkah-langkah pengembangan kurikulum pluralis multikultural.

C.    Rumusan masalah
Berangkat dari masalah sederhana yang terus berkembang menjadi kompleks inilah, makalah ini mengangkat 4 rumusan masalah, yaitu :
1.    Bagaimana pendekatan kurikulum pluralis multikultural?
2.    Apa kurikulum pluralis multikultural?
3.    Bagaimana pedoman penyusunan kurikulum pluralis multikultural? dan;
4.    Bagaimana langkah-langkah pengembangan kurikulum pluralis multikultural?

D.    Sasaran
Sasaran dari penulisan makalah ini adalah para penyelenggara pendidikan, orangtua / wali siswa dan stake holders peduli pendidikan.

E.    Metode pembahasan
Dalam membahas masalah-masalah yang ada dan upaya pemecahannya kami perincikan makalah ini menjadi 3 (tiga) bab dan dibagi menjadi sub-bab yakni:
Pada BAB I PENDAHULUAN berisi Latar Belakang yang menjelaskan mengapa makalah ini dibuat. Maksud dan Tujuan yang menguraikan maksud pembuatan  makalah dan tujuannya. Sasaran menjelaskan siapa yang menjadi obyek pembuatan makalah. Permasalahan menguraikan masalah yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Kemudian terakhir pada bab ini adalah Metode Pembahasan yang menjelaskan bagaimana alur makalah ini.
Pada BAB II PEMBAHASAN berisi Pengantar Analisa dan Analisa Permasalahan itu sendiri. Pada Pengantar Analisa berisikan pengantar penulis tentang masalah yang akan diuraikan. Kemudian dalam Analisa Permasalahan menguraikan masalah-masalah yang ada dan merupakan jawaban dari permasalahan yang muncul dalam Permasalahan pada bab sebelumnya.
BAB III merupakan Bab terakhir atau PENUTUP  yang berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisi tentang ringkasan atau inti dari makalah ini, sedangkan saran berisi masukan-masukan dan himbauan penulis pembaca dan sasaran penulisan makalah pada umumnya

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH


A.    Pendekatan kurikulum pluralis multikultural
Sudah sejak lama para ahli pendidikan dan kurikulum menyadari bahwa
kebudayaan adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Taba, 1962) di samping landasan lain seperti perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi.
Ki Hajar Dewantara (1936, 1945, 1946) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa. Ahli kurikulum lain seperti Print (1993:15) menyatakan pentingnya kebudayaan sebagai landasan bagi kurikulum dengan mengatakan bahwa kurikulum is a construct of that culture. Kebudayaan merupakan keseluruhan totalitas cara manusia hidup dan mengembangkan pola kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi landasan di mana kurikulum dikembangkan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan kurikulum. Longstreet dan Shane (1993:87) melihat bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal dan  internal. Lebih lanjut, keduanya menulis (Longstreet dan Shane, 1993:87):
Lebih lanjut, studi Webb (1990) dan Burnett (1994) menunjukkan bahwa proses belajar siswa yang dikembangkan melalui pertimbangan budaya menunjukkan hasil yang lebih baik.
Oleh karena itu, sudah saatnya untuk memperhitungkan faktor kebudayaan sebagai landasan penting dalam menentukan komponen tujuan, materi, proses, dan evaluasi suatu kurikulum, dan kegiatan belajar siswa. Konsekuensinya, para pengembang kurikulum di tingkat pusat, daerah, dan sekolah harus memanfaatkan kebudayaan sebagai landasan pengembangan secara lebih sungguh-sungguh dan sistematis.
Indonesia adalah negara yang kaya dengan budaya seperti dinyatakan dalam motto nasional "Bhinneka Tunggal Ika (Bhina = berbeda banyak; Tunggal = Satu). Oleh karena itu, apabila kebudayaan adalah salah satu landasan kuat dalam pengembangan kurikulum maka proses pengembangan kurikulum di Indonesia harus pula memperhatikan keragaman kebudayaan yang ada. Artinya, pendekatan multikultural dalam pengembangan kurikulum di Indonesia adalah suatu keharusan yang tak dapat diabaikan lagi.
Keberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak akan secara langsung menjadikan pendekatan multikultural berlaku dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Undang-undang tersebut yang memberikan wewenang pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah mungkin saja akan menghasilkan berbagai kurikulum sesuai dengan visi, misi, dan persepsi para pengembang kurikulum di daerah, tetapi bukan tidak mungkin bahwa kurikulum yang dikembangkan tersebut tidak dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya apalagi pendekatan multikultural. Kurikulum yang dihasilkan mungkin saja dikembangkan berdasarkan pendekatan budaya tetapi tidak berarti langsung menjadi kurikulum yang berdasarkan pendekatan multikultural. Kurikulum yang menggunakan pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan multikultural.
Andersen dan Cusher (1994:320) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Meskipun demikian posisi kebudayaan masih sama dengan apa yang dikemukakan dalam definisi di atas yaitu keragamaan kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari; jadi berstatus sebagai objek studi. Dengan perkataan lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan para pengembang kurikulum.
Pengertian pendidikan multikultural seperti di atas tentu terbatas dan hanya berguna bagi para pengembang kurikulum dalam satu aspek saja yaitu dalam proses mengembangkan konten kurikulum. Sayangnya, pengertian itu tidak dapat membantu para pengembang kurikulum dalam menggunakan kebudayaan, dan dalam konteks ini menggunakan kenyataan budaya yang multikultural sebagai landasan dalam mengembangkan visi, misi, tujuan, dan berbagai komponen kurikulum. Dengan demikian, pengertian lain mengenai pendekatan multikultural harus dirumuskan agar dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Untuk itu, maka definisi pendekatan multikultural tersebut haruslah membantu para pengembang kurikulum dalam mengembangkan prinsip-prinsip kurikulum, dan materi kurikulum. Artinya, pengertian pendekatan multikultural kurikulum harus dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta didik, memanfaatkan kebudayaan itu sebagai sumber konten dan memanfaatkannya sebagai titik berangkat untuk pengembangan kebudayaan itu sendiri, pemahaman terhadap kebudayaan orang lain, toleransi, membangkitkan semangat kebangsaan siswa yang berdasarkan bhinneka tunggal ika, mengembangkan perilaku yang etis, dan yang juga tak kalah pentingnya adalah dapat memanfaatkan kebudayaan pribadi siswa sebagai bagian dari entry-behavior siswa sehingga dapat menciptakan "kesempatan yang sama bagi siswa untuk berprestasi"
Atas dasar posisi multikulutral sebagai pendekatan dalam pengembangan kurikulum maka pendekatan multikultural untuk kurikulum diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, dan komponen kurikulum, serta lingkungan belajar sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep, keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.


B.    Kurikulum pluralisme-multikultural
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, maka kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses anak didik menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai, tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis dan menghormati orang lain.
Ketika pendidikan pluralisme-multikultural hendak diaplikasikan pada konteks Indonesia, maka satu hal yang sangat mendasar untuk dipikirkan adalah persoalan kurikulum yang akan menjadi pijakannya, karena kurikulum adalah core-nya pendidikan.
Ada beberapa pemikiran tentang kurikulum yang harus diperhatikan oleh penyelenggara pendidikan pluralisme-multikultural (Syamsul Ma’arif, 2005), antara lain sebagai berikut:
a.    Pendidikan sekolah harus membekali peserta didik dengan kerangka yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari lingkungannya (UNESCO, 1981).
b.    Kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses peserta didik menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
c.    Demi mewujudkan tujuan tersebut, dalam mengembangkan kurikulum,ada empat hal yang harus diperhatikan oleh guru, yakni:
1)    posisi siswa sebagai subjek dalam belajar;
2)    cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya;
3)    lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultur siswa;
4)    lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar.


C.    Pedoman penyusunan kurikulum pluralis multikultural
Disamping pemikiran-pemikiran di atas, ada beberapa kriteria yang menjadi pedoman dalam penyusunan kurikulum pendidikan pluralisme-multikultural, yaitu sebagai berikut:
1.    Penyusunan kurikulum harus didasarkan pada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, norma-norma atau nilai-nilai absolut yang diambil dari agama-agama besar dunia dan hubungan integral antara Tuhan, manusia, dan alam.
2.    Karena ilmu pengetahuan datang dari Tuhan, maka manusia tidak dapat disebut sebagai pembuat ilmu pengetahuan (the creators of knowledge). Akan tetapi disebabkan manusia dapat dengan mudah menemukan aspek-aspek yang terkandung dalam dunia ini, maka nilai-nilai kemanusiaan dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk menyeleksi, menginvestigasi, menerima, dan menikmati adanya sebuah kebenaran.
3.    Peserta didik diharuskan mengetahui hirarkhi antara ilmu pengetahuan dan sumber nilai. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui sebuah pengalaman yang harus tunduk terhadap pengetahuan rasional, dan pengetahuan rasional harus tunduk terhadap norma-norma agama yang datang dari Tuhan.
4.    Keimanan dan nilai-nilai harus diakui sebagai dasar kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, keduanya tidak boleh dipisahkan dalam proses belajar mengajar. Ilmu pengetahuan tidak harus ditunjukkan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan pandangan agama. 
5.    Manusia tidak dapat mengetahui kebenaran absolut, tetapi suatu kebenaran dapat direalisasikan pada level yang berbeda-beda melalui perasaan, pemikiran, institusi, dan intelektual. Keempat bentuk ini harus bekerja secara harmoni dan terintegrasikan ke dalam sebuah sistem pendidikan yang komprehensif.
6.    Peserta didik harus didorong untuk mengetahui prinsip-prinsip unity and diversity dan menyadari adanya dasar-dasar keamanan yang menembus dunia biologis dan psikis.


D.     Langkah-langkah mengembangkan kurikulum pluralis-multikultural.
Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya,
aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses maupun kirikulum sebagai hasil.
Oleh karena itu, keragaman tersebut harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan pengembangan
multikultural harus didasarkan pada prinsip:
1.    Keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat;
2.    Keragaman budaya menjadi dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi;
3.    Budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa; dan
4.    Kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.

Bagi pembuat atau pengembang kurikulum pendidikan pluralisme-multikultural, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni:
1.    Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme harus dirubah ke filosofi humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial.
2.    Teori kurikulum tentang konten (curriculum content) harus berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup nilai, moral, prosedur, dan keterampilan yang harus dimiliki peserta didik.
3.    Teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi yang bersifat individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.
4.    Proses belajar yang dikembangkan bagi peserta didik harus berdasrkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, cara belajar individualistis harus ditinggalkan menuju cara belajar berkelompok, kooperatif, dan bersaing secara kelompok dalam situsi positif.
5.    Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan harus beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan. Penggunaan asesmen (portofolio, catatan, observasi, wawancara) dapat digunakan. (Dikutip dari Hamid, 2000:523).
6.    Pendekatan pengajaran harus lebih mengalir dan komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik. Peserta didik adalah makhluk yang unik sehingga tidak boleh ada penyeragaman-penyeragaman (Afkar, 2001 37).
Dengan mengacu pada konsep kurikulum yang pluralis-multikultural, maka program pembelajaran yang dikembangkan harus memiliki kesesuaian dengan kebutuhan dasar akademikdan social anak didik. Model pembelajaran pluralis-multikultural yang dikembangkan diarahkan beberapa kompetensi dasar, diantaranya:
1.    Mengembangkan kompetesi akademik standard an dasar, tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan, kebebasan, persamaan derajat, atau saling menghargai dalam beraneka jenis keragaman.
2.    Mengembangkan kompetensi social agar dapat menumbuhkan pemahaman yang lebih baik tentang latar belakang budaya dan agama sendiri dan juga budaya dan agaman orang lain dalam masyarakat.
3.    Mengembangkan kompetensi akademik untuk mengana;lisis dan membuat keputusan yang cerdastentang isu-isu dan masalah keseharianmelalui proses demokratis atau penyelidikan dialogis.
4.    Membantu mengkonseptualisasi dan mengaspirasikan konstruksi masyarat yang baik, demokratis dan egaliter tanpa ada diskriminasi, penindasan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai asasi yang universal.
John Dewey, merekomendasikan tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah kurikulum, yaitu :
1.    Hakekat dan kebutuhan peserta didik.
2.    Hakekat dan kebutuhan masyarakat.
3.    Masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat.

BAB III.
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari seluruh paparan di atas, maka pengembangan kurikulum pendidikan pluralisme multikultural perlu mengacu kepada rekomendasi berikut:
1.    Keragaman (pluralitas) merupakan variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.
2.    Gunakan filosofi kurikulum humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial.
3.    Gunakan pendekatan pembelajaran yang komunikatif.
4.    Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan sesuai dengan spirit pluralisme dan multikultural.
5.    Tentukan materi kurikulum yang mengarah kepada kesadaran akan pluralitas dan multikultural.
6.    Gunakan pendekatan/metode/strategi/teknik pembelajaran yang mengakomodasi kesadaran pluralitas dan multikultural.
7.    Evaluasi kurikulum tidak sebatas pada penggunaan instrumen-instrumen baku yang terlalu formalistik agar bisa mengukur ketercapaian pemahaman dan keasadaran akan pluralitas dan multikultural, tetapi harus komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
Ainul Yaqin, M. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Maarif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.
M. Syafi’i Anwar. 1995. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Charles Kurzman (ed). 2001. Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
Alef Theria Wasim. 2006. Harmoni Kehidupan Beragama: Pronblem, Praktek dan Pendidikan. Yogyakarta: Oasis Publisher.
Marc Howard Ross. 1993. The Culture of Conflict: Interpretations and Interest in Comparative Perspective. US: Yale University Press.
A.Malik Fadjar, 1998. Visi Pembaharu Pendidikan Islam. Jakarta : LP3NI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar