A.
Jami’at Khair: Konsep Pendidikan Konfergensi
Konsep
pendidikan konvergensi yaitu sistem pendidikan konvergensi (gabungan) antara
sistem pendidikan madrasah (islam) dengan pendidikan barat (sekolah) di
Indonesia. Jamiat Khair melakukan beberapa langkah pembaharuan dalam bidang
pendidikan Islam yaitu: pertama, pembaharuan dalam bidang organisasi dan
kelembagaan, dan kedua, pembaharuan dalam aspek kurikulum dan metode mengajar.
B.
Taman Siswa: Konsep
Pendidikan Nasional.
Didirikan
oleh Ki Hajar Dewantara tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Konsep pendidikan
Taman Siswa berasal dari berbagai sumber ide yang di nilai bermanfaat dan layak
untuk di masukkan sebagai acuan sistem pendidikan yang dicita-citakan. Dalam
makna lain Taman Siswa terbuka dari pengaruh luar, yang bersifat tidak
merugikan dan tidak pula mengorbankan prinsip dasar dan tujuan yang hendak di
capai. Taman Siswa sudah mempersiapkan suatu konsep tentang pendidikan, sebagai
suatu sistem yang digali dari kekayaan kebudayaan nasional. Asas-asas pokok
yang berdasarkan kemanusiaan, kodrat alam, Kebangsaan, kebudayaan, dan
kemerdekaan. Ki Hajar Dewantara menyusun sistem pendidikannya, yang disebut
dengan “kembali kepada yang nasional.”
- Sistem Among.
Among berarti asuhan dan
pemeliharaan dengan suka cita, dengan memberi kebebasan anak asuh itu untuk
bergerak menurut kemauannya, berkembang menurut bakat kemampuannya.
2.
Teori Trisentra.
Trisentra (tiga pusat) merupakan
bagian dari sistem pendidikan taman siswa. Teori ini mengacu kepada dasar
pemikiran bahwa peguron (perguruan) merupakan pembentukan lingkungan pendidikan
yang terpadu antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3.
Kebudayaan Nasional.
Gagasannya adalah untuk membangun
sistem pendidikan yang berwatak budaya Indonesia.
C.
Indonesia Nederland School : Konsep Sekolah Kerja.
Didirikan
oleh M. Syafei, pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanan, Sumatra Barat.
Pendidikan yang diberikan atas pendidikan teori dan pendidikan praktek. Materi
yang diberikan bervariasi sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Untuk
tingkat ruang rendah teori 75% dan praktek 25% sedangkan untuk tingkat ruang
dewasa masing-masing teori 50% dan praktek 50% sehingga para pengamat cenderung
untuk menggolongkan INS sebagai sekolah kerja (does school). Tujuan utamanya
adalah pendidikan pengajaran berdasarkan prinsip aktif, dengan mengutamakan
peranan pekerjaan tangan, M. Syafei berkeyakinan, bukan pelajaran saja yang
pokok, tetapi cara pengajarannya tidak boleh diabaikan. Adanya kaitan antara
materi pelajaran dengan metode yang digunakan guru, akan menopang tiga unsur
pokok pendidikan yang akan di kembangkan. Ketiga unsur pokok itu adalah
pembentukan watak, kebiasaan kerja sistematis, intensitas dan rasa setia kawan
antara para murid.
D.
Perguruan Muhammadiyah : Konsep Sekolah Agama
Didirikan
oleh KH. Ahmad Dahlan tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Muhammadiyah
mendirikan sekolah umum model pemerintah seperti Kweek School (sekolah guru)
tetapi tidak netral agama. Dengan predikatnya sebagai pembaharu Muhammadiyah
menyusun kurikulum pengajaran di sekolah-sekolahnya mendekati rencana pelajaran
sekolah-sekolah pemerintah. Pada pusat-pusat pendidikan Muhammadiyah
disiplin-disiplin sekuler (ilmu umum) di ajarkan, walaupun ia mendasarkan
sekolahnya pada masalah-masalah agama. Tampaknya dalam kurikulum, pemisahan
antara dua macam disiplin ilmu itu dinyatakan dengan tegas.
Berdasarkan
susunan mata pelajaran yang termuat dalam rencana pelajaran (seluruh) mata
pelajaran agama hanya 20%(lima mata pelajaran) di madrasah Mu’allimin (sekolah
guru Muhammadiyah). Kedua, sebagai institusi pendidikan islam yang menginginkan
pembaharuan dalam pendidikan islam agaknya kecenderungan sistem pendidikan yang
dipilih oleh Muhammadiyah adalah pendidikan integratif menggabungkan kurikulum
sekolah pemerintah dengan kurikulum madrasah. Madrasah sebagai gerakan sosial
keagamaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam
- Muhammadiyah sebagai gerakan
dakwah
- Muhammadiyah sebagai gerakan
Dari beberapa ciri di atas terdapat
pula tujuan-tujuan di antaranya adalah di bidang pendidikan. Yang menjadi dasar
pendidikan Muhammadiyah adalah:
- Tajdid, ialah kesediaan jiwa
berdasarkan pemikiran baru untuk mengubah cara berpikir dan cara berbuat
yang sudah terbiasa demi mencapai tujuan pendidikan
- Kemasyarakatan
- Aktivitas
- Kreativitas
- Optimisme
Tujuan pendidikan adalah terwujudnya
manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi
masyarakat dan negara. Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat
sekolah serta tidak memisah-misahkan antara pelajaran agama dengan pelajaran
umum. Dengan demikian, bangsa Indonesia dapat dididik menjadi bangsa yang utuh
berkepribadian, yaitu pribadi yang berilmu pengetahuan umum luas dan agama yang
mendalam.
Pada zaman pemerintahan kolonial
Belanda, sekolah-sekolah yang dilaksanakan Muhammadiyah adalah:
- Sekolah Umum
Taman Kanak-Kanak (Bustanul Athfal),
Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun, HIS 7 tahun, Mulo 3 tahun, AMS
3 tahun, dan HIK 3 tahun.
2.
Sekolah Agama
Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun,
Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballigin (SPG
Islam) 5 tahun dan Madrasah Diniyah.
Selanjutnya pada zaman kemerdekaan,
sekolah Muhammadiyah perkembangannya semakin pesat. Pada dasarnya ada 4 macam
jenis lembaga pendidikan yang dikembangkannya, yaitu:
- Sekolah-sekolah umum yang
bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: SD, SMTP,
SMTA, SPG, SMEA, SMKK, dan sebagainya. Pada sekolah-sekolah ini diberikan
pelajaran agama sebanyak 6 jam seminggu.
- Madrasah-madrasah yang bernaung
di bawah Departemen Agama, yaitu: Madrasah Ibtidaiyyah (MI), MTs, dan MA.
- Jenis sekolah atau madrasah
khusus Muhammadiyah, yaitu: Muallimin, Muallimat, Sekolah Tablig, dan
Pondok Pesantren Muhammadiyah.
- Perguruan Tinggi Muhammadiyah,
sampai sekarang cukup banyak mengelola lembaga pendidikan tinggi, baik
umum ataupun agama.
Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Umum di bawah pembinaan Kopertis (Depdikbud), dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Agama di bawah pimpinan Kopertais (Departemen Agama).
E.
Santri Asromo : Konsep Pesantren Kerja.
Didirikan
oleh KH. Abdul Halim Iskandar, tahun 1932 terletak di desa Pasir Ayu kabupaten
Majalengka. Karel A Steen brink menilai bahwa pendidikan santri Asromo
bertujuan membentuk kepribadian murid-muridnya dengan memberikan kesempatan
untuk meraih suatu jabatan dengan bekal keterampilan yang terlatih. Tujuan
pendidikan santri Asromo yang digariskan Abdul Halim itu memang tampaknya
merangkum dua tujuan pokok, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum
sebagai tujuan akhir yang akan di capai adalah membentuk anak-anak agar menjadi
manusia yang akan dapat membekali dirinya untuk hidup di dunia (dengan
pengetahuan) dan akhirat (dengan pengetahuan agama). Adapun tujuan khusus yang
akan di capai anak-anak berkaitan dengan bakat, lingkungan, kondisi sosial,
kemampuan pendidik, dan tugas kelembagaan adalah untuk membentuk anak menjadi
manusia mandiri,keperluan sendiri harus di buat sendiri.
Dari
beberapa tulisan yang dijumpai baik Abdul Halim sendiri maupun yang dikemukakan
penulis seperti Lothrop Stoddard, di duga Santri Asromo banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Thantowi Jauhari dan Amir Syakib-Arsalan. Pemikiran
kedua tokoh itu diserap beliau dan kemudian dipadukan dengan kondisi di tanah
air dan cita-citanya untuk mendirikan suatu sistem pendidikan islam yang dapat
menghasilkan santri-santri yang dapat hidup mandiri. Tampaknya Santri Asromo
merupakan realisasi dari pemikiran Abdul Halim tentang pembaharuan pendidikan
Islam untuk menghadapi tantangan pengangguran, kemiskinan, dan kebodohan
mayoritas umat Islam dari zamannya.
F.
Persis (Persatuan Islam): Konsep Pendidikan Dakwah dan Publikasi
Didirikan
secara resmi pada tanggal 12 September1923 di Bandung oleh sekelompok orang
Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh
Zamzam dan Muhammad Yunus. Pada awal berdirinya, pesantren persis dikenal
sebagai pesantren yang sangat modern apalagi dibandingkan dengan
pesantren-pesantren lain pada umumnya karena keberaniannya memasukkan beberapa
sistem administrasi pendidikan dan model kurikulum seperti yang diajarkan
sekolah Belanda. Walaupun demikian, pada dasarnya kurikulum yang dikembangkan
pesantren Persis ini adalah perimbangan pendidikan agama sebagai prioritas,
jika dibandingkan dengan pendidikan umum, dan yang menarik,kurikulum yang
dipakai sampai saat ini adalah hasil rakitan sendiri. Namun begitu dalam pengakuan
berbagai pendidik di kalangan pesantren, “kurikulum rakitan” itu masih
didasarkan kepada kaidah-kaidah baku gerakan persis, seperti yang disebut Ahkam
al-Syar’i dan qaidah ushul. Dari racikan kurikulum seperti ini, diharapkan para
santri memiliki bekal pengetahuan akidah yang cukup, dan ta’abudi(berbudi
pekerti) yang berdasarkan al-sAkhlak al-kKarimah(akhlak budi pekerti luhur).
Di
samping menyelenggarakan pendidikan Islam berupa madrasah atau sekolah lain,
Persis juga mendirikan sebuah pesantren. Pesantren Persis didirikan di Bandung
tanggal 1 Dzulhijjah 1354 H bertepatan dengan Maret 1936. Pesantren ini
dipimpin oleh A. Hasan sebagai kepala dan Muhammad Nasir sebagai Penasehat dan
Guru. Tujuan pendidikan pesantren ini untuk mengeluarkan mubalig-mubalig yang
sanggup menyiarkan, mengajar, membela dan mengajarkan agama Islam. Dengan
demikian, diharapkan terbentuknya kader-kader yang punya kemauan keras untuk
melakukan dakwah Islamiyah. Namun demikian, pada tahun 1988 terjadi perubahan
yang cukup mendasar dalam sistem pendidikan Persis, yakni ketika pimpinan
pesantren Persis secara kelembagaan mengizinkan para santri untuk mengikuti
ujian negara dalam bentuk evaluasi belajar tahap akhir persamaan. Hal ini
belaku bagi siswa yang merampungkan studinya di tingkat Tsanawiyah maupun
tingkat muallimin. Hal ini merupakan langkah besar bagi Persis karena pada masa
kepemimpinan sebelumnya di bawah pimpinan KH. Abdurrahman, para santri dan
siswa di lingkungan persis tidak diperbolehkan mengikuti ujian negara yang salah
satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah negeri. Dalam perspektif Kyai, hal ini
akan mempengaruhi visi dan orientasi para siswa di didik di lingkungan Persis
untuk menjadi ulama menjadi cenderung pragmatis seperti pegawai negeri.
G.
Nahdhatul Ulama’ (NU)
Nahdhatul
Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama “Nahdlatoel Oelama (NO)”
didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16
Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab yang sering kali menyebut
dirinya sebagai golongan Ahlussunah Waljama’ah yang dipelopori oleh KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. Berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai
reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan umat Islam Indonesia dan
berusaha mempertahankan salah satu dari empat mazhab dalam masalah yang
berhubungan dengan fiqh, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan
Mazhab Hambali. Sedangkan dalam hal i’tiqad NU berpegang pada aliran Ahlussunah
Waljama’ah. Dalam konteks ini NU memahami hakikat Ahlussunah Waljama’ah sebagai
ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah
bersama para sahabatnya.
Sebelum
menjadi partai Politik , NU bertujuan memegang teguh salah satu mazhab dari
mazhab imam yang empat Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab
Hambali dan mengajarkan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam
(ADNU tahun 1926).
Setelah menjadi partai politik Mei
1952 yang dituangkan dalam anggaran Dasarnya yang baru, di mana NU
bertujuan:
- Menegakkan syari’at Islam
dengan berhaluan salah satu dari empat mazhab Hanafi, Mazhab Maliki,
Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali
- melaksanakan berlakunya
hukum-hukum Islam dalam masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut
dilakukanlah usaha-usaha, antara lain:
- Menyiarkan agama Islam melalui
tablig-tablig, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan.
- Mempertinggi mutu pendidikan
dan pengajaran Islam
- Penyelenggaraan Pendidikan
Selanjutnya, pada akhir tahun 1938
(1356 H) komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglemen tentang susunan
madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H.
Adapun susunan madrasah-madrasah tersebut adalah:
- Madrasah Awaliyah dengan lama
belajar 2 tahun
- Madrasah Ibtidaiyyah dengan
lama belajar 3 tahun
- Madrasah Tsanawiyah dengan lama
belajar 3 tahun
- Madrasah Mu’allimin Wustha 2
tahun
- Madrasah Mu’allimin “Ulya” 3
tahun
Kurikulum yang menjadi acuan
pengajaran di Madrasah-madrasah tersebut tampaknya harus menurut ketentuan PBNU
bagian pendidikan dan pengajaran atau yang dikenal dengan Ma’rif. Dalam bidang
pendidikan dan pengajaran formal ini NU membentuk satu bagian khusus yang
menanganinya, yaitu yang disebut Ma’arif di mana tugasnya adalah untuk membuat
perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah
yang berada di bawah naungan NU.
H.
Al-Irsyad
Al-Irsyad
merupakan madrasah yang tertua dan termasyhur di Jakarta yang didirikan pada
tahun 1913 oleh Perhimpunan Al-Irsyad Jakarta dengan tokoh pelopornya Ahmad
Syurkati Al-Anshari. Tujuan perkumpulan Al-Irsyad ini adalah memajukan
pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia.
Al-Irsyad di samping bergerak di bidang pendidikan, juga bergerak di
bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah Rasul secara
murni dan konsekuen.
Dalam bidang pendidikan, Al-Irsyad
mendirikan madrasah:
- Awaliyah, lama belajar 3 tahun
(3 kelas)
- Ibtidaiyah, lama belajar 4
tahun (4 kelas)
- Tajhiziah, lama belajar 2
tahun (2 kelas)
- Mu’allimin, lama belajar 4
tahun (4 kelas)
- Takhassus, lama belajar 2 tahun
(2 kelas)
Pada tahun 1924 dimulailah usaha
perbaikan organisasi sekolah, ketika dikeluarkannya sebuah peraturan di mana
hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat diterima pada kelas satu
Sekolah Dasar yang lama belajarnya 5 tahun. Begitu juga pelajar-pelajar dari
sekolah guru mempunyai kesempatan untuk praktek atau latihan mengajar. Anak
yang lebih dari 10 tahun dapat masuk ke kelas-kelas yang lebih tinggi
tergantung pada kemampuan yang diperlihatkannya pada ujian masuk yang
dilaksanakan semacam placement test untuk sekarang.
Dewasa ini organisasi Al-Irsyad
terus berkembang dan bidang yang menjadi garapannya pun semakin luas, baik
bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan sebagainya.
I.
Perserikatan Ulama
Organisasi
Islam yang bernama Perserikatan Ulama ini merupakan perwujudan dari lahirnya
gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia, hal ini khususnya terjadi di daerah
Majalengka, Jawa Barat. Kehadiran Perserikatan Ulama ini adalah inisiatif K.
Abdul Halim pada tahun 1911. Lembaga pendidikan tersebut sudah menerapkan
sistem pendidikan yang cukup maju dengan meninggalkan sistem lama yang memakai
halaqah. Inilah yang mengilhaminya untuk mengadakan perubahan sistem pendidikan
tradisional di daerah asalnya sekembalinya ke tanah air. Di samping itu juga
motivasinya adalah untuk membuktikan kepala pihak familinya yang kebanyakan
golongan priyayi (politik pendidikan pemerintah kolonial) bahwa dia meskipun
dari golongan rakyat biasa mampu melayani masyarakat dengan baik. Setelah enam
bulan sekembalinya dari Tanah Suci Makkah pada tahun 1911 Abdul Halim
mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub yang bergerak dalam
bidang ekonomi dan pendidikan. Orang-orang yang bergabung di dalamnya
kebanyakan dari petani dan pedagang. Di bidang ekonomi pada mulanya organisasi
ini bermaksud untuk membantu anggota-anggotanya yang bergerak di bidang
perdagangan dalam persaingannya dengan pedagang-pedagang Cina. Sedang di
bidang pendidikan, KH. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama
skali seminggu untuk orang-orang dewasa. Umumnya materi yang diberikan adalah
pelajaran fiqh dan hadits.
Dalam
rangka perbaikan mutu lembaga pendidikannya Abdul Halim berhubungan dengan
Jami’at Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada
tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi
bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan. Organisasi tersebut kemudian
diganti namanya menjadi Perserikatan Ulama, yang disahkan secara hukum oleh
pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan HOS Cokroaminoto (pimpinan Serikat
Islam). Ia disebut juga Perikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan
dengan organisasi lainnya Al-Ittahadiyatul Islamiyah menjadi Persatuan Umat
Islam (PUI). Perserikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh
Jawa dan Madura mulai tahun 1924 dan pada tahun 1937 lebih jauh lagi ke seluruh
Indonesia. Kemudian pada tahun 1932 dalam suatu Kongres Perserikatan Ulama di
Majalengka Abdul Halim mengusulkan agar didirikan sebuah lembaga pendidikan
yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu
pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga
kelengkaspsan-kselengkaspsan berupa pengembangan prosesi dan keterampilan
seperti pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, tergantung pada bakat
maing-masing yang bersansgksutsan.
J.
Al-Washliyah
Al-Jami’atul
Washiliyah didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan
tanggal 9 Rajab 1249 H oleh para pelajar-pelajar dan guru-guru Maktab Islamiyah
Tapanuli. Maktab Islamiyah Tapanuli. ini adalah sebuah madrasah yang didirikan
di Medan pada tanggal 19 Mei 1913 oleh masyarakat Tapanuli dan merupakan
madrasah yang tertua di Medan. Sebagai pengurus yang pertama pada organisasi
ini adalah Isma’il Banda sebagai ketua I, A Rahman Syihab ketua II dan sebagai
penasihatnya adalah Syeikh H.M. Yunus. Al-Washiliyah adalah sebuah organisasi
yang berasaskan Islam, yang dalam fiqh memakai mazhab Syafi’i serta dalam hal
i’tiqad adalah Ahulussunah Waljama’ah al-Washiliyah bergerak dalam bidang
pendidikan, sosial dan keagamaan.
Al-Washiliyah menyelenggarakan
pendidikannya dengan susunan sebagai bersikut:
- Madrasah Ibtidaiyyah 6 tahun
- Madrasah Tsanawiyah 3 tahun
- Madrasah Qimul Ali 3 tahun
- Madrasah Mualimun 3 tahun
- PGA
- Madrasah Al-Washiliyah 6 tahun
- SMP Al-Washiliyah 6 tahun
- MA Al-Washiliyah 6 tahun
Untuk lembaga pendidikan sekolah
dasar sampai SMA materi pelajarannya adalah 70 s% umum 30 s% agama. Pada tahun
1958 Al-Washiliyah telah mampu mendirikan Perguruan Tinggi Agam Islam (PTAI) di
Medan dan Jakarta. Di Medan kemudian menjadi Universitas dan mempunyai cabang,
seperti Sibolga, Kebun Jahe, Rantau Prapat, Lansa (Aceh) bahkan sampai ke
Kalimantan tepatnya di Barabai Kalimantan Selatan yang sekarang bernama
Al-Washiliyah Barabai.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam masa yang cukup panjang, pendidikan Islam di Indonesia berada di persimpangan jalan
antara mempertahankan tradisi lama atau mengadopsi perkembangan baru. Dalam
konteks inilah kemudian dituntut adanya suatu ketegasan visi dan misi pendidikan
Islam sehingga tidak tergoda oleh tarik-menarik kecendrungan secara ekstrem.
Pendidikan Islam bukanlah sekadar untuk menjadikan pendidikan agama Islam
sebagai ‘cagar budaya’ dengan mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu,
tetapi sebagai agen of change, tanpa kehilangan jati diri keislamannya. Dengan
demikian pendidikan Islam akan resfonsif terhadap tuntutan masa depan, yaitu
bukan hanya mendidik siswanya menjadi manusia yang saleh tetapi juga produktif.
Ada tiga alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam
memilih lembaga pendidikan untuk menyekolahkan anak-anaknya, yaitu nilai,
status sosial,dan cita-cita. Masyarakat yang terpelajar akan semakin beragam
pertimbangannya dalam memilih pendidikan anak-anaknya. Eksistensi madrasah
selalu ditentukan oleh bagaimana masyarakat memberi dukungan, baik dalam bentuk
moral maupun materil termasuk dengan menyekolahkan anaknya ke madrasah.
Madrasah sulit berkembang justru erat kaitannya dengan persepsi masyarakat
tentang madrasah.
Beberapa agenda besar harus mendapat respon dari dunia madrasah
unggul dambaan masyarakat dan umat Islam. Sedikitnya ada empat syarat utama
yang harus dipenuhi, yaitu ketersediaan tenaga pendidikan yang professional,
kelengkapan sarana dan prasarana, perlu ditangani dengan sistem manajemen
profesional yang modern, dan adanya kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan tantangan dunia modern. Selain itu madrasah juga perlu
memberikan perhatian untuk senantiasa meningkatkan kualitas, mengembangkan
inovasi dan kreativitas, membangun jaringan kerjasama dan memahami
kerakteristik pelaksanaan otonomi daerah.