Jumat, 28 Oktober 2022

KENDURI "WEDUSAN"

 


Desa Logandu Kecamatan Karanggayam adalah sebuah desa di pinggiran utara kota Kebumen yang warga masyarakat memiliki cirikhas yang berbeda dengan warga desa yang lainnya. Diantaranya adalah budaya “sambatan” atau gotongroyong saat membangun rumah, menggarap sawah dan ladang, kerja bakti lingkungan masih sangat kental. Budaya “endhong-endhongan” jagongan bersama sambil bicara tentang ilmu pertanian, cerita tentang trah para leluhur dan sosial kemasyarakatan masih membudaya dilakukan dengan tanpa beban dan mengakar kuat di masyarakat.

Begitu juga pelaksanaan ritual dan tradisi “adat jawa” seperti tradisi wedusan, ruwat bumi, baritan/tayuban, kenduren wetonan atau hari lahir, gebasan/bersih makam, ziarah ke makam leluhur masih sangat kuat dan melekat secara turun temurun.

“Tradisi/adat jawa yang sudah diwariskan para leluhur dan sesepuh terdahulu, tidak hanya sebatas ritual dan  warisan budaya, tetapi mengandung nilai dan ajaran luhur yang tersirat dan harus kita lestarikan,” kata Mardiadi, pemerhati adat dan budaya Desa Logandu.

Seperti halnya yang dilakukan oleh warga Desa Logandu pada setiap masuk musim penghujan (bulan Oktober) yakni tradisi wedusan .

Tradisi wedusan, adalah  ritual yang rutin dilakukan oleh warga Desa Logandu pada setiap memasuki musim penghujan, (sebelum menggarap sawah), dengan waktu yang sudah ditentukan, yaitu hari Rabu kliwon-Kamis legi. Mengapa dinamakan tradisi wedusan?  Karena tradisi ritual ini dengan penyembelihan kambing yang dilanjutkan dengan kenduri oleh warga disetiap RT.

“Menurut cerita secara turun temurun, dan dari beberapa catatan tulisan dari sesepuh desa, pada awalnya tradisi penyembelihan kambing atau wedusan, dilakukan sebagai wujud persembahan memohon kepada Sanghyang Agung agar segera diturunkan hujan dari langit dan para petani dapat segera menggarap sawahnya”. Setelah Islam masuk ke Tanah Jawa, tradisi wedusan diubah atau dimodifikasi oleh para wali. Artinya tradisi wedusan (penyembelihan kambing) tetep berjalan, hanya saja yang awalnya kambing sebagai persembahan diubah dengan cara kambingnya disembelih dan dagingnya dimasak untuk kemudian dikenduri bersama.

Secara rinci tata cara atau tata urutan tradisi wedusan di Desa Logandu diawali dengan penyembelihan kambing pada hari Rabu Kliwon sore. Darah penyembihan dibiarkan mengalir ke bumi, sebagai symbol peresembahan kepada penguasa bumi atau dalam istilah jawa ibu pertiwi. Setelah disembelih, diambil atau diris-iris sebagaian tubuh kambing, mulai tanduk, telinga, lidah, kuku kaki dan ekornya. Potongan bagian-bagian tubuh kambing tersebut nantinya sebagai sesaji, sebagai symbol atau pengganti persembahan kambing kepada sanghyang Agung. Saat itu juga, salah satu kasepuhaan atau tokoh adat di desa, ziarah atau dalam bahasa warga Desa Logandu disebut tilik, ke makam tokoh pendiri desa dan para leluhurnya dengan memanjatkan doa memohon kepada Tuhan agar segera diturunkan hujan dan warga Desa Logandu yang mayoritas petani mendapatkan kekuatan untuk segera menggarap sawahnya. Dalam memanjatkan doa di makam para leluhurnya disertai dengan membakar kemenyan dengan menggunakan upet yakni obor yang dibuat dari serpihan mancung dan daun kelapa kering.

Hal yang unik pada tradisi wedusan ini, adalah pengolahan kambing mulai penyembelihan sampai dengan masaknya dilakukan oleh bapak-bapak dan dilakukan diluar rumah (dihalaman atau diteras rumah). Puncak dan inti tradisi wedusan diakhiri dengan kenduri, berdoa bersama agar yang menjadi hajat dan permohonan warga Desa Logaandu dapat terkabul dan dikabulakn oleh Tuhan yang Maha Kuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar