Desa Logandu Kecamatan Karanggayam adalah sebuah desa di pinggiran utara kota Kebumen yang warga masyarakat memiliki cirikhas yang berbeda dengan warga desa yang lainnya. Diantaranya adalah budaya “sambatan” atau gotongroyong saat membangun rumah, menggarap sawah dan ladang, kerja bakti lingkungan masih sangat kental. Budaya “endhong-endhongan” jagongan bersama sambil bicara tentang ilmu pertanian, cerita tentang trah para leluhur dan sosial kemasyarakatan masih membudaya dilakukan dengan tanpa beban dan mengakar kuat di masyarakat.
Begitu
juga pelaksanaan ritual dan tradisi “adat jawa” seperti tradisi wedusan, ruwat
bumi, baritan/tayuban, kenduren wetonan atau hari lahir, gebasan/bersih makam,
ziarah ke makam leluhur masih sangat kuat dan melekat secara turun temurun.
“Tradisi/adat
jawa yang sudah diwariskan para leluhur dan sesepuh terdahulu, tidak hanya
sebatas ritual dan warisan budaya,
tetapi mengandung nilai dan ajaran luhur yang tersirat dan harus kita
lestarikan,” kata Mardiadi, pemerhati adat dan budaya
Desa Logandu.
Seperti
halnya yang dilakukan oleh warga Desa Logandu pada setiap masuk musim penghujan
(bulan Oktober) yakni tradisi wedusan .
Tradisi
wedusan, adalah ritual yang rutin
dilakukan oleh warga Desa Logandu pada setiap memasuki musim penghujan, (sebelum
menggarap sawah), dengan waktu yang sudah ditentukan, yaitu hari Rabu
kliwon-Kamis legi. Mengapa dinamakan tradisi wedusan? Karena tradisi ritual ini dengan
penyembelihan kambing yang dilanjutkan dengan kenduri oleh warga disetiap RT.
“Menurut
cerita secara turun temurun, dan dari beberapa catatan tulisan dari sesepuh
desa, pada awalnya tradisi penyembelihan kambing atau wedusan, dilakukan
sebagai wujud persembahan memohon kepada Sanghyang Agung agar segera diturunkan
hujan dari langit dan para petani dapat segera menggarap sawahnya”. Setelah
Islam masuk ke Tanah Jawa, tradisi wedusan diubah atau dimodifikasi oleh para
wali. Artinya tradisi wedusan (penyembelihan kambing) tetep berjalan, hanya saja
yang awalnya kambing sebagai persembahan diubah dengan cara kambingnya
disembelih dan dagingnya dimasak untuk kemudian dikenduri bersama.
Secara
rinci tata cara atau tata urutan tradisi wedusan di Desa Logandu diawali dengan
penyembelihan kambing pada hari Rabu Kliwon sore. Darah penyembihan dibiarkan
mengalir ke bumi, sebagai symbol peresembahan kepada penguasa bumi atau dalam
istilah jawa ibu pertiwi. Setelah disembelih, diambil atau diris-iris sebagaian
tubuh kambing, mulai tanduk, telinga, lidah, kuku kaki dan ekornya. Potongan
bagian-bagian tubuh kambing tersebut nantinya sebagai sesaji, sebagai symbol
atau pengganti persembahan kambing kepada sanghyang Agung. Saat itu juga, salah
satu kasepuhaan atau tokoh adat di desa, ziarah atau dalam bahasa warga Desa
Logandu disebut tilik, ke makam tokoh pendiri desa dan para leluhurnya dengan
memanjatkan doa memohon kepada Tuhan agar segera diturunkan hujan dan warga
Desa Logandu yang mayoritas petani mendapatkan kekuatan untuk segera menggarap
sawahnya. Dalam memanjatkan doa di makam para leluhurnya disertai dengan
membakar kemenyan dengan menggunakan upet yakni obor yang dibuat dari serpihan
mancung dan daun kelapa kering.
Hal
yang unik pada tradisi wedusan ini, adalah pengolahan kambing mulai penyembelihan
sampai dengan masaknya dilakukan oleh bapak-bapak dan dilakukan diluar rumah
(dihalaman atau diteras rumah). Puncak dan inti tradisi wedusan diakhiri dengan
kenduri, berdoa bersama agar yang menjadi hajat dan permohonan warga Desa
Logaandu dapat terkabul dan dikabulakn oleh Tuhan yang Maha Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar