SEJARAH
PENGANTAR
Desa Logandu Kecamatan Karanggayam adalah
sebuah desa di pinggiran utara kota Kebumen yang warga masyarakat memiliki
cirikhasyang berbeda dengan warga desa yang lainnya. Diantaranya adalah budaya
“sambatan” (gotongroyong) saat membangun rumah, menggarap sawah dan ladang,
kerja bakti lingkungan masih sangat kental. Budaya “endhong-endhongan” jagongan
bersama sambil bicara tentang ilmu pertanian, cerita tentang trah para leluhur
dan sosial kemasyarakatan masih membudaya dilakukan dengan tanpa beban dan
mengakar kuat di masyarakat.
Dalam hal ritual keagamaan seperti peringatan
hari besar Islam dan ritual “adat kejawen” seperti ruwat bumi setiap hari Rabu
Kliwon bulan syura, “baritan” (tayuban) setelah panen padi, kenduren wetonan
(hari lahir) setiap bulan syura, “gebasan” (bersih makam) setiap 4 (empat bulan
sekali) yang dilanjutkan dengan kenduren bersama di Balai Desa, ziarah ke makam
leluhur setiap mempunyai hajat dan keperluan dengan membakar kemenyan, dan
masih banyak lagi yang lainnya masih sangat kuat dan melekat secara turun
temurun.
Namun seiring dengan perkembangan jaman yang melaju
dengancepat, arus teknologi dan komunikasi melesat deras masuk ke semua penjuru
dunia tanpa melihat kota dan desa. Pertukaran budaya, adat istiadat dan gaya
hidup merasuk ke semua lapisan masyarakat tanpa bisa dibendungnya. Tanpa sadar
dan disadari sangat berperan dalam pergeseran norma dan budaya bangsa. Belum
lagi dari sisi religius (pengaruh keagamaan) ikut mewarnai sendi kehidupan.
Kondisi kemampuan, wawasan dan keilmuan warga
masyarakat yang cenderung berlatar belakang pendidikan dan wawasan yang kurang
bahkan sangat kurang, maka tidak mampu memfilter (memilah dan memilih) mana
yang berpengaruh positif dan mana yang berdampak negatif. Dari sisi pengaruh
agamapun demikian, tidak mampu memilih mana yang benar-benar sesuai dengan
syareat Islam mana yang justru merusak sendi-sendi ke-Islam-an dan merongrong
sendi-sendi kerukunan berbudaya, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Semuanya masuk ikut mewarnai bahkan mempengaruhi tata nilai, norma, kearifan
lokal dan budaya yang sudah melekat di masyarakat. Dampaknya adalah budaya
gotong royong mulai luntur, budaya endhong-endhongan mulai jarang terdengar dan
pelaksanaan ritual keagamaan dan ritual adat budaya jawa-pun hanya seremonial yang
hanya terlaksana tanpa makna.
Apa dan mengapa “JAGONGAN NGUPET”
Selain kondisi yang sebagaimana disebutkan
diatas, maraknya issu penyebaran agama Islam yang cenderung mengarah pada
kerenggangan sosial, dan bertentangan dengan faham “ahlus sunah wal jama’ah
annahdliyah” (NU) seperti faham yang mengatakan bahwa kenduren, ziarah kubur
(ngupet), sidekah/kenduren selamatan orang yang meninggal, kenduren weton
haram, semakin menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran dari sejumlah tokoh di
Desa Logandu, sebab akan berdampak pada permasalahan sosial dan in-toleransi. sampai
akhirnya berkumpulah 3 tokoh desa yang terdiri dari:
1. Mbah
Sumarjo (Tokoh/sesepuh desa dan mantan Kepala Desa Logandu era Tahun 1965);
2. Mbah
Kuswari (Tokoh adat dan budaya sekaligus Kaum Desa) dan;
3. Mardiadi
(Kiai Muda dan pemerhati adat dan budaya sekaligus pencetus lahirnya Gendhing
Tanpa Aran / GTA)
Selama 3 (tiga) malam mereka berdiskusi apa
yang harus dilakukan untuk menjaga dan mengembalikan nilai-nilai keagamaan dan
kelestarian adat dan budaya yanga ada di Desa Logandu. Dari diskusi mereka
bertiga muncul beberapa gagasan, diantaranya:
1. Pentinganya
mengetahui/membongkar tentang sejarah Desa Logandu. Dengan memahami sejarah
diharapkan akan menggugah semangat untuk mewarisi apa yang telah diwariskan
oleh para leluhurnya;
2. Pentingnya
menggali pesan yang tersimpan/nasehat mulia dari para leluhur melalui ritual
adat dan tradisi.
3. Pentingnya
media “belajar merdeka” bagi warga masyarakat yang menyatukan antara tokoh
agama, adat dan budaya agar tercipta keharmonisan dalam masyarakat.
Berawal dari gagasan itulah kemudian
disepakati jagongan warga merdeka selapanan (setiap malam Ahad Wage), yang
kemudian dinamakan “JAGONGAN NGUPET”
JAGONGAN NGUPET artinya Jagongan (duduk
bersama) untuk NGUDARI PEPETENG (melepas/menghilangkan kegelapan/kebodohan)
dengan mengkaji korelasi antara Agama, adat dan budaya. Slogan yang digunakan
adalah, “NJAGONG BARENG DADI GAYENG, NGANGSU KAWRUH DADI WERUH”. Jagongan
NGUPET mulai pertama kali dilaksanakan pada malem Ahad Wage , tanggal 1 Oktober
2017 / 9 Sura 1951 saka, dengan mengambil tema, “Kenduren dan ruwat bumi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar