Kamis, 27 Oktober 2022

BUDAYA JAGONGAN NGUPET

 SEJARAH

PENGANTAR

Desa Logandu Kecamatan Karanggayam adalah sebuah desa di pinggiran utara kota Kebumen yang warga masyarakat memiliki cirikhasyang berbeda dengan warga desa yang lainnya. Diantaranya adalah budaya “sambatan” (gotongroyong) saat membangun rumah, menggarap sawah dan ladang, kerja bakti lingkungan masih sangat kental. Budaya “endhong-endhongan” jagongan bersama sambil bicara tentang ilmu pertanian, cerita tentang trah para leluhur dan sosial kemasyarakatan masih membudaya dilakukan dengan tanpa beban dan mengakar kuat di masyarakat.

Dalam hal ritual keagamaan seperti peringatan hari besar Islam dan ritual “adat kejawen” seperti ruwat bumi setiap hari Rabu Kliwon bulan syura, “baritan” (tayuban) setelah panen padi, kenduren wetonan (hari lahir) setiap bulan syura, “gebasan” (bersih makam) setiap 4 (empat bulan sekali) yang dilanjutkan dengan kenduren bersama di Balai Desa, ziarah ke makam leluhur setiap mempunyai hajat dan keperluan dengan membakar kemenyan, dan masih banyak lagi yang lainnya masih sangat kuat dan melekat secara turun temurun.

Namun seiring dengan perkembangan jaman yang melaju dengancepat, arus teknologi dan komunikasi melesat deras masuk ke semua penjuru dunia tanpa melihat kota dan desa. Pertukaran budaya, adat istiadat dan gaya hidup merasuk ke semua lapisan masyarakat tanpa bisa dibendungnya. Tanpa sadar dan disadari sangat berperan dalam pergeseran norma dan budaya bangsa. Belum lagi dari sisi religius (pengaruh keagamaan) ikut mewarnai sendi kehidupan.

Kondisi kemampuan, wawasan dan keilmuan warga masyarakat yang cenderung berlatar belakang pendidikan dan wawasan yang kurang bahkan sangat kurang, maka tidak mampu memfilter (memilah dan memilih) mana yang berpengaruh positif dan mana yang berdampak negatif. Dari sisi pengaruh agamapun demikian, tidak mampu memilih mana yang benar-benar sesuai dengan syareat Islam mana yang justru merusak sendi-sendi ke-Islam-an dan merongrong sendi-sendi kerukunan berbudaya, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semuanya masuk ikut mewarnai bahkan mempengaruhi tata nilai, norma, kearifan lokal dan budaya yang sudah melekat di masyarakat. Dampaknya adalah budaya gotong royong mulai luntur, budaya endhong-endhongan mulai jarang terdengar dan pelaksanaan ritual keagamaan dan ritual adat budaya jawa-pun hanya seremonial yang hanya terlaksana tanpa makna.

Apa dan mengapa “JAGONGAN NGUPET”

Selain kondisi yang sebagaimana disebutkan diatas, maraknya issu penyebaran agama Islam yang cenderung mengarah pada kerenggangan sosial, dan bertentangan dengan faham “ahlus sunah wal jama’ah annahdliyah” (NU) seperti faham yang mengatakan bahwa kenduren, ziarah kubur (ngupet), sidekah/kenduren selamatan orang yang meninggal, kenduren weton haram, semakin menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran dari sejumlah tokoh di Desa Logandu, sebab akan berdampak pada permasalahan sosial dan in-toleransi. sampai akhirnya berkumpulah 3 tokoh desa yang terdiri dari:

1.    Mbah Sumarjo (Tokoh/sesepuh desa dan mantan Kepala Desa Logandu era Tahun 1965);

2.    Mbah Kuswari (Tokoh adat dan budaya sekaligus Kaum Desa) dan;

3.    Mardiadi (Kiai Muda dan pemerhati adat dan budaya sekaligus pencetus lahirnya Gendhing Tanpa Aran / GTA)

Selama 3 (tiga) malam mereka berdiskusi apa yang harus dilakukan untuk menjaga dan mengembalikan nilai-nilai keagamaan dan kelestarian adat dan budaya yanga ada di Desa Logandu. Dari diskusi mereka bertiga muncul beberapa gagasan, diantaranya:

1.  Pentinganya mengetahui/membongkar tentang sejarah Desa Logandu. Dengan memahami sejarah diharapkan akan menggugah semangat untuk mewarisi apa yang telah diwariskan oleh para leluhurnya;

2.   Pentingnya menggali pesan yang tersimpan/nasehat mulia dari para leluhur melalui ritual adat dan tradisi.

3.    Pentingnya media “belajar merdeka” bagi warga masyarakat yang menyatukan antara tokoh agama, adat dan budaya agar tercipta keharmonisan dalam masyarakat.

Berawal dari gagasan itulah kemudian disepakati jagongan warga merdeka selapanan (setiap malam Ahad Wage), yang kemudian dinamakan “JAGONGAN NGUPET”

JAGONGAN NGUPET artinya Jagongan (duduk bersama) untuk NGUDARI PEPETENG (melepas/menghilangkan kegelapan/kebodohan) dengan mengkaji korelasi antara Agama, adat dan budaya. Slogan yang digunakan adalah, “NJAGONG BARENG DADI GAYENG, NGANGSU KAWRUH DADI WERUH”. Jagongan NGUPET mulai pertama kali dilaksanakan pada malem Ahad Wage , tanggal 1 Oktober 2017 / 9 Sura 1951 saka, dengan mengambil tema, “Kenduren dan ruwat bumi”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar