Selasa, 01 Mei 2012

KH. Abdul Karim


KH. ABDUL KARIM
Tak Nasab Ilmu pun Jadi
Ketika Belanda menjajah negara indonesia, ketika roda perekonomian porak poranda karena polah para penjajahyang menguras habis penghasilan bumi negeri tercinta,dan ketika kerusakan umat sudah merajalela,,,dimana-mana terjadi peristiwa perampokan,pencurian dan kerusakan moral,merusak sendi-sendi kehidupan. Kemunafikan, kemusrikan,khurafath dan bid’ah sudah merajalela. Tak ketinggalan, desa Lirboyo, yang kala itu masih jauh dari keramian, kota tertimpa juga. Bahkan Lbrboyo dijadikan sarang mereka. Disaat itulah tampil seorang ulama yang wira’i, meredam praktek penyimpangan syariat agama islam itu. Seorang yang kuat iman, lagi luas ilmu agamanya. Pantang menyerah dalam berdakwah tetapi tetap santun dan tawadlu’ terhadap siapa saja. Dialah KH. Abdul Karim yangh lebih dikenal dengan mbah Manab, pendiri pesantren pondok Lirboyo Kodya Kediri Jawa Timur.
Desa Banar yang terletak di Kecamatan Martoyudan, Magelang Jawa Tengah adalah saksi bisu ketokohan KH. Abdul Karim. Karena disinilah pada sekitar tahun 1856 lalu telah lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan Abdurrohim dan Salamah yang diberi nama Manab. Putra ke-3 dari empat bersaudara. Kedua kakaknya laki-laki bernama Aliman dan Mukmin. Sedang adiknya p[erempuan bernama Armiah.
Untuk membiayai kehidupan keluarganya, Abdurrohim sehari-harinya bekerja sebagai petani Gurem. Kendati demikian, semangatnya untuk mengentaskan keluarganya dari belenggu ekonomi sangat kuat, untuk itu, selain sebagai petani gurem dia juga mencoba usaha lain, yaitu berdagang kecil-kecilan dipasar Muntilan yang jaraknya sekitar 10 km dari desanya. Kesibukanya sebagai petani dan pedagang kecil tidak menyurutkan ketekunan beribadah. Pagi buta sebelum fajar Abdurrohim sudah berangkat ke pasar memikul daganganya denang berjalan kaki dan diterangi obor. Sore hari setelah pulang dari pasar, bukannya dia istirahat, tetapi meraih cangkulnya untuk meneruskan pekerjaannya di sawah. Kerja keras dan ketekunen Abdurrohim inilah yang kelak diwarisi Manab.
Namun sayang, sebelum Manab akil Baligh, ayahnya telah dipanggil yang Kuasa, sehingga pekerjaan yang berat itu harus dikerjakan ibunya dan dengan tekunnya pula Manab menbantunya. Beberapa tahun kemudian ibunya menikah lagi walaupun sudah ada pengganti Ayahnya, namun hal itu tidak membuat Manab melalaikan tugasnya. Bahkan Manab kecil sudah mempunyai pandangan yang jauh kedepan. Dia ingin mengembara untuk menambah pengalaman dan pengetahuanya. Dia ingin seperti para pengikut P. Diponegoro di daerah Magelang, seperti Kyai Rafi’I, Kyai Hasan Bashori dan Kyai Mlangi. Dia tidak ingin hanya menjadi orang biasa, walaupun dia menyadari bahwa dirinya hanya anak seorang petani kecil. Dia ingin membangun nasab mulai dari dirinya, bukan dari nenek moyangnya. Seakan-akan dia ingin berkata inilah aku, bukan inilah ayahku atau nenek moyangku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar