KH. ABDUL KARIM
Tak Nasab
Ilmu pun Jadi
Ketika
Belanda menjajah negara indonesia, ketika roda perekonomian porak poranda
karena polah para penjajahyang menguras habis penghasilan bumi negeri
tercinta,dan ketika kerusakan umat sudah merajalela,,,dimana-mana terjadi
peristiwa perampokan,pencurian dan kerusakan moral,merusak sendi-sendi
kehidupan. Kemunafikan, kemusrikan,khurafath dan bid’ah sudah merajalela. Tak
ketinggalan, desa Lirboyo, yang kala itu masih jauh dari keramian, kota
tertimpa juga. Bahkan Lbrboyo dijadikan sarang mereka. Disaat itulah tampil
seorang ulama yang wira’i, meredam praktek penyimpangan syariat agama islam
itu. Seorang yang kuat iman, lagi luas ilmu agamanya. Pantang menyerah dalam
berdakwah tetapi tetap santun dan tawadlu’ terhadap siapa saja. Dialah KH.
Abdul Karim yangh lebih dikenal dengan mbah Manab, pendiri pesantren pondok Lirboyo
Kodya Kediri Jawa Timur.
Desa Banar yang terletak di Kecamatan Martoyudan, Magelang Jawa
Tengah adalah saksi bisu ketokohan KH. Abdul Karim. Karena disinilah pada
sekitar tahun 1856 lalu telah lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan
Abdurrohim dan Salamah yang diberi nama Manab. Putra ke-3 dari empat
bersaudara. Kedua kakaknya laki-laki bernama Aliman dan Mukmin. Sedang adiknya
p[erempuan bernama Armiah.
Untuk membiayai kehidupan keluarganya, Abdurrohim sehari-harinya
bekerja sebagai petani Gurem. Kendati demikian, semangatnya untuk mengentaskan
keluarganya dari belenggu ekonomi sangat kuat, untuk itu, selain sebagai petani
gurem dia juga mencoba usaha lain, yaitu berdagang kecil-kecilan dipasar
Muntilan yang jaraknya sekitar 10 km dari desanya. Kesibukanya sebagai petani
dan pedagang kecil tidak menyurutkan ketekunan beribadah. Pagi buta sebelum
fajar Abdurrohim sudah berangkat ke pasar memikul daganganya denang berjalan
kaki dan diterangi obor. Sore hari setelah pulang dari pasar, bukannya dia
istirahat, tetapi meraih cangkulnya untuk meneruskan pekerjaannya di sawah.
Kerja keras dan ketekunen Abdurrohim inilah yang kelak diwarisi Manab.
Namun sayang, sebelum Manab akil Baligh, ayahnya telah dipanggil
yang Kuasa, sehingga pekerjaan yang berat itu harus dikerjakan ibunya dan
dengan tekunnya pula Manab menbantunya. Beberapa tahun kemudian ibunya menikah
lagi walaupun sudah ada pengganti Ayahnya, namun hal itu tidak membuat Manab
melalaikan tugasnya. Bahkan Manab kecil sudah mempunyai pandangan yang jauh
kedepan. Dia ingin mengembara untuk menambah pengalaman dan pengetahuanya. Dia
ingin seperti para pengikut P. Diponegoro di daerah Magelang, seperti Kyai
Rafi’I, Kyai Hasan Bashori dan Kyai Mlangi. Dia tidak ingin hanya menjadi orang
biasa, walaupun dia menyadari bahwa dirinya hanya anak seorang petani kecil.
Dia ingin membangun nasab mulai dari dirinya, bukan dari nenek moyangnya.
Seakan-akan dia ingin berkata inilah aku, bukan inilah ayahku atau nenek
moyangku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar