Jumat, 22 Maret 2013

TINJAUAN KAIDAH FIKIH DALAM BEBERAPA PERSOALAN FIKIH

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Telah kita ketahui bahwa persoalan-persoalan fikih di masyarakat selalu bermunculan. Kenapa demikian? Jawabannya adalah karena manusia itu mempunyai nafsu dan dengan nafsu itu manusia mampu membuat peradaban-peradaban yang luar biasa, dari tahun ke tahun peradaban manusia terus berkembang. Dan hasil dari cipta mereka ini juga akan bertimbal balik pada pola tingkah laku mereka ataupun pola pikir manusia.

Sebelum kita membahas masalah sekarang ini marilah kita flash back sebentar ke masa lalu pada ayah dan ibu manusia atau sering dikenal dengan Adam dan Hawa. Kenapa manusia itu butuh aturan? Dan kenapa manusia itu ada yang mematuhi aturan-aturan dan kenapa manusia itu juga ada yang mengingkari peraturan-peraturan ini. Yang pasti peraturan ini adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh Alloh atau yang disebut sunatulloh. Perlu diketahui bahwa sunatulloh itu ada yang tersurat seperti wahyu yang diberikan pada Rasul-Rasulnya. Dan juga hukum tersirat seperti hukum alam yang masih rahasia.
Kenapa bapak manusia perlu diatur dan juga ibu manusia? Jawabannya karena pada saat Adam diciptakan, Alloh mengilhamkan kebaikan dan kejahatan, iman dan kufur. Pada manusia pertama ini. Disinilah Alloh sedang menguji manusia apakah mau memilih yang baik atau yang buruk seperti yang diterangkan pada surat As-Syam ayat 9 dan 10.

Peraturan-peraturan Alloh ini sebenarnya untuk menyelamatkan manusia dari tipu daya setan yang ingin menyeret manusia bersamanya ke dalam neraka.
Karena itulah manusia itu perlu atau wajib mengikuti undang-undang Alloh SWT. Dari zaman Nabi Adam as sampai Muhammad saw, dari sama zaman ke zaman telah diutus rasul dengan undang-undang dari Alloh pada masing-masing zaman. Dan sampailah pada penutupan jabatan nabi dan rasul oleh nabi kita, nabi Agung Muhammad SAW yang diberi kitab yang mulai berupa Al-Qur’an yang di dalamnya terdapat undang-undang atau aturan-aturan atau syara’ untuk umat akhir zaman.
Karena Al-Qur’an bahasanya masih sangat umum maka manusia biasa tidak sanggup menjabarkannya maka perlulah nabi menjelaskannya, karena dia yang paling tahu tentang kandungan Al-Qur’an. Penjelasan itu disebut dengan sunnah nabi atau hadist dari nabi.

Ternyata perkembangan zaman menimbulkan masalah-masalah yang baru perlu di atur oleh agama, tetapi kebanyakan masalah ini tidak ada pada Al-Qur’an dan hadist maka para sahabat menggunakan DalilIjma mereka dan juga Pengiyasan Hukum. Dan ke empat Dalil itulah digunakan sebagai sumber hukum Islam yang disepakati para ulama untuk mengatasi masalah-masalah baru yang timbul dan hasil dari pengambilan hukum itu disebut fikih.Tidak berhenti pada itu saja, ternyata ulama fikih yang dikenal dengan madzab 4 yaitu, Hanafi, Malik, Syafi’i, dan Hambali itu membuat metode dalam pengambilan hukum-hukum Islam. Pada Imam Hanafi terkenal dengan kaidah-kaidah fikihnya dan pada Imam Syai’i terkenal dengan ush fikihnya, walupun keduanya mempunyai kaidah-kaidah fikih dan ush fikih, tetapi mereka mempunyai kelebihan masing-masing. Semua itu dimaksudkan supaya pada masa yang akan datang manusia tidak kebingungan dalam menetapkan suatu hukum pada masalah-masalah yang baru.

Usuh fikih merupakan ilmu yang mempelajari asal muasal hukum yang diambil dari sumber hukum yaitu Al-Qur’an, Hadist, Ijma, Qiyas. Sebagai contoh kenapa sholat hukumnya wajib ? Ushul fikih menjawab : karena sudah jelas di dalam Al-Qur’an terdapat perintah sholat dan ancaman bagi yang tidak melaksanakan. Jika didalam sumber hukum ada perintah untuk mengerjakan dan ancaman bagi yang meninggalkan.

Tetapi apakah ushul fikih mampu berdiri sendiri untuk menetapkan suatu hukum, apalagi zaman sekarang banyak hal-hal yang baru yang perlu dihukumi seperti bayi tabung, tubex tomi, fasex tomi, apakah yang mampu membantu ushul fikih untuk menetapkan suatu hukum ? tentu tidak.
Kalau kita pernah mendengar tentang kaidah-kaidah fikih, maka itulah yang membantu ushul fikih untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru.

Persoaan-persoalan masyarakat dunia, khususnya Indonesia perlu ditanggapi serius oleh pakar agama Islam, sehingga hukum Islam itu dapat menyeimbangi perubahan zaman. Kemudian bagaimana peran kaidah-kaidah fikih pada persoalan tersebut?

A.Substansi Kaidah Fikih

Sebelum melangkah lebih jauh,penulis akan menerangkan tentang sepenggal tentangb substansi kaidah fikih ,yang mana akan menghantarkan kita pada pemahaman yang benar tentang kaidah fikih.Dibawah ini akan di terangkan tentang panca kaidah fikih yang kesemuanya di sepakati oleh seluruh ulama.

1.الامور بمقاصدها
Kaidah di atas menunjukan bahwa di pandang baik buruknya di lihat dari niatnya,untuk lebih jelasnya niat adalah menetapkan sesuatu terhadap apa yang di lakukan.Dan seberapakah pentingnya niat?untuk menjawap pertanyaan di atas maka perhatikan contoh di bawah ini:
Ada dua orang sedang sholat, yang pertama terlihat khusu’, yang kedua terlihat biasa-biasa saja.Tetapi untuk membedakan kualitas sholat mereka berdua,maka harus di lihat masing –masing niat kedua orang itu.Ternyata yang pertama ,ia sholat terlihat khusu’ karena ingin di lihat orang,bukan karena Allah,dan yang kedua,dia sholat memang benar -benar karena Allah,di sinilah pentingnya niat,guna untuk membedakan maksud mereka.

2.اليقين لا يزال بالشك
Kata syak di atas di artikan bahwa ragu-ragu dan keyakinan itu perbandingannya sama,dan syak ini di bedakan dengan dhan,jika dhan itu berat sebelah antara ragu-ragu dengan yakin. Maksudnya adalah ada kalanya ragu-ragu yang lebih kuat,ada kalanya keyakinan yang lebih kuat.
Kaidah di atas dapat di jadikan hujjah kepada perbuatan seorang mukallaf yang mengandung keraguan untuki melakukan sesuatu.Tetapi dalam keraguannya itu tidak berat sebelah. Maksudnya tidak ada yang menguatkan keraguan dan tidak ada yang menguatkan keyakinan.Dan perlu di ingat bahwa kaidah ini di gunakan untuk perbuatan yang mengandung shak.bukan yang lain.Jika perbuatann mukallaf sudah keluar dari yang mengandung shak maka harus menggunakan kaidah yang lain.

3المشقة تجلب التيسير3
Kesulitan memang tidak di kehendaki agama.Dan bukan sifat agama untuk menyulitkan umat.Di dalam AL quran dan hadis telah di terangkan bahwa Alloh itu tidak menghendaki kesulitan untuk hambanya. Terkadang ada kesulitan yang di buat –buat karena kemalasannya .dan iniah yang perlu di hindari dan ini bukan kesulitan yang di maksud oleh kaidah di atas.Kata taysir itu maksudnya adalah sesuatu yang jika di lakukan akan memberatkan bagi mukallaf,bukan karena di buat-buat.
Kesulitan kesulitan inilah yang akan menarik kemudahan yang akan menghilangkan beban yang berat.kemudahn – kemudan ini timbul karena suatu hal yaitu :
Karena terpakasa, lupa, sukar, bepergian, sakit.dan suatu hal yang lain.Inilah bukti bahwa Alloh itu tidak menghendaki kesukaran bagi hambaNYA.

4.الضرر يزال
Inti dari kaidah fikih adalah menarik kemudahan dan menolak keburukan Kaidah di atas bermaksud untuk menolak suatu keburukan yang lebih besar. Dan hukum inilah yang dapat mengubah hukum haram menjadi boleh.Sekali lagi Alloh itu tidak memberatkan hambanNYA.Ada dua tingkatan kesulitan yang di pakai dalam kaidah ini dari kelima tingkatan yang di anggap kesulitan.
Tingkatan kelima yaitu:
1. darurat
2. hajat
3. manfaat
4. zienah
5. fudhul
Yang dapat di gunakan untukkaidah diatas adalah darurat dan hajat. Kenapa demikian?
Karena pada tingkatan pertama menunjukan bahwa jika mukallaf itu tidak cepat mendapat pertolongan maka akan mengkibatkan kematian. Dan padatingkatan yang kedua menunjukan bahwa jika seorang mukallaf itu tidak cepat mendapat pertolongan akan mendapat penderitaan.

5.العادة محكمة

‘Urf ini di bedakan menjadi dua yaitu ‘urf shohih dan ‘urf fasid.Dan yang hanya dapat di gunakan untuk penetapan hukum adalah ‘urf shohih.Adapun syarat - syarat ‘urf:
1.’urf berlaku umum dan dapat di terima oleh seluruh lapisan masyarakat.
2.Tidak bertentangan dengan syara’
Jadi tidak semua kebiasaan itu dapat di jadikan hukum,dan perlu adanya peninjauan terhadap adat – adat yang telah ada.

B. Rumusan masalah
1. Masalah berpakaian dipandang dari kaidah fikih.
2. Masalah bersuci dipandang dari kaidah fikih.
3. Masalah mencari nafkah dipandang dari kaidah fikih.


BAB I
PROBLEMATIKA MASYARAKAT

Telah diterangkan di depan bahwa banyak sekali hal-hal di masyarakat kita yang perlu dihukumi dengan hukum agama. Hal itu dimaksudkan supaya masyarakat tidak bingung bagi yang ingin mengetahui suatu hukum pada masalah-masalah yang timbul dan mengatur masyarakat yang seenaknya sendiri dalam menanggapi masalah agama yang baru.
Di lihat dari realitinya masyarakat zaman ini sudah tidak mengindahkan hukum Islam, seolah olah Islam itu hanya sebuah simbol agama disetiap KTP seseorang. Dalam praktiknya pun pada perinta seperti menjalankan sholat dan wudu terkadang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh guru-guru ngaji, kenapa bisa demikian ?
Masyarkat sekarang cenderung lebih suka pada hal yang bersifat kebaratan, seperti bermain internet, hp dan hiburan-hiburan yang berbau kebaratan. Ironinya zaman sekarang banyak orang yang sudah merasa dirinya pintar dalam hal agama, dia belajar agama hanya membaca buku, lewat radio, lewat televisi dan kaset-kaset tanpa digurukan!

Bukankah itu hal yang barbahaya bagi Islam? Ya, itu benar. Jika kita belajar agama tanpa guru ditakutkan akan menghilangkan ajaran yang murni yaitu ajaran Islam yang sanadnya sampai pada Rosululloh SAW. kecuali orang-orang yang sudah punya dasar tentang agama yang benar-benar dapat dipertanggung jawabkanlah yang boleh mengkaji Islam tanpa bimbingan guru. Atau dengan istilah lain, orang yang sudah bisa berjalan sendiri tidak perlu dituntun lagi.

Kembali pada permasalahan masyarakat kita yang begitu komplek jika dipandang dari panca kaidah fikiyah, maka bagaimana persoalan itu dalam fikihnya ? Masalah-maslah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai beikut :
1. Berpakainan
2. Bersuci
3. Mencari nafkah

A. Bersuci
Tidak semua macam-macam air dapat digunakan untuk bersuci. Walaupun air asalnya tetapi karena suatu sebab maka air itu menjadi najis. Misalnya terkena bangkai dan tercampur zat lain. Sehingga merubah bau,warna dan rasa air itu tidak dapat digunakan untuk bersuci.
Hukum air itu dibagi manjadi 3 :
1. Air suci mansucikan, air ini dapat digunakan untuk bersuci karena masih memenuhi syarat.
2. Air suci tidak mensucikan, air ini dapat digunakan untuk bersuci tetapi masih dapat dipakai untuk selain bersuci.
3. Air musta’mal, air ini adalah air yang telah dipakai, dan air musta’mal dibagi menjadi 3 :
a. Musta’mal Fil Fardi artinya air yang telah dipakai pada basuhan yang wajib. Seperti basuhan muka yang pertama pada wudu. Air ini sudah tidak boleh digunakan lagi.
b. Musta’mal Fin Najis artinya air yang telah dipakai untuk membersihkan najis. Air ini sudah tidak boleh digunakan lagi.
c. Musta’mal Fis Sunah artinya air yang telah dipakai pada basuhan yang sunah. Misal air yang digunakan untuk mengusap muka yang kedua kali pada hal wudu. Air ini dapat digunakan lagi untuk bersuci.

Di bawah ini akan diterangkan tentang bagimana kaidah fikih itu meninjau air.
1. Air Ditinjau dari Segi Kaidah yang Berkaitan dengan Fungsi Tujuannya
Suatu ketika, seorang musafir berada pada padang pasir yang luas dan dia hanya membawa untuk minum beberapa kali saja. Saat perjalanan ia melihat waktu sudah menunjukkan waktu sholat sehingga ia harus berwudu. Setelah mencari kemana-mana ia tidak menemukan air hingga waktu sholat akan habis.
Apa yang harus dilakukan? Apakah boleh menggunakan air yang dibawa itu padahal air yang dibawa sangant sedikit ?
Persoalan di atas ditinjau dari kaidah

“Setiap perkara tergantung pada tujuannya” (Jalahudin Abdul Rahman as Suyuti, TT : 6)
Maka air itu supaya tidak habis dan masih banyak digunakan untuk minum, maka air itu tidak boleh ditumpahkan, maka tangan itu harus dimasukan kedalam kantong minuman itu dengan berniat untuk mengambil air sehingga air itu dihukumi masih suci walaupun sudah terkena tangan.
a. Bersuci dengan air secangkir (Berwudu)
Saat kita berwudu biasanya menggunakan air sumur, sungai dan danau karena air suci lagi mensucikan.

Tetapi ingat!, air yang suci belumlah tentu mensucikan. Kenapa demikian, karena air itu telah bercampur dengan zat lain, sebagai contoh air kopi dan teh, semua itu suci tetapi tidak mensucikan.
Bagaimana dengan kriteria air suci lagi mensucikan ?
1) Air itu air alami (air multak)
2) Tidak bercampur dengan zat yang dapat merubah bau, warna dan rasa.
Kriteria itu ada pada tempat-tempat seperti sumur, sungai, lautan,danau, air terjun, air salju dan sebagainya. Air di atas dapat digunakan untuk bersuci salah satunya adalah berwudu.
Sebelum shalat kita diwajibkan untuk berwudu dan pastilah dengan air pada tempat-tempat di atas. Mungkin pada saat musim hujan air banyak ditemukan dimana-mana, sehingga seorang muslim jika ingin berwudu tidak kesusahan mencari air. Tetapi bagaimana jika pada saat musim kemarau ? Disebagian besar wilayah Indonesia pastilah ada daerah-daerah yang kesulitan mendapatkan air? Bagaimana Islam menanggapi masalah ini ? Jika maslah ini dipandang dari kaidah fikih maka akan masuk pada dalil sebagai
berikut :
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum” (As Suyuti TT: 63)
Dari dalil di atas maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan di atas mendapat keringanan. Tetapi apakah bentuk keringanannya? Apakah tayamum ? buakan, karena pada masalah bersuci ini hanya kesulitan mendapatkan air bukan berarti tidak ada air. Maka apakah yang perlu dilakukan oleh masyarakat ?
Bersuci atau berwudu dengan secangkir diperbolehkan tetapi dengan syarat-syarat pastinya, tidak sembarangan menggunakannya. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana praktiknya.
a. Tata caranya sama dengan wudu biasa, diawali dengan niat dan berakhir dengan tertib.
b. Cara pembasuhannya, air dituangkan ke atas tangan kemudian ratakan ke muka sampai yakin sudah merata. Dan begitu juga dengan tangan, kepala, dan kaki.
c. Pembasuhan cukup dilakukan satu kali karena sedikitnya air.
Itulah keringanan dimana adatnya setiap bulan tertentu terjadi kekeringan disuatu daerah maka dapat digunakan cara seperti di atas.

2. Air Ditinjau dari Kaidah yang Berkaitan dengan Kesulitan
Seorang pendaki gunung tersesat dan berpisah dengan temannya. Saat ia hendak ingin sholat ia tidak menemukan air di sekitarnya. Ternyata di dalam tasnya ia membawa sisa air minum. Pada saat yang bersamaaan ia merasa haus dan kesulitan air untuk berwudu.
Pada contoh no 2 mungkin keringanan yang diberikan karena kesulitan air dapat diterapkan pada masalah ini. Tetapi pada saat ia hendak berwudu dengan air itu, ia merasa sangat haus dan takut akan sakit.

Manakah yang didahulukan ? Berwudu dengan air itu atau air itu digunakan untuk minum ?
Ternyata yang lebih penting adalah menjaga kesehatan, kemudian bagaimana dengan wudunya ? Karena suatu hal yang lebih penting maka wudunya dapat diganti dengan tayamum.

Hal ini ditinjau dari kaidah
“Kesulitan itu dapat menarik kemudahan“ (As Suyuti , TT:55)
Kaidah ini menunjukkan bahwa jika terjadi kesulitan dalah hal ibadah maka kemudahan-kemudahan itu akan diberikan karena agama itu tidak untuk menyusahkan.
Suatu ketika seseorang hendak mengambil wudu dan hendak sholat, tiba-tiba ia kedatangan tamu dari jauh. Sehingga sholatnya ditunda cukup lama. Setelah selesai berbincangia hendak melaksanakan sholat, tapi dalam hatinya ia ragu. Apakah ia sudah wudu atau belum? Maka ia tetapkan bahwa ia sudah wudu.

Apakah dapat dilakukan?
Ditinjau dari kaidah fikih
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan“
(As Suyuti, TT : 7)
Ditinjau dari situ, maka ia sudah dianggap berwudu, karena ia sudah mentetepkan pada hatinya bahwa ia sudah wudu !
Tetapi tiba-tiba tamu itu bertanya, “ Mau kemanakah Anda?”
“Saya hendak sholat”. Jawab si pemilik rumah. Bukankah Anda belum berwudu tegas si tamu.
Jika hal itu terjadi maka apa yang ditetapkan dalam hatinyabahwa ia sudah wudu itu gugur karena ada kabar yang lebih meyakinkan ia belum wudu. Hal ini bersesuaian dengan kaidah fikih sebagai berikut.

“Sesungguhnya sesuatu yang berdasarkan kayakinan, tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yang yakin pula” (As Suyuti, TT: 40)

B. Berpakaian
Berpakaian merupakan hal yang sangat penting, sehingga termasuk kebutuhan primer. Setiap manusia pasti menggunakannya untuk menutup auratnya kecuali orang gila yang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi. Berpakaian merupakan hal yang dianjurkan oleh agama, guna untuk menutupi auratnya. Dalam sholat misalnya, seseorang harus menutupi auratnya saat ia akan sholat sesuai batas-batas yang ditentukan. Baik laki-laki ataupun perempuan.
Fikih memandang cara berpakaian berbeda-beda sesuai dengan keadaan suatu negara, contoh saja di negara Arab, setiap wanita memakai cadar karena laki-laki di sana bernafsu besar terhadap perempuan, karena memakai cadar para lelaki di sana tidak dapat melihat kecantikan wanita itu.
Di Indonesia sudah lain lagi dengan negara Arab. Fikih yang diterapkan kepada para penduduk di Indonesia adalah :
1. Untuk laki-laki bukanlah bahan yang terbuat dari sutera, dan juga bukan baju yang tembus pandang dan batas-batas auratnya adalah dari pusar sampai lutut, dan untuk sholatpun demikian.
2. Untuk perempuan boleh menggunakan sutera dan bukan kain yang tembus pandang dan batas-batasnya adalah sebagai berikut :
a. Untuk wanita mu’min yang tidak bekerja wajib menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan tangan jika berada di luar rumah dan pada waktu sholat pun demikian.
b. Untuk wanita mu’min yang bekerja boleh menggunakan pakaian seperti pekerja laki-laki.
Itulah beberapa penjelasan tentang cara berpakaian dan batas-batasnya dilihat dari segi fikihnya. Tetapi tidak berhenti di situ peninjauan-peninjauan terhadap berpakaian. Jika dipandang dari kaidah-kaidah fikih, bagaimanakah hukumnya ?

Di bawah ini akan diberikan contoh beberapa yaitu :
1. Berpakaian ditinjau dari kaidah yang berhubungan dengan niat
Setiap muslim kebanyakan, baik berpakaian sederhana ataupun mewah hanya dipandang dari segi pantas atau tidak. Sebagai contoh seorang pria yang ingin bertemu dengan kekasihnya, ia berpakaian sangat rapi, wangi dan keren sehingga dapat tampil maksimal. Ia berpakaian seperti itu hanya untuk tampil rapi di depan kekasihnya bukan niat untuk menutup aurat.
Contoh yang kedua, seseorang yang hendak ingin menuju ke masjid berpakaian rapih ditambah sorban + sajadah + tasbih. Sangatlah bagus dipandang dan terlihat seperti orang yang sangat alim. Tetapi dalam hatinya itu, ia berpakaian demikian tidak lain hanyalah untuk memamerkan pakaian yang baru dibeli dari Tanah Abang.
Dari kedua contoh di atas, jika dipandang dari kaidah fikih.

“Setiap perkara tergantung pada tujuannya” (Jalahudin Abdurrahman As-Suyuti, TT: 6)
Dilihat dari kaidah di atas maka berpakaian jika diniatkan untuk menutup aurat, maka setiap orang yang berniat demikian akan mendapat pahala. Begitu pula sebaliknya jika orang berpakaian tidak berniat untuk menutup aurat maka ia tidak mendapat pahala atau bahkan mungkin menjadi dosa karena niat berpakaiannya untuk memamerkan bentuk tubuhnya.
Dilihat dari kaidah di atas maka contoh yang pertama orang tersebut dalam hal berpakaian tidak mendapat pahala karena niatnnya dalam berpakaian untuk tampil maksimal di depan kekasihnya. Dan contoh yang kedua walaupun secara dzohir ia berpakaian untuk sholat tetapi karena niatnya untuk pamer maka ia tidak mendapat pahala. Memang penyakit pamer atau riya inilah yang merusak segala amalan ibadah.
Maka perlu diperhatikan supaya dalam berpakaian itu menjadi ibadah maka perlu pengaturan niat sebelum melakukannya.

2. Berpakaian ditinjau dari kaidah yang berhubungan keyakinan
Berpakaian dikatakan menutup aurat jika pakaiannya merubah bentuk tubuhnya. Maka disarankan dalam membeli pakaian, ukurannya lebih besar dari pada ukuran badannya. Tetapi sekarang ini berpakaian sampai bentuk tubuhnya kelihatan itu adalah hal yang bisa bahkan merupakan sesuatu yang disengaja.
Tetapi saya yakin di luar sana masih banyak orang yang berpakaian karena menolak menutup aurat sebagai bentuk ibadah. Tetapi hanya dengan niat saja apa cukup ? tanpa melihat aspek yang lain.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh di bawah ini.
Ada seseorang ingin pergi kursus, dengan menggunakan pakaian muslim, sebelumnya ia telah berniat untuk menutup auratnya. Tetapi dalam berpakaiannya sangat ketat sampai membentuk tubuhnya yang asli. Tetapi dia yakin sudah benar menutup auratnya.
Jika dilihat dari fikih.

“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan“(As Suyuti, TT:7)
Sebelum ditinjau dari kaidah di atas, maka kita tinjau dari segi kaidah tentang tujuan, maka ia tidak mendapat pahala, karena ia sudah berniat untuk menutup auratnya tidak hanya sekedar berpakaian. Jika ditinjau dari kaidah di atas walaupun ia yakin bahwa ia sudah menutup auratnya dan menganggap perbuatan itu sudah menjadi ibadah tetapi secara kenyataannya ia tidak memenuhi syarat berpakaian, yaitu mengubah bentuk tubuhnya.
Jika ditinjau dari kaidah di bawah ini.

“Sesungguhnya sesuatu yang berdasarkan keyakinan, tidak dapat dihilangkan kecuali dengan yang yakin pula” (as-Suyuti, TT:40)
Maka niat untuk menutup aurat itu gugur. Apa yang mrnggugurkannya ? Telah diterangkan bahwa orang yang menutup auratnya, pakaiannya harus sampai merubah bentuk tubuhnya.
Tetapi karena keadaan di atas pakaiannya tidak merubah bentuk tubuhnya maka dihukumi ia seperti orang yang telanjang. Orang yang telanjang itu adalah orang yang tidak menutup aurat. Sehungga dapat disamakan hukumnya orang yang berpakaian ketat dengan orang yang telanjang. Maka niat orang itu gugur dan keyakinan berpakaiannya untuk menutupi aurat pun gugur, karena suatu sebab yang meyakinkan bahwa berpakainnya tidak merubah bentuk tubuhnya.

3. Berpakaian pada kondisi yang menyulitkan
Di zaman modern ini berbagai bentuk pakaian dan juga macam-macam pakaian sudah tersebar di seluruh dunia. Seseorang yang hendak membeli baju santai ataupun baju olah raga tinggal pergi ke pasar atau pun pakaian untuk sholat. Jika dilihat dari zaman sekarang orang yang membutuhkan macam-macam pakaian sudah tidak kesulitan mendapatkannya.
Tetapi tidak menutup kemungkinan jika seseorang suatu saat kesulitan berpakaian karena suatu keadaan, sebagai contoh :
Seseorang terkena musibah banjir atau kebajkaran sehingga selutuh pakaiannya hilang. Dan pakaian yang dipakai terkena najis, sehingga ia tidak dapat sholat dengan pakaian itu, karena keadaan tetangganya sama-sama pakaiannya hilang karena musibah di atas, ia tidak mungkin meminjam milik tetangganya.
Keadaan ini jika ditinjau dari kaidah fikih.

“Kesulitan itu menarik kemudahan” (as: Suyuti, TT:55)
Maka orang tersebut boleh sholat dengan tanpa busana tetapi ditempat yang gelap. Kenap harus di tempat yang gelap?. Karena kegelapan itu menyebabkan auratnya tidak terlihat dan dapat disamakan dengan berpakaian. Hal ini bisa dilakukan jika waktu Shubuh, Magrib, Isya. Bagaiman jika sholatnya pada waktu Dzuhur dengan Ashar ? maka ia harus mencari pengganti pakaiannya yang terkena najis tadi, karena di waktu siang jarang terdapat tempat yang tidak ada cahaya, kecuali tempat-tempat tertentu yang memang tidak terkena cahaya, seperti gua.

4. Adat berpakaian
Adat adalah suatu kebiasaan yang dilakukan berulang kali oleh suatu masyarakat di setiap daerah. Adat-adat di setiap daerah pastilah berbeda-beda apalagi di wilayah yang sangat komplek di penuhi adat-adat, karena wilayah Indonesia mempunyai beribu-ribu pulau.
Kebiasaan ini dipengaruhi oleh latar belakang kebiasaan nenek moyangnya dan nenek moyangnya lagi. Hal itulah dilakukan sesuai dengan perasaan, pikiran dan pengetahuannya dan juga keadaan lingkungannya.

Karena lingkungan disetiap daerah tidak semua sama maka terbentuklah adat-adat yang berbeda pula, dari segi adat upacara, adat pernikahan dan adat berpakaian.
Di Pulau Jawa misalnya, adat berpakaian sebelum masa modern ini sangatlah jauh berbeda jika dibandingkan dengan sekarang. Dahulu orang sulit untuk mendapatkan pakaian sehingga bagi perempuan cukup satu jarit untuk menutupi tubuhnya dan bagi laki-laki menggunakan celana hanya saja bagi laki-laki itu tidak memakai baju.
Hal ini dihukumi oleh Islam dengan kaidah fikih bahwa, wanita yang berpakaian seperti laki-laki ataupun sebaliknya maka dihukumi haram. Karena hal itu dipandang sudah menyalahi kodrat masing-masing.
Jika melihat zaman sekarang hal di atas berlawanan dengan adat berpakaian abad ini, karena cara berpakaian sekarang antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbea. Jika disamakan dengan keadaan di atas maka hukumnya haram.
Tetapi suatu hukum itu dapat berubah sesuai keadaa, waktu dan tempat. Sehingga keadaan di atas sudah tidak berlaku pada zaman sekarang. Pertanyaannya, bagaimanakah perubahan hukumnya?
Adat berpakaian sekarang jika dilihat dari kaidah fikih.
Maka berpakaian zaman sekarang, karena sudah menjadi adat, maka wanita yang berpakaian aeperti laki-laki diperbolehkan, asal kembali pada niat bahwa berpakaian adalah menutup aurat dan berniat menutup aurat buka untuk meniru seperti laki-laki.

C. Mencari Nafkah
Setiap orang di muka bumi ini baik yang kaya atau yang miskin pastilah membutuhkan makanana dan minuman untuk melanjutkan hidupnya. Setiap hari terlihat orang mencari nafkah dengan berbagai macam-macam cara, sesuai dengan keahlian yang mereka memiliki seperti bardagang, menawarkan jasa, bertani dan sebagainya.
Keinginan terus hidup dan menafkahi orang yang dicintai semisal Istri dan anak-anaknya mendorong setiap orang harus bekerja keras demi tercukupinya kebutuhan hidup mereka. Mendapatkan hasil dari apa yang diusahakan memang membuat hari merasa senang, karean mereka merasa diberi imbalan dari apa yang diusahakan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam mencari nafkah adalah caranya, biasanya karena tergiur dengan hasil yang diperoleh sangat banyak atau bisa membuat kaya mendadak, ada juga orang yang tidak mempedulikan prosesnya. Inilah yang menyebabkan aalan mencari nafkah sebagai suatu ibadah menjadi rusak hanya karena harta yang akan ditinggal mati.
Beribu-ribu orang bahkan berjuta-juta orang di Indonesia pastilah melahirkan cara-cara berbeda-beda dalam mendapatkannya, ada yang melakuknnya denganjujur, ada juga yang melakukannya dengan curang, tanpa memikirkan nasib orang lain. Sebagai orang islam wajib mengikuti aturan- aturan yang ditentukan oleh fiqih, tetapi masih ada juga seorang muslim yang melanggarnya.
Di bawah ini akan dibahas sebagian keadaan manusia khususnya seorang muslim dalam kaitannya mencari nafkah yang perlu ditinjau dari kaidah-kaidah fikih. Yang akan mengasilkan hukum-hukum yang berguna bagi muslim atau muslimah sebagai landasan untuk mencari nafkah.

1. Bekerja yang melalaikan
Bekerja merupakan hal yang setiap hari manusia lakukan. Baik di pagi hari, sore hari, bahkan ada yang sampai larut malam. Jika kita bekerja di suatu perusahaan, standar jam kerja adalah 8 jam sudah termasuk waktu istirahat. Ketentuan ini diatur guna mencapai hasil yang direncanakan. Untuk seorang pekerja, sebaiknya memanfaatkan waktu istirahatnya dengan baik karena hanya diberikan ½ sampai 1 jam saja.

Waktu ini harus dibagi-bagi untuk sholat, makan, dan istirahat sebentar.
Peraturan di suatu perusahaan seperti ini, akan menjadikan pekerja harus sholat pada jam istirahat, karena setelah jam ini, para pekerja harus kembali bekerja sampai batas waktu yang ditentukan. Tetapi orang yang bekerja untuk diri sendiri merasa bebas tanpa dibebani oleh waktu. Ia menginginkan istirahat, makan, bahkan tidur itu diatur oleh dirinya. Hal inilah biasanya yang melalaikan untuk melaksanakan kewajiban.
Sebagai contoh :
Seorang petani yang sedang mencakup sawahnya sendiri, seakan akan ia mau istirahat, makan ataupun pulang terserah dia. Karena merasa bebas, inilah terkadang petani menunda-nunda waktu sholat dengan alasan tanggung, pekerjaannya hampir selesai. Sehingga melewati batas waktu sholat. Hal inilah yang terjadi di sebagian para petani.
Walaupun dalam pekerjaannya berniat untuk mencari nafkah bagi keluarga tetapi sampai-sampai melanggar waktu sholat, dan melanggar waktu sholat adalah termasuk orang-orang yang celaka, sesuai dengan berita yang dikabarkan Al Qur’an pada surat Al Maun ayat 4-5
“Maka celakalah bagi oranng-orang yang sholat (4) yaitu prang yang lalai dalam sholatnya” (QS. Al-Maun 4-5)
Pada kata lalai dapat diartikan orang yang dengan sengaja mengundur- undur waktunya sampai-sampai habis waktu sholatnya. Telah jelas sudah bahwa orang itu telah melanggar waktu sholat dan hukumnya haram.
Bagaimanakah jika persoalan itu di tinjau dalam kaidah fikih?

Jika ditinjau dari kaidah di atas , memang benar petani sudah benar niatnya, tetapi dalam prakteknya sudah bergeser, dan kebenaran. Walaupun petani itu yakin bahwa ia sedang ,mencari nafkah untuk keluarga, tetapi karena nyata-nyata perbuatannya sampai melalaikan sholat, maka gugurlah keyakinan itu maka ibadahnya gugur, dan mendapat dosa. Hal ini dikuatkan lagi dengan kaidah-kaidah fikih sebagai berikut :

“Apabila antara yang haram dan yang halal berkumpul maka dimenangkan yang haram.” (QS-Suyuti : TT : 74)
Di dalam niatnya sudah benar tetapi di dalam pelaksanaannya itu telah melanggar batas, jadi percampuran niat dan pelaksanaan = akibat maka perbuatan itu dihukumi haram.

2. Profesi guru sebagai ladang pekerjaan
Seorang guru dapat dikatakan salah satu dari orang-orang yang muliaAtau k ita sering mendengar guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Mendengar kalimat di atas, mengajak
kita untuk mendengar, meniru, dan menghormati guru, dari dulu sampai sekarang yang bernama guru tetaplah orang yang memberi pengajaran pada murid-muridnya.
Melihat zaman sekarang semakin sempitnya lapangan pekerjaan, semakin hebatnya persaingan, pangkat guru bergeser menjadi lapangan pekerjaan. Ini menjadikan guru yang dulu dianggap mulia sekarang berubah menjadi sebuah profesi pekerjaan saja. Dilihat dari masyarakat umum, hal semacam ini adalah wajar-wajar saja dan hal itulah yang dilakukan oleh seorang guru yaitu mengajar tanpa memikirkan maksud dari tujuan
mengajarnya, tetapi dari segi agama, agama memandang dari yang dzahir sampai yang batin, karena memang kualitas ibadah itu ditentukan oleh niatnya dahulu.
Untuk lebih jelasnya marilah kota melihat contoh di bawah ini.

Ada 2 orang yang hendak melamar di suatu sekolah untuk menjadi guru bahasa Arab. Walaupun sama-sama ingin menjadi guru bahasa Arab, tetapi niatnya belum tentu sama. Si A dalam hatinya bermaksud untuk menyalurkan ilmunya sehingga semua orang mampu mendalami islam secara baik. Si B dalam hatinya bermaksud untuk mencari nafkah karena memang ia dari keluarga yang kurang mampu.
Bagaimanakah kaidah fikih dalam menyikapinya?
Jika dilihat dari kaidah yang berhubungan dengan niat :
Si A akan mendapat pahala karena langkahnya itu sudah termasuk dalam ibadah. Si B akan mendapat pahala juga karena dalam profesinya bermaksud untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Apa yang dilakukan ini dalam ilmu tasawuf disebut maqam asbah yaitu bekerja untuk menguatkan diri dalam beribadah.
Kedua orang di atas sama-sama mendapatkan pahala. Hanya saja tingkatannya berbeda, si A lebih mulia niatnya daripada si B. Seperti halnya solat berjamaah dengan solat sendiri. Walaupun sama-sama sholat tetapi sudah berbeda dalam melaksanakannya, maka seseorang yang ikut berjama’ah dengan yang sendiri itu lebih besar pahalanya.

3. Kesulitan dalam mencari nafkah
Mencari nafkah memang hal yang sulit, do jaman sekarang karena begitu hebatnya persaingan, mungkin inilah yang menyebabkan banyaknya kejahatan seperti merampok, penipuan karena mereka tidak mempunyai pekerjaan, di lain sisi banyak orang walaupun dihimpit kesusahan tetapi tetap berjuang mencari penghidupan dengan cara yang benar walaupun pekerjaannya hanya sebagai pemulung, walaupun hanya sebagai pemulung, pekerjaan ini lebih mulia daripada seorang koruptor yang bisanya hanya menyengsarakan orang lain.
Banyak orang-orang di luar sana masih berjuang sekuat tenaga untuk melangsungkan hidupnya, kisah-kisah nyata yang ditayangkan televisi itu harusnya bisa memotivasi untuk bekerja dengan cara yang halal.
Tapi bagaimana jika di suatu hari seseorang benar-benar tidak mempunyai sesuatu untuk dimakan? Dan berapa hari ia menahan lapar? Haruskah ia mencuri? Mungkin sebagian besar orang yang berada pada kenyataan ini akan melakukan hal kriminal. Bagaimana islam memberi kemudahan sehingga umat islam tidak terjerumus ke dalam kejahatan?
Suatu kisah yang bisa menjadi pegangan saat kita mengalami kesulitan dan tidak mendapat sesuatu yang bisa dimakan, adalah suatu hari sebuah keluarga yang kebutuhan istrinya sedang mengandung dan suaminya sedang tidak mendapat uang sama sekali dan persediaan makan di rumah telah habis. Dan ayam satu-satunya yang ia miliki baru saja matu tertabrak. Apakah boleh ia memasak ayamnya arena keadaan yang darurat?
Dilihat dari kaidah fikih :

Maka kesulitan yang sedang dihadapi keluarga tersebut akan mendatangkan baginya kemudahan, mereka boleh memasak ayam tersebut sampai ia mendapat rizki sedekah keesokan harinya ia mencari pekerjaan dan mendapatkan uang, maka sisa daging ayam tiren hukumnya kembali menjadi haram.
Kejadian ini memang menarik, karena apa? Karena sesuatu yang haram bagi orang tertentu tetapi haram bagi orang lain. Daging ayam yang mereka makan adalah haram bagi keluarga tersebut tetapi haram bagi orang lain. Itulah hukum hukum Islam yang selalu berubah sesuai dengan niatnya.

D. Kesimpulan
Dalam menentukan hukum seorang mujtahid membuat metode tertentu untuk menghasilkan fiqih, dia adalah kaidah-kaidah usul dan kaidah kaidah fiqih. Kaidah kaidah fikih ini digunakan para ulama fikih untuk menentukan suatu perkara yang baru. Permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat yang sangat kompleks menantang para ulama fikih untuk bekerja keras, sehingga hukum Islam dapat mengimbangi perubahan jaman.
Kaidah fikih dalam memandang hal ibadah tidak hanya memandang dzohirnya saja tetapi juga masalah niatnya, yang menjadikan suatu ibadah itu berkualitas atau tidak. Hal yang kita anggap biasa seperti berpakaian misalnya dapat menjadi ibadah jika diniati untuk menutup aurat. Begitu juga hal-hal lain yang dianggap bukan ibadah akan menjadi suatu ibadah sesuai dengan niat individu.

E. Daftar pustaka
Drs. H. Usman Muchlis, MA. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2002

K.H.M. Hadzami Syafi, I. 100 Masalah Agama. Kudus: Menara Kudus.1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar