Akhir tahun 2019 dunia digegerkan dengan munculnya virus corona/covid-19 yang dengan ganas dan cepatnya menyerang ke seluruh penjuru dunia, dan tidak ketinggalan juga Indonesia. Pengaruh
dari maraknya penyebaran covid-19 sebagai upaya pencegahan yang dilakukan oleh
pemerintah adalah dengan melahirkan
kebijakan lockdown. Anjuran untuk dirumah saja yakni bekerja dari rumah,
belajar/proses pembelajaran dari rumah, bahkan beribadah dari rumah ternyata
membawa dampak yang sangat luar biasa dalam kondisi sosial masyarakat.
Dampak
perekonomian yang paling mudah dilihat sehingga yang paling mendapatkan
perhatian dari pemerintah. Dengan analisa data munculnya pengangguran baru,
pendapatan penghasilan keluarga yang menurun, sepinya pasar dari penjual dan
pembeli, melangitnya harga kebutuhan masyarakat dan kelangkaan kebutuhan
masyarakat menjadi dasar dan acuan pemerintah untuk menggelontorkan sejumlah
anggaran baik dari pusat sampai ke daerah bahkan ke desa yang muaranya adalah
untuk mengatasi permasalahan ekonomi dampak dari covid-19.
Pertanyaannya
adalah, apakah masalah ekonomi merupakan satu-satunya dampak atau dampak yang
terbesar dari adanya kebijakan lockdown? Tentu saja secara tegas dapat kita
jawab TIDAK.
Perekonomian
adalah bagian mata rantai atau lingkaran dari dampak lockdown, yang artinya
diluar itu banyak dampak yang terjadi yang mungkin lebih berbahaya dan harus
lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah dan kita semua. Salahsatunya yang
sebetulnya sangat penting dan mendasar namun luput dari perhatian dan sering
terabaikan adalah kekerasan terhadap
anak.
Kebijakan
dirumah saja jika tidak disikapi dengan baik dan diterima dengan penuh
kesadaran, akan berdampak pada rasa kejenuhan dan beban psikologis yang
luarbiasa. Begitu juga kebijakan belajar dari rumah dengan model pembelajaran
online ini juga menjadi permasalahan tersendiri didunia anak-anak. Jika
sebelumnya ada larangan bagi anak-anak agar tidak membawa handphone/ hp ke
sekolah, dirumahpun dibatasi dan diatur saat penggunaan hp, namun sekarang mau
tidak mau anak-anak setiap hari harus selalu pegang hp dan harus selalu online.
Hal ini tentunya disamping permasalahan ekonomi, juga akan menimbulkan
permasalahan baru dalam dunia anak-anak
dan juga orang dewasa.
1. Renggangnya
hubungan antara orangtua dan anak. (Kebijakan yang kontradiksi antara anjuran
dirumah saja yang dengan anjuran itu diharapkan komunikasi antara anak dan
orangtua akan lebih hangat, namun dengan kebijakan bekerja dan belajar dari
rumah, maka justru akan melahirkan kesenjangan dan kerengganngan keluarga)
2. Minimnya
fungsi kontrol orangtua, pembelajaran online selain akan membuka peluang dan
kesempatan bagi anak-anak untuk mengakses semua yang ada di internet, termasuk
konten-konten yang belum layak konsumsi bagi anak-anak. Berawal dari sini-lah
pintu masuk terjadinya kekerasan pada anak.
3. Kejenuhan
awal lahirnya hayalan.
Di rumah saja,
berkomunikasi dengan media sosial, akan melahirkan kejenuhan dan
hayalan-hayalan negatif yang muaranya tentunya berdampak pada rawan kekerasan
(baik kekerasan fisik, psikis maupun kekerasan seksual).
4. Rawan
kecanduan;
Dengan setiap hari dituntut
untuk mengakses materi pembelajaran dan tugas belajar secara terus menerus
selain ada kejenuhan juga akan menjadi beban psikis bagi anak. Sebagai
“refreshingnya” adalah diselingi dengan bermain game. Berawal dari selingan, lama-kelamaan
menjadi kecanduan.
5. Malas
berfikir;
Pembelajaran dengan media
internet (online) ketika mengerjakan tugas kecenderungan anak adalah mencari
jalan pintas/instan. Kemauan untuk mencari sumber referensi akan semakin lemah,
yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana agar mampu menjawab dengan cepat.
Dampaknya anak malas berfikir kritis, ide dan gagasan akan terpendam,
kreatifitas akan terkubur dan tenggelam dalam angan-angan.