Minggu, 30 Maret 2014

Makalah: Peran Pesantren di Indonesia


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filosofi pendidikan pesantren didasarkan atas hubungan yang bermakna antara manusia, ciptaan atau makhluk dan Alloh SWT. Hubungan itu baru bermakna jika bermuatan atau menghasilkan keindahan dan keagungan. Manusia bisa dilihat dalam dua tataran yaitu basyar dan insan. Basyar menunjuk pada segi yang tampak pada manusia baik, pertumbuhan maupun kedewasaannya. Sementara dalam konsep insan terlihat totalitasnya meliputi jiwa dan raga.[1] Potensi manusia adalah jasad, akal, nafsu, ruh dan kalbu. Kemampuan mengatur dan mengarahkan kelima potensi itu memungkinkan manusia tersapa oleh firman-Nya.
Selain aspek ruh manusiawi pelakunya sebagai seorang hamba Alloh SWT dan khalifah-Nya, maka secara kelembagaan ruh pesantren yang serba ibadah itu dijabarkan menurut sifat agama Islam yaitu agama wahyu, agama keilmuan, agama kemanusiaan dan agama kemajuan.[2] Dengan ruh itu mudah dipahami pembelajaran pesantren dan pergumulannya yang selalu terkait dengan kitab-kitab klasik keagamaan, keterbukaan pada masuknya aspek-aspek keilmuan melalui kehadiran madrasah / sekolah dan perguruan tinggi, pemihakan kepada hak-hak asasi manusia warga negara dan kepeloporannya dalam berpikir kritis untuk kemajuan.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimana peran pesantren di Indonesia?

C.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1.      Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia pada semester jurusan S1 PAI di STAINU Kebumen
2.      Untuk memberikan sedikit gambaran tentang kondisi pesantren di Indonesia.
3.      Menambah khasanah budaya bangsa dalam bidang pendidikan.

BAB II
PERAN PESANTREN
Pesantren mengembangkan beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, maka itu adalah pondok pesantren. Pesantren dalam kehidupan di Indonesia mempunyai peran, diantaranya sebagai :
A.    Lembaga Pendidikan
Tidak semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah dan kursus seperti yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya. Keteraturan pendidikan di dalamnya terbentuk karena pengajian yang bahannya diatur sesuai urutan penjenjangan kitab. Penjenjangan itu diterapkan secara turun temurun membentuk tradisi kurikuler yang terlihat dari segi standar isi kualifikasi pengajar dan santri lulusannya.
Pesantren-pesantren dalam rumpun pondok modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, memiliki paket dan jenjang yang khas. Penguasaan kebahasaan dan metodologi menjadi ciri khas rumpun pesantren modern. Sekarang rumpun pesantren Gontor telah beranggotakan 179 pesantren di tanah air.[3] Perkembangan program akan berjalan secara berangsur-angsur seiring banyaknya santri yang telah selesai dari suatu jenjang dan melanjutkan pelajaran ke jenjang selanjutnya. Santri yang lebih senior akan segera mendapatkan tugas membimbing sejawatnya yang lebih yunior. Demikianlah setahap demi setahap tersedia komunitas pembelajar yang dapat menyelenggarakan satuan pendidikan yang utuh dan lengkap.
B.     Lembaga Keilmuan
Pesantren dapat juga sebagai lembaga keilmuan. Kitab-kitab produk para guru pesantren dipakai juga di pesantren lainnya. Luas sempitnya atas kitab-kitab itu bisa dilihat dari banyaknya yang ikut mempergunakannya. Bimbingan menulis menjadi kebutuhan di pesantren sejak lama. Kebiasaan mencatat menjelaskan fakta tentang banyaknya buku kajian keagamaan dan sosial yang melimpah dalam dua dasawarsa terakhir ini di tanah air. Buku merupakan bagian dari tradisi kosmopolitan. Dialog keilmuan yang terjadi melalui buku-buku itu telah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu dan menjadi penanda kosmopolitan pesantren yang justru dibangun dari tradisi kitab kuning. Dengan pengembangan karya ilmiah itu terjadi pembaharuan metodologi kajian Islam di kalangan pesantren apalagi setelah akses untuk belajar di universitas Timur Tengah dan belahan dunia lainnya meningkat sejak akhir abad ke 19. Dalam rentang waktu yang panjang umat islam telah merekam berbagai perkembangan sosial, ekonomi, politik, sosial, budaya dan keilmuan yang mendorong pembaharuan alamiahnya.
C.    Lembaga Pelatihan
Pelatihan awal yang dijalani para santri adalah mengelola kebutuhan diri santri sendiri sejak makan, minum, pengelolaan barang-barang pribadi sampai pada jadwal belajar. Pada tahap ini kegiatan pembelajaran masih dibimbing oleh santri yang lebih senior. Jika tahapan ini dikuasai dengan baik, maka santri akan menjalani pelatihan berikutnya untuk dapat menjadi anggota komunitas yang aktif dalam rombongan belajarnya.[4] Disitu santri belajar bermusyawarah, menyampaikan pidato, mengelola tugas organisasi santri, mengelola urusan operasional di pondok dan mengelola tugas membimbing santri yuniornya.
Pelatihan atau kursus bisa saja berkembang menjadi lembaga pendidikan ketrampilan yang diakreditasi oleh kantor dinas pemerintah, memperoleh pengakuan luas dan menjangkau peserta dari luar pesantren. Pelatihan bisa juga berlanjut jika santri menyediakan waktu di pesantren setamat dari jenjang sekolah atau madrasah tertinggi yang diikutinya. Di sini santri dilatih untuk dapat mengelola lembaga yang diselenggarakan oleh pesantren. Kualifikasi dan tanggung jawab santri akan meningkat sejalan dengan tahap penguasaannya atas standar kompetensi yang diterapkan di lembaga pesantren.
D.    Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
Dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, pesantren pada umumnya benar-benar mandiri dan telah selektif pada lembaga-lembaga penyandang dana  dari luar masyarakatnya sendiri. Jenis pengembangan masyarakat yang lebih menjadikan masyarakat pesantren sebagai pasar bagi produk asing menjadi sorotan tajam. Konsep pengembangan masyarakat pun diganti dengan pemberdayaan masyarakat yaitu yang dapat memperbaiki tata usaha, tata kelola dan tata guna sumber daya yang ada pada masyarakat pesantren. Di dalam pemberdayaan masyarakat itu pesantren berteguh pada lima asas yaitu:
a.       Menempatkan masyarakat sebagai pelaku aktif bukan sasaran pasif
b.      Penguatan potensi lokal baik yang berupa karakteristik, tokoh, pranata dan jejaring
c.       Peran serta warga masyarakat sejak perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, refleksi dan evaluasi.
d.      Terjadinya peningkatan kesadaran, dari kesadaran semu dan kesadaran naif, ke kesadaran kritis
e.       Kesinambungan setelah program berakhir
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren percaya bahwa manusia akan meningkat martabatnya seiring dengan pengetahuan nilai-nilai did alam dirinya. Penanaman atau penumbuhan nilai-nilai dalam pribadi dan masyarakat membutuhkan waktu penyemaian yang tidak sebentar. Menurut Ahmad Mahmudi ada 15 prinsip untuk diperhatikan dalam setiap pemberdayaan masyarakat, yaitu:[5]
1.      Pendekatan untuk meningkatkan kehidupan sosial dengan cara mengubahnya
2.      Keseluruhan bentuk partisipasi dalam arti yang murni
3.      Kerjasama untuk perubahan
4.      Membangun mekanisme kritik dari komunitas
5.      Proses membangun pemahaman situasi dan kondisi sosial secara kritis
6.      Melibatkan sebanyak mungkin orang dalam teoritisasi kehidupan sosial mereka
7.      Menempatkan pengalaman, gagasan, pandangan dan asumsi sosial individu maupun kelompok untuk diuji
8.      Semua orang dimudahkan untuk menjadikan pengalamannya sebagai objek riset
9.      Tindakan warga dirancang sebagai proses politik alam arti luas
10.  Program mensyaratkan adanya analisis relasi sosial kritis
11.  Memulai isu kecil dan mengaitkannya dengan relasi-relasi yang lebih luas
12.  Memulai dengan siklus proses yang kecil
13.  Memulai dengan kelompok sosial yang kecil untuk berkolaborasi dan secara lebih luas dengan kekuatan-kekuatan kritis lain
14.  Mensyaratkan semua orang mencermati dan membuat rekaman proses
15.  Mensyaratkan semua orang memberikan alasan rasional yang mendasari kerja sosial mereka
Dengan perspektif itu, maka pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pesantren tidak menggurui, melainkan menemani masyarakat untuk bertindak menentukan, menemani masyarakat untuk memaknai tindakannya dan menemani masyarakat untuk merangkai makna-makna itu menjadi pengetahuan bersama. Pengetahuan ini akan menjadi bahan bagi masyarakat dan pesantren untuk membenahi diri.
E.     Lembaga Bimbingan Keagamaan
Pesantren ditempatkan sebagai bagian dari lembaga bimbingan keagamaan oleh masyarakat pendukungnya. Setidaknya pesantren menjadi tempat bertanya masyarakat dalam hal keagamaan. Mandat pesantren dalam hal ini tampak sama kuatnya dengan mandat pesantren sebagai lembaga pendidikan. Di bebeberapa daerah, identifikasi lulusan pesantren pertama kali adalah kemampuannya menjadi pendamping masyarakat untuk urusan ritual keagamaan sebelum mandat lain yang berkaitan dengan keilmuan, kepelatihan dan pemberdayaan masyarakat.
Faktor yang mendukung pesantren sebagai lembaga bimbingan keagamaan adalah kualifikasi kiai dan jaringan kiai yang memiliki kesamaan panduan keagamaan terutama di bidang fiqih dan kesamaan pendekatan dalam merespon masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.
Semua itu menjadi pertimbangan bagi sejumlah pesantren untuk menata ulang pembelajaran dengan lebih menekankan dua hal yaitu relevansi akademik dan relevansi sosial kurikulum pesantren. Relevansi akademik menunjuk pada kesesuaian isi kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan di masyarakat dan relevansi sosial menunjuk pada kesesuaian isi kurikulum dengan permasalahan hidup masyarakat.
Untuk menjawab persoalan itu banyak lulusan pesantren mendirikan madrasah, sekolah unggulan, terpadu atau program khusus di perkotaan. Cita-cita kekotaan sengaja ditonjolkan dalam rancangan kurikulum, sarana prasarana, sistem pengorganisasian sumber daya, bahasa pengantar dan pengelolaan simbol, Sebagai lulusan pesantren juga membentuk kelompok-kelompok pengajian yang diorganisasikan lebih rapi di berbagai kota. Dalam kelompok pengajian itu mereka memperoleh kelanjutan kehangatan komunitas tradisional dan pelajaran kepesantrenan yang mereka tinggalkan karena tuntutan pekerjaan mengharuskan mereka meninggalkan daerah asal dan berkediaman di kota-kota.[6]
F.     Simpul Budaya
Pesantren dan simpul budaya itu sudah seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Bidang garapannya yang berada di tataran pandangan hidup dan penguatan nilai-nilai luhur menempatkannya ke dalam peran itu, baik yang berada di daerah pengaruh kerajaan islam maupun di luarnya. Pesantren berwatak tidak larut atau menentang budaya di sekitarnya dan selalu kritis sekaligus membangun relasi harmonis dngan kehidupan di sekelilingnya. Pesantren hadir sebagai sebuah sub-kultur, budaya sandingan yang biasa selaras dengan budaya setempat sekaligus tegas menyuarakan prinsip syari’at. Di situlah pesantren melaksanakan tugas dan memperoleh tempat.
Ukuran baik buruk dan beragam rujukan seni yang berkembang di masyarakat bisa dikenali hubungannya dengan dikembangkan oleh pesantren. Dalam status itu kiai bertindak sebagia salah satu pengatur arus dari masyarakat pesantren dan luarnya atau sebaliknya. Peran itu menempatkan pada keharusan berposisi tengah, menerima lebih banyak informasi memiliki tingkat keterhubungan individual yang lebih tinggi daripada warga lainnya, merekam lebih banyak opsi yang diajukan dalam berbagai pertemuan serta memudahkan masyarakat untuk membangun kembali pengetahuan mereka dalam menjawab persoalan-persoalan yang kadangkala belum ada contoh pemecahannya.
Kemampuan para kiai dalam menggali manfaat dari kemudian lalu lintas barang dan informasi internasional kini dilipatgandakan oleh temuan perangkat elektronik yang menyediakan sumber belajar digital yang segera menjadi perpustakaan raksasa dan bisa tersedia dalam lemari dan meja para santri dalam kemasan perangkat komputer yang semakin kecil bentuknya dan mudah dipindah-pindahkan. Pembelajaran agama tida bisa dilepaskan dari keteladanan guru dalam peragaan dalil-dalilnya berikut bimbingan yang memampukan peserta didik menemukan dan menghayati nilai-nilai agama ke dalam praktik hidup sehari-hari. Pengajaran dan pembimbingan ini memperkuat hubungan antara guru dengan murid yang menjadi cikap bakal terbangunnya komunitas pembelajar. Komunitas pembelajar lebih sesuai sebagai basis bangunan umat dala pandangan pesantren. Kehadiran peantren semakin diperlukan seiring dengan kemudahan-kemudahan yang sebagian telah menimbulkan ketergantungan dan pelemahan kedaulatan masyarakat lokal atas nilai-nilai, pengetahuan, komunitas dan sumber daya mereka. Refleksi atas pengalaman pendampingan untuk mediasi di berbagai daerah konflik memberikan pelajaran bahwa pesantren diharapkan dapat mengembangkan panduan hidup nirkekerasan dalam penyelesaian masalah-masalah konfliktual. Panduan hidup itu tidak menyarankan pilihan sika untuk menghindar dari konflik yang terjadi. Kecakapan untuk berunding, memulihkan hubungan, mediasi, arbitrasi, penyelesaian masalah melalui peradilan dan mengawal masalah sampai ke tingkat legislasi di parlemen kiranya sudah mendesak dimasukkan ke dalam muatan kurikulum pesantren.

BAB III
KESIMPULAN
Pesantren dalam kehidupan di Indonesia mempunyai peran, diantaranya sebagai Lembaga Pendidikan, tidak semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah dan kursus seperti yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya. Lembaga Keilmuan, Pesantren dapat juga sebagai lembaga keilmuan. Kitab-kitab produk para guru pesantren dipakai juga di pesantren lainnya. Luas sempitnya atas kitab-kitab itu bisa dilihat dari banyaknya yang ikut mempergunakannya. Bimbingan menulis menjadi kebutuhan di pesantren sejak lama. Kebiasaan mencatat menjelaskan fakta tentang banyaknya buku kajian keagamaan dan sosial yang melimpah dalam dua dasawarsa terakhir ini di tanah air. Lembaga Pelatihan, pelatihan awal yang dijalani para santri adalah mengelola kebutuhan diri santri sendiri sejak makan, minum, pengelolaan barang-barang pribadi sampai pada jadwal belajar. Pada tahap ini kegiatan pembelajaran masih dibimbing oleh santri yang lebih senior. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, dalam melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, pesantren pada umumnya benar-benar mandiri dan telah selektif pada lembaga-lembaga penyandang dana  dari luar masyarakatnya sendiri. Lembaga Bimbingan Keagamaan, pesantren ditempatkan sebagai bagian dari lembaga bimbingan keagamaan oleh masyarakat pendukungnya. Setidaknya pesantren menjadi tempat bertanya masyarakat dalam hal keagamaan. Mandat pesantren dalam hal ini tampak sama kuatnya dengan mandat pesantren sebagai lembaga pendidikan. Di bebeberapa daerah, identifikasi lulusan pesantren pertama kali adalah kemampuannya menjadi pendamping masyarakat untuk urusan ritual keagamaan sebelum mandat lain yang berkaitan dengan keilmuan, kepelatihan dan pemberdayaan masyarakat. Simpul Budaya, Pesantren dan simpul budaya itu sudah seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Bidang garapannya yang berada di tataran pandangan hidup dan penguatan nilai-nilai luhur menempatkannya ke dalam peran itu, baik yang berada di daerah pengaruh kerajaan islam maupun di luarnya. Pesantren berwatak tidak larut atau menentang budaya di sekitarnya dan selalu kritis sekaligus membangun relasi harmonis dngan kehidupan di sekelilingnya. Pesantren hadir sebagai sebuah sub-kultur, budaya sandingan yang biasa selaras dengan budaya setempat sekaligus tegas menyuarakan prinsip syari’at. Di situlah pesantren melaksanakan tugas dan memperoleh tempat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mahmudi. Prinsip-Prinsip Kerja Participatory Action Research (PAR). Yogyakarta : Insist.

Gerakan Sempalan di Kalanga Umat Islam Indonesia latar Belakang Sosial-Budaya. (Jakarta : Ulumul Qur’an Vol.III No.1, 1992)

http://wordpress.com. Peran Pesantren di Indonesia, diakses tanggal 2 Juni 2011.

KH Abdullah Syukr Zarkasyi,MA. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005).

M Dian Nafi,dkk. Praktis Pembelajaran Pesantren. (Yogyakarta : LKis {elangi Aksara, 2007).

M Quraish Shihab. Wawasan Al Qur’an : Tafsir Maudlu’I atas Perbagai Persoalan Umat, (Jakarta : Mizan, 1996).

Muhsin ‘Abd Al Hamid. At Tarbiyah as Sulukiyah dalam Adib Ibrahim ad Dabbagh, et al, opcit, hlm 75.





[1] M Quraish Shihab. Wawasan Al Qur’an : Tafsir Maudlu’I atas Perbagai Persoalan Umat, (Jakarta : Mizan, 1996), hlm 279.
[2] Muhsin ‘Abd Al Hamid. At Tarbiyah as Sulukiyah dalam Adib Ibrahim ad Dabbagh, et al, opcit, hlm 75.
[3] KH Abdullah Syukr Zarkasyi,MA. Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren. (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005), hlm 161.
[4] M Dian Nafi,dkk. Praktis Pembelajaran Pesantren. (Yogyakarta : LKis {elangi Aksara, 2007), hlm 16.
[5] Ahmad Mahmudi. Prinsip-Prinsip Kerja Participatory Action Research (PAR). Yogyakarta : Insist.
[6] . gerakan Sempalan di Kalanga Umat Islam Indonesia latar Belakang Sosial-Budaya. (Jakarta : iUlumul Qur’an Vol.III No.1, 1992), hlm 16.

Sabtu, 29 Maret 2014

Kultum: Hijab (penutup) hati


Sahabatku, mari kita kenali 7 (tujuh) hijab/penutup hati agar kita dapat menjauhinya:
  1. "Azzunub", tumpukan dosa tanpa diiringi dengan kesungguhan bertaubat
  2. "Alwasikh" banyak makan dan minum haram
  3. "Aljahlu" sangat pintar ilmu dunia tetapi bodoh dan malas belajar Islam
  4. "Alhawa tutbau" Nafsu yang diperturutkan terus menerus, seperti minum air laut yang kesannya menghilangkan dahaga
  5. "Hubbuddunya", terlalu cinta dunia sehingga tidak peduli lagi halal dan haram
  6. "Alzhulmu" banyak orang yang telah disakiti
  7. "Asysyaithoonu rookibuhu" karena semua hal-hal tersebut diatas (1 s/d 6), maka dengan mudah syetan menundukkannya sampai tidak sadar manusia itu dalam kesesatan (QS 7:175).   (Islam itu Indah)