Senin, 16 September 2013

Panduan bagi Pendamping Anak

Komunitas Pemerhati Anak Karanggayam bersama Pendamping anak Padureso, Forum Pelangi dan Pendamping Anak Mirit, bertempat di Benteng Vanderwijck gombong menyelenggarakan diskusi serial membahas tentang Penyusunan Buku Panduan Pendamping Anak.Kegiatan yang difasilitasi oleh Plan Indonesia PU Kebumen.
Suranto (CTA-CR) Plan Kebumen dalam pengantarnya mengatakan, bahwa yang melatar belakangi Penyusunan Buku Panduan bagi Pendamping Anak, adalah adanya kebingungan bagi para pendamping ketika proses pendampingan dengan kelompok anak di masing-masing desa. Hal itu disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, dan belum adanya panduan sebagai acuan bagi para pendamping ketika mendampingi anak. Disisi lain sebagai pendamping dituntut kreatif dan inovatif dalam mendampingi anak sehingga anak-anak termotivasi dan tidak jenuh. Mardiadi selaku koordinator penyusunan buku panduan menambahkan, Kaitannya dengan drafnya berharap tidak hanya modul yang umum tetapi lebih mengerucut ke tekhnis, baik tentang etika, sikap dan hal-hal yang berkaitan seorang pendamping sampai dengan media yang digunakan, termasuk pemahaman tentang fasilitator dengan pendamping kelompok anak.Pendamping Anak dan Kelompok Anak memang harus mempunyai keahlian khusus, hal itu disebabkan tingkat emosional dan kepribadian anak sangat variatif dan masih sangat labil. Penyabar, santun, pantang menyerah, mau membangun komunikasi setiap saat dan uswatun hasanah harus selalu dipegang teguh oleh para Pendamping anak.
Dengan adanya buku panduan pendamping anak nantinya bisa membantu bagi para pendamping kelompok anak atau stakeholders peduli anak dalam menfasilitasi kegiatan yang ramah anak dan tidak menjenuhkan,,, mudah-mudahan.

Desa Siaga

Dalam rangka meningkatkan kesadaran pentingnya kesehatan dan kepedulian terhadap sesama, Pemerintah Desa Logandu bekerjasama dengan Puskesmas Karanggayam II mengadakan sosialisasi dan pencanangan tentang Desa Siaga. Kegiatan yang dibuka oleh Sarlan Kepala Desa Logandu dan menghadirkan narasumber dari Puskesmas Karanggayam II itu diharapkan membuka wacana baru tentang arti pentingnya kesehatan. Gunawan, SKM Kepala Puskesmas Karanggayam II mengatakan, Pengertian desa siaga adalah suatu kondisi masyarakat tingkat desa/kelurahan yang memiliki kesiapan sumber daya potensial dan kemampuan mengatasi masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri.
Tujuan Umum Desa Siaga adalah :
Mengembangkan kepedulian dan kesiapsiagaan masyarakat desa dalam mencegah dan mengatasi masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri untuk mewujudkan desa sehat.
Sedangkan Tujuan Khususnya adalah :
a) Optimalisasi peran PKD atau potensi sejenis dalam pemberdayaan masyarakat dan mendorong pembangunan kesehatan di desa serta rujukan pertama pelayanan kesehatan bermutu bagi masyarakat.
b) Terbentuknya FKD yang berperan aktif menggerakkan pembangunan kesehatan ditingkat desa
c) Berkembangnya kegiatan gotongroyong masyarakat untuk mencegah dan mengatasi masalah kesehatan, bencana, dan kegawat daruratan kesehatan
d) Berkembangnya upaya kesehatan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan oleh masyarakat.
e) Berkembangnya pemanfatan dan pemantauan oleh masyarakat dalam deteksi dini, kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan terhadap masalah kesehatan, bencana, dan kegawat daruratan kesehatan.
f) Berkembangnya kemandirian masyarakat dalam pembiayaan kesehatan

Empat pilar dari Desa siaga adalah :
a) Gotong royong
b) Upaya kesehatan
c) Pengamatan dan pemantauan (surveilans)
d) Pembiayaan
Kegiatan sosialisasi dan pencanangan desa siaga diakhiri dengan pembentukan FKD (Forum Kesehatan Desa) dan penyusunan Program FKD.Dengan pencanangan Desa Siaga diharapkan masyarakat sehat 2012 bisa terwujud.

PROFIL KELOMPOK ANAK CHILD AL HABIB

Nama : Kelompok Anak “CHILD AL HABIB”
Alamat Sekretariat : Desa Logandu, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen Jawa Tengah
Tahun berdiri : 01 Agustus 2007
Pendiri : KPA (Komunitas Pemerhati Anak)

VISI :
“Terbentuknya generasi yang cerdas, berkualitas dan berakhlaqul karimah”

MISI
1) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang hak-hak anak
2) Menjalin komunikasi dan koordinasi dengan stake horders yang peduli anak
3) Menumbuh kembangkan kreativitas anak sesuai dengan bakat dan potensinya
4) Menumbuhkan kesadaran pentingnya berorganisasi
5) Mewujudkan partisipasi anak dalam pengambilan kebijakan

PROGRAM KERJA YANG SUDAH DILAKUKAN :
1) Pertemuan Rutin bagi pengurus dan anggota minggu pertama setiap bulan sekali
2) Bekerjasama dengan Pengurus KPA melakukan Sosialisasi KHA dan UU No. 23 Tahun 2002, bagi kelompok anak
3) Penguatan organisasi
bekerjasama dengan stakeholders peduli anak baik ditingkat eksekutif maupun dengan NGO, CBO mengadakan pelatihan-pelatihan dan study visit anak bagi pengurus dan anggota kelompok anak.
Diantara pelatihan yang telah dilakukan adalah :
a. Keorganisasian
b. Latihan Dasar kepemimpinan
c. Jurnalistik baik yang berupa media cetak, maupun elektronik
d. TRIAD KRR (seksualitas, HIV/Aids, Napza)
e. Tekhnik komunikasi
f. Theatre
g. Pembuatan film documenter
Sedangkan untuk study visit yang sudah dilakukan antara lain:
a. Kunjungan belajar ke Pendidikan alternative Qoryah thayibah, salatiga 2 kali
b. Radio Anak Jogja
c. Antar kelompok anak tingkat kabupaten (Kompak, KAMI, dll)
4) Menyuarakan Hak-hak anak melalui workshop dan lokakarya anak tingkat Kabupaten Kebumen dan unggulannya adalah dengan menerbitkan Majalah anak D’star
5) Mengadakan event anak ;
- Pentas seni dan budaya
- Lomba lukis dan mewarnai
- Lomba pidato
- Lomba menulis surat untuk bupati, dll
6) Diskusi dan dialog ;
- Diskusi keagamaan, seputar masalah anak dan remaja
- Diskusi tentang Remaja dan permasalahannya

Note : ingin tahu lebih lengkap hubungi email kami! babehmardiadi@gmail.com

Minggu, 08 September 2013

Paguyuban Kelas

Perjuangan relawan pendidikan: Meretas Batas Sekolah melalui Paguyuban Kelas

Nyonya Jemi tak lagi khawatir perihal proses belajar mengajar anaknya di SD Penimbun, Kecamatan Karanggayam, Kebumen. Jemi juga tak perlu waswas apabila anaknya yang saat ini duduk di bangku kelas 6 nakal atau membolos sekolah di luar pengawasannya.
Kini, sekolah semakin terbuka bagi dirinya dan masyarakat dengan keberadaan paguyuban kelas. Hubungan komunikasi yang terjalin searah antara wali murid dan sekolah menjadikan informasi seolah berada dalam genggaman masng-masing wali murid. Paguyuban sendiri merupakan komunitas yang anggotanya terdiri dari orang tua atau wali murid dan wali kelas. Dari forum ini, semua informasi mengenai aktivitas murid mulai dari saat berada di sekolah hingga pulang, disampaikan langsung oleh pihak sekolah kepada wali murid.
Nyonya Jemi mencontohkan, dulu ia kesulitan memantau perkembangan si anak, apakah nakal atau tidak saat di sekolah. Pertanyaan lain, apakah anaknya juga mengikuti pelajaran dengan baik atau tidak? Setelah paguyuban kelas berdiri, kalau anaknya yang tidak mengikuti pelajaran dengan baik, dia bisa mendapatkan informasi langsung dari sekolah. "Kan semua orangtua mengikuti. Kami benar-benar tahu, tidak asal dituduhkan, " ujar Jemi, wanita paruh baya, di sela-sela mengikuti rapat paguyuban kelas 6 di salah satu ruang kelas SDN Penimbun, 2 Februari 2013 silam.
Selain Nyonya Jemi, dalam cuaca siang yang cukup panas itu, acara juga dihadiri puluhan wali murid anggota paguyuban kelas yang memenuhi ruang pertemuan. Rapat berjalan dengan lancar dan komunikatif. Interaksinya hidup. Ada tanya jawab antara pihak sekolah dan para wali murid.
Saat pertemuan paguyuban kelas itu, para wali murid diajak oleh pihak sekolah untuk juga mengawasi anak-anak saat di rumah. Salah satu poin penting, agar anak-anak benar-benar bisa mengikuti pelajaran yang disampaikan sekolah. "Kalau ada anak yang tidak mengikuti, mohon kami diberitahu. Biar bisa memantau juga di rumah," kata Jemi yang berharap kegiatan positif ini bisa berlangsung dan akan terus mendukung.
Jemi mengakui, memang ada juga beberapa wali murid yang kurang mendukung kegiatan ini. Hal ini terbukti dengan tidak hadirnya beberapa wali murid saat pertemuan. Meski demikian, apabila ada informasi baru, para wali murid yang hadir selalu getok tular kepada orang tua lain yang tak hadir tersebut.
"Kalau betul-betul tidak sibuk, mereka aktif kok. Karena sekarang kan musim panen, jadi lagi sibuk panen. Tidak semua bisa hadir," ujarnya.
Secara umum, perbedaan komite sekolah dan paguyuban kelas tidak begitu jauh. Komite sekolah berfungsi sebagai mediator antara sekolah dan masyarakat. Juga, sebagai pengontrol dan pengawas. Tetapi, paguyuban kelas, lebih pada peran serta masyarakat yang ikut membantu dalam kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah.
Secara pengakuan, komite sekolah sudah resmi diakui sebagai mitra sekolah. Kalau paguyuban kelas ini murni atas inisiatif masyarakat. Tidak pernah memikirkan apakah itu keharusan atau tidak. Tapi, benar-benar atas inisiatif masyarakat untuk perlu tahu tentang kondisi sekolah.
Berjalannya paguyuban juga tidak mulus. Pernah juga mengalami mati suri hingga satu tahun. Kepala SD Penimbun, Wagino SPd mengisahkan, paguyuban kelas di sekolahnya dimulai pada tahun 2010. Setelah itu mati suri. Sudah ada tetapi kegiatannya tidak berjalan bahkan setahun tidak berjalan. "Tetapi alhamdulillah setelah Plan PU Kebumen menggugah lagi, tahun sekitar awal 2011, paguyuban antusias lagi," katannya.
Pada minggu pertama tiap bulan, tepatnya hari Sabtu anggota berkumpul di sekolah. Masing-masing wali kelas mengampu paguyuban kelas. Misalnya, wali kelas 1 mengampu paguyuban kelas 1. Yang paling intens adalah kelas tinggi, seperti kelas 5 dan kelas 6.
Mulai tahun 2012, wali murid yang tergabung dalam paguyuban kelas mengajar anyaman pandan buat siswa. Sebab, di SDN Penimbun anyaman pandan adalah muatan lokalnya. Selain itu, ada juga wali murid yang mengisi apabila bapak/ibu berkepentingan. Misalnya, saat ada pertemuan Kelompok Kerja Guru (KKG), pihak sekolah akan memberitahu komite sekolah bahwa sekolah akan mengadakan KKG.
Kemudian, dia meminta komite sekolah agar mengisi kekosongan waktu dengan belajar anyaman dan kegiatan lainnya. "Siswa pun tidak rugi. Guru tetap bisa KKG, wali murid mengajar muatan lokal, anak-anak tetap punya kegiatan," ujar pria kelahiran Kebumen, 15 Oktober 1963 ini.
Menurut Wagino, dasar mendirikan paguyuban ini yakni mengenai kebutuhan sekolah, apabila ada informasi terkait sekolah bisa kita sampaikan, baik itu mengenai pelajaran atau informasi yang lain. Sehingga, wali murid menerima informasi itu dengan sejelas-jelasnya dan mau menerima. Tidak setengah-setengah. Memang sekarang luar biasa kemajuannya.
Dia mengisahkan, dahulu wali murid malu ke sekolah untuk menyampaikan uneg-uneg di hati. Sebelum ada paguyuban, biasanya hanya lewat bapak/ibu guru. Misalnya, dari kepala sekolah menyampaikan ke guru ke siswa. Kalau sekarang bisa lewat paguyuban, bisa juga langsung lewat anak, kalau ada kegiatan. Kini, malah wali murid tanpa takut ke sekolah untuk bertanya kejelasan informasi, misalnya saat studi tour siswa ke luar daerah.
"Hal ini mengurangi su’udzon masyarakat kepada sekolah. Itu yang kami tangkap. Betul-betul luar biasa. Terus kalau ada apa-apa, cepat bisa diatasi," paparnya.
Paguyuban kelas juga bermanfaat besar bagi sekolah. Pasalnya, semua informasi yang diterima dari atasan, bisa disampaikan dengan cepat. Contohnya, saat akan ujian nasional (UN). Saat UN banyak wali murid yang ingin segera mengetahuinya. Untuk yang kelas rendah, misalnya berkenaan dengan BOS, bisa disampaikan lewat paguyuban. Sehingga semua informasi cepat diterima wali siswa. "Itu manfaat yang luar biasa. Setidaknya, informasinya tidak keliru. Karena kadang anak menyampaikannya secara parsial atau tidak tepat," katanya.
Sejarah terbentuknya paguyuban awalnya dimulai dengan SD Penimbun yang masuk dalam gugus sekolah. Satu gugus terdiri dari SDN Kajoran 1, SDN Kajoran 2, dan SDN Penimbun. Diadakan semacam studi banding ke SD 2 Wonokriyo, Gombong, Kebumen. Di sana itu oleh Ibu Pembina diberi penjelasan Paguyuban Kelas itu seperti ini prosesnya. Diawali dengan penataran kemudian dilanjutkan dengan studi banding. Peserta tidak hanya perwakilan guru dan kepala sekolah tetapi juga beberapa wali murid.
Hambatan utama dalam program paguyuban sekolah ini menurut Wagino adalah pekerjaan warga. Mayoritas wali murid bekerja sebagai petani, sehingga pada waktu akan paguyuban tidak bisa berangkat karena warga ke sawah untuk bertani. "Sebenarnya kalau tidak ada kegiatan panen, banyak yang antusias datang," ujar Wagino yang menyatakan bahwa apabila ada yang tidak datang dimaklumi karena masing-masing orang punya kegiatan sendiri-sendiri.
Terkait proses, awalnya, Plan PU Kebumen menyelenggarakan pelatihan “Peran Serta Masyarakat di Sekolah”. Setelah itu, barulah melakukan studi banding. Setelah itu, masing-masing pengurus membentuk paguyuban di masing-masing kelas. Ada ketua, sekretaris, dan bendahara. Tiap tanggal 3 tiap bulan anggota masing-masing paguyuban kumpul untuk arisan. "Sampai sekarang masih eksis. Ini semua murni inisiatif paguyuban. Sekolah tidak ikut-ikutan," katanya.
Wagino mengaku bangga dengan suksesnya paguyuban kelas di sekolahnya. “Saya tidak sombong, di SD lain ada paguyubannya, tapi di SD ini yang masih tetap berjalan sampai sekarang. Di sini paguyubannya sangat antusias.”
Wagino mempunyai tiga harapan terkait keberadaan paguyuban sekolah ini. Pertama, paguyuban ini mampu meningkatkan prestasi siswa. Kedua, sekolah (guru) dan masyarakat (wali murid) bisa semakin dekat dan Ketiga, informasi cepat tertangkap oleh wali siswa.
Terbukti, beberapa siswanya berprestasi di tingkat daerah. Dia menyebut, baru-baru ini, kegiatan anyaman yang dirintis oleh paguyuban kelas berhasil menyabet juara 2 lomba anyaman di tingkat kecamatan Karanggayam. Selain itu, juga menyabet juara 1 Mocopat serta 9 besar nilai UN tingkat kecamatan.
"Harapan kami, prestasi terus meningkat. Masyarakat juga kian tinggi partisipasinya. Kami terbuka. Yang penting kami tidak menyalahgunakan. Peran masyarakat luar biasa," tandasnya.
Ketua Komite Sekolah SDN Penimbun, Warsidi menambahkan, kekurangan program ini, terletak pada persoalan administrasi. Menurutnya, di tiap kelas sudah ada pengurus paguyubannya. "Nah, saya sarankan agar para pengurusnya membuat administrasi. Administrasi yang tertib itu sangat penting," ujar pria kelahiran Kebumen, 25 Agustus 1968 ini.
Selama ini, Warsidi telah berupaya memfasilitasi pengisian administrasi. Misalnya, dana pengeluaran tiap kali pertemuan. "Inilah yang mulai tertib belakangan ini. tidak acak-acakan," imbuhnya.
"Jadi, kalaupun dari pihak guru tidak ada yang hadir, setidaknya salah satu anggota komite ada di situ memfasilitasi paguyuban dan Memantau di situ," katanya. Menurut Warsidi, agar paguyuban ini berjalan dengan baik setiap ada kegiatan juga dihadirkan anggota komite untuk memberi pelatihan.
Apa yang dilakukan SDN Penimbun, ternyata juga berdampak pada sekolah lain. Beberapa sekolah juga tertarik mengembangkan program ini di masing-masing sekolahnya. Di antaranya, sekolah-sekolah di Desa Kajoran, Logandu, Karangmojo, dan Kalirejo. "Masalah perjalanan masing-masing paguyuban kelas di SD itu saya kurang tahu. Pada awalnya, ada komunikasi antarpaguyuban. Sekarang sudah berkurang," ujarnya.

Berjuang Agar Anak Desa Tak Telantar

Perjuangan seorang kawan,

Cita-cita Rodiyah menjadi guru kini sudah tercapai. Meski hanya lulusan SMP, ia bekerja keras untuk mengelola TK Penimbun di Kecamatan Karanggayam Kebumen sejak tahun 2005. Karena harus berjuang menjadi guru TK, Rodiyah pun melanjutkan sekolah kejar paket serta kuliah di Universitas Terbuka (UT).
Semua berawal pada saat Plan mulai berperan dengan menginisiasi pendirian TK untuk pembelajaran anak-anak di Penimbun. Plan sendiri masuk ke Penimbun pada tahun 2003. Setelah Plan memberikan pelatihan dan pengenalan untuk merencanakan pendirian TK, dua tahun kemudian, tepatnya pada 10 Januari 2005, TK Penimbun sudah mulai diterapkan pembelajaran. Ada dua guru yang mengelola, yakni Rodiyah dan Sarmi.
Karena belum punya gedung, TK menempati rumah salah satu penduduk. Kondisinya pun seadanya. Kala hujan, genting rumah bocor di sana-sini. Setahun kemudian, tepatnya pada Januari 2006 Plan membantu pembuatan gedung. Lahan untuk pembangunan TK itu wakaf dari salah satu warga.
Sejak dulu, guru TK Penimbun hanya ada dua. Tapi, hanya Rodiyah yang tak pernah ganti. “Guru yang lain sudah ganti tiga kali,” kata Rodiyah di sela-sela aktivitas mengajarnya, 2 Februari 2013 silam.
Bu Sarmi berhenti karena sakit. Selama enam bulan ia harus kontrol rutin karena sakit flek di paru-paru. Ia pun mengundurkan diri karena merasa kurang nyaman saat dekat dengan anak-anak. Guru kedua, pengganti Sarmi, juga pindah ke Kalimantan. Guru ketiga yang kini menemani Rodiyah.
“Kebetulan saja saya di sini terus. Tidak punya tempat lain,” kata Rodiyah. Sebab di desanya sangat sulit mencari pengajar di TK karena memang harus benar-benar ikhlas.
Sempat Bekerja Sebagai Buruh
Sebelum menjadi pengajar TK, Rodiyah sempat membanting tulang menjadi buruh. Ia pernah menjadi buruh pabrik sepatu di Jakarta pada 1996-1998 selama dua tahun dengan gaji Rp 60 ribu per bulan. Rodiyah juga pernah bekerja di konveksi di Pademangan Jakarta. Karena tidak punya kemampuan menjahit, ia bekerja di bagian packing, mengantar barang ke toko dan pemesan. Di pabrik konveksi, Rodiyah bertahan hingga empat tahun. Setelah itu, ia pulang ke Kebumen dan menikah.
Proses Rodiyah menjadi pengajar pun terbilang singkat. Kala itu, Plan menantang warga: jika didirikan TK ada tidak warga yang mau menjadi pengajar. Kebetulan Rodiyah saat itu hanya menjadi ibu rumah tangga. “Dari pada bengong di rumah mending jadi guru. Apalagi saya juga pernah punya cita-cita jadi guru,” kata perempuan kelahiran di Kebumen, 22 Juli 1980 tersebut.
Setelah mendapatkan izin keluarganya, Rodiyah pun tekun untuk menjadi guru TK. Dia mengikuti berbagai pelatihan yang diberikan Plan. “Saya benar-benar dari nol. Fasilitator dan narasumbernya dari Plan adalah orang-orang yang kompeten di pendidikan TK. Saya merasa tiba-tiba tahu lebih banyak,” kenang Rodiyah.
Karena menjadi guru, Rodiyah pun tertantang untuk meningkatkan kualitasnya. Maklum, ia cuma lulus SMP. Sempat sekolah SMA tetapi keluar. Pada 2008, ia melanjutkan sekolah SMA melalui kejar paket. Lulus kejar paket ia pun mendaftar di Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Terbuka di Purwokerto. Kini, ia baru semester enam. Tiap hari minggu ia harus meluncur ke Purwokerto untuk kuliah.
Awal-awal menjadi guru, Rodiyah mengakui banyak hambatannya. Apalagi, ia harus menghadapi warga desa yang belum sadar pentingnya pendidikan. Kata dia, ada warga yang meremehkan sekolah TK. “Buat apa sekolah TK,” kata Rodiyah menirukan salah satu ucapan warga.
Karena pendidikan Rodiyah saat itu masih minim maka ia pun merasa kesusahan. “Sempat mengurangi kepercayaan diri saya,” kata dia. Dengan ketekunan, Rodiyah menghadapi itu semua. Pelan-pelan ia memberi pemahaman ke warga akan pentingnya pendidikan untuk anak. Bersama perangkat desa dan guru sekolah dasar, Rodiyah melakukan sosialisasi terus menerus. Ada kerjasama dengan guru SD untuk sosialisasi ke wali murid mengenai urgensi pendidikan anak usia dini.
Ada juga pertemuan guru SD, kepala SD, komite dengan wali murid. “Katanya setelah ada TK, hasilnya bagus untuk anak SD. Anak mengerti bagaimana sekolah, belajar, dan berkawan,” papar Rodiyah.
Sekarang wali murid dan masyarakat juga sudah sangat mendukung keberadaan TK. Jika TK butuh apa-apa, masyarakat berinisiatif turun tangan. Pada saat tanah di belakang TK berpotensi longsor, warga berinisiatif memperbaikinya.
Kurikulum Berbasis Desa
Soal pembuatan kurikulum, Rodiyah memakai panduan dari kabupaten. Pada saat kurikulumnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), TK menerima kurikulum yang sudah jadi. Setelah itu, kurikulum diganti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan sistem semua pelajaran dibuat sendiri disesuaikan dengan lingkungan sendiri.
Ia mencontohkan, karena TK di desa maka ada pembuatan bahan ajar berbahan alam. Beberapa waktu lalu, anak-anak TK diajak menanam padi bersama para petani. Juga ada penanaman jagung dan kacang di halaman belakang TK. “Potnya pakai bekas gelas kemasan. Karena desa kami juga dekat dengan pertanian,” kata Rodiyah.
Di TK Penimbun ada lima bidang pengembangan, yakni bahasa, moral emosional, kognitif, seni, dan kemandirian. Masuk mulai dari hari Senin hingga Sabtu pukul 07.30 hingga 10.00 WIB, Rodiyah kadang menambah ekstra sedikit berupa baca Iqro, menari, dan drum band. Alat drum band ini merupakan bantuan dari Plan PU Kebumen.
Karena sudah lama beroperasi, alat-alat permainan di TK Penimbun pun sudah aus. “Mainan-mainan dari besi perlu dicat ulang biar tidak berkarat dan aman bagi anak,” tutur Rodiyah. Kamar mandi yang posisinya miring juga perlu disangga dengan balok kayu. Tapi karena belum ada dana maka perbaikan belum dilakukan.
Maklum, sumber dana di TK Penimbun sangat minim. Ada sumber dana dari bantuan desa serta sumbangan komunitas perantauan. “Tapi jumlahnya sangat sedikit,” kata Rodiyah.
TK Berbiaya Murah
Sumber pendanaan lainnya dari wali murid. Itu pun sangat sedikit. Sebab, wali murid hanya dibebani membayar SPP saja. Ia membandingkan di TK lain biasanya kalau ada kegiatan maka akan memungut biaya dari wali murid. “Kalau kami tidak. Hanya mengandalkan anggaran satu tahunan itu saja. mau ada lomba atau tidak, tetap disiasati dari TK,” ujarnya.
Honor untuk pengajarnya sendiri dari SPP. Rodiyah mengaku sempat masuk di bagian Kesra di Pemda Kebumen. Tapi tahun 2012 ini dibatalkan (dicancel). Dari 23 guru di Kecamatan Karanggayam, sebanyak 13 guru dibatalkan. “Katanya sih ada pengurangan kuota. Tapi kami juga tidak menanyakan lebih jauh. Mungkin memang belum rezekinya. Kecuali ada upaya lain dari Diknas,” kata Rodiyah.
Rodiyah juga mengkritik adanya diskriminasi antara TK dengan Pendidikan Usia Dini (PAUD). Saat ini, kata Rodiyah, PAUD sedang digalakan pemerintah. Akibatnya, TK agak ditelantarkan dan jarang dilirik lagi. “Kalau PAUD bikin proposal kegiatan, sering digolkan,” kata Rodiyah.
Tetapi, Rodiyah merasa masih sangat beruntung. Sebab, warga dan komite sekolah sangat mendukung keberadaan TK Penimbun. Jika TK ada kekurangan, komite langsung bergerak. Ia mencontohkan, pada saat TK kekurangan guru maka komite melobi dari rumah ke rumah mencari guru. Karena tak mendapatkan gaji memadai, tak banyak warga yang mau menjadi guru.
Rodiyah belum punya rencana ke depan untuk pengembangan TK-nya. Kini, Rodiyah hanya punya satu harapan: TK yang ia kelola bisa tetap berjalan, tidak berhenti beroperasi. “Sehingga anak-anak desa tidak telantar,” kata Rodiyah.

Peraturan Desa tentang Batas Desa

Cerita dari seorang kawan:
Berharganya Tiap Jengkal Tanah Desa

Ukur-mengukur tanah di Desa Penimbun itu seru! Di balik aktivitas berbau teknis itu, tersimpan cerita menarik dari para pelakunya. Mereka memang bukan petugas ukur tanah, hanya warga biasa. Mungkin itu pula yang membuat pengalaman mereka jadi tak terlupakan.
Salah satu warga Desa Penimbun yang bersedia membagi kisahnya adalah Haminah. Perempuan kelahiran 5 Mei 1977 ini memang aktif di desa. Ia tidak hanya menjadi pegiat Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD), tapi juga tergabung bersama 3 perempuan dan 11 laki-laki dalam Tim Penyusun Perdes Partisipatif Batas Desa. Tim ini terdiri dari unsur perangkat desa dan lembaga desa.
Pembuatan Perdes Partisipatif Batas Desa ini dipicu oleh adanya sengketa tanah gege di perbatasan desa antara Penimbun dan Ginandong. Tanah gege adalah tanah peninggalan zaman pemerintahan Belanda. Ketika Indonesia merdeka, status tanah tersebut milik pemerintah Indonesia. Namun, tanah tersebut justru dimiliki oleh perseorangan. Sengketanya sudah berlangsung lama. Teredam sesaat, kemudian muncul lagi. Tak kunjung selesai.
Selain itu, seorang peneliti yang datang ke Penimbun mengatakan bahwa batu-batu yang ada di desa ini mengandung mineral tertentu. Orang-orang kemudian datang sesuka hati untuk mengambilnya. Tentu saja, itu memunculkan amarah warga karena aset mereka diambil tanpa izin.
Hal itulah yang kemudian menginisiasi Badan Permusyawaratan Desa Penimbun agar pemerintah desa membuat Perdes Partisipatif Batas Desa pada tahun 2010. Plan pun memfasilitasi mereka dengan mengadakan focused group discussion yang menghadirkan pihak Agraria, Bapermasdes, juga FORMASI sebagai narasumber. “Perdes ini untuk melindungi aset yang ada di desa. Jadi, ketika kita mau mengatur aset desa, kita harus tahu dulu batas wilayah kita mana saja,” terang Haminah.
Hal ini sejalan dengan Permendagri Nomor 27 Tahun 2006 bahwa batas-batas wilayah bagi desa mempunyai peran penting sebagai batas wilayah yurisdiksi pemisah wilayah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan suatu desa. Oleh karena itu, kegiatan penetapan dan penegasan batas desa perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap batas-batas desa. Hal tersebut juga untuk mencegah tidak terjadinya tumpang tindih aset desa.
Penetapan batas pun dilakukan oleh Tim melalui serangkaian tahapan penelitian dokumen batas, penentuan peta dasar, dan delineasi garis batas secara kartometrik di atas peta dasar. Penegasan batas desa dilakukan melalui tahapan penentuan dokumen penetapan batas, pelacakan garis batas, pemasangan pilar batas, pengukuran batas dan pilar batas, penentuan koordinat titik-titik batas dan pilar batas, serta pembuatan peta batas wilayah desa.

Sebagai bagian dari proses penyusunan Perdes tersebut, mereka mau tak mau harus turun ke lapangan. Menyusuri sungai, mendaki bukit, turun ke lembah, melalui setapak yang tak biasa, bahkan membabat hutan dengan golok untuk buka jalan baru. Selama melakoni aktivitas tersebut, Haminah dan tiga perempuan lainnya bertugas membawa bekal. Para pria yang babat alas dan mengukur dengan meteran.
“Kami mengukur batas desa itu lama lho! Butuh waktu lebih dari sebulan. Berangkat pagi, pulang sore. Kadang melewati jurang atau berjalan di tebing. Tapi, saya salut dengan teman-teman. Meskipun capek luar biasa, tapi semangatnya juga luar biasa,” tutur Haminah.
Padahal selain medan yang menantang, mereka juga dihadapkan pada masalah yang tidak sepele dengan pihak lain. Misalnya, ketika mau menemui kepala desa sebelah dan tidak berjumpa, mereka datang lagi keesokan harinya. Saat bertemu, mereka malah dimarah-marahi. “Dia bilang, urus saja desamu sendiri. Tapi, karena kami santai saja, tidak menganggap itu sebagai masalah. Maklum, masing-masing kepala desa kan karakternya berbeda-beda,” jelas ibu dua anak ini.
Kendala lainnya adalah miskomunikasi yang terjadi antara pihak Perhutani dengan pihak desa. Sebelum pengukuran batas desa dilakukan, tim berkomunikasi dulu dengan Perhutani. Sebab, di beberapa bagian tanah desa ada yang bersisian dengan wilayah hutan milik Perhutani. Ketika tim turun ke lokasi, muncul konflik dengan petugas lapangan Perhutani. “Mereka mengira warga desa mau menguasai lahan. Padahal maksud kami adalah untuk mengetahui batas desa. Mana hutan yang masuk wilayah Penimbung, mana yang masuk wilayah Perhutani. Nah, orang-orang Perhutani di lapanan mengira kami mau menguasai,” terang Haminah.
Situasi yang menegangkan tersebut muncul di beberapa titik. Ada petugas Perhutani yang memang sudah paham maksud kehadiran mereka. Ada juga yang belum. Namun, setelah persoalan dipahamkan dan koordinasi kembali dilakukan, situasi pun mencair. “Itulah sisi seru dan menariknya. Ada kenikmatan sendiri. Kami jadi tahu desa kami seperti apa. Batasnya bagaimana. Kami benar-benar keliling saat pengukuran dan pematokan batas desa,” ucap perempuan lulusan Paket C ini.
Apa yang dikerjakan oleh Tim Perdes Partisipatif Batas Desa ini memang dilandasi oleh motivasi yang kuat, yakni menjaga aset-aset desa dan mencegah konflik batas desa yang telah terjadi sejak dulu. “Kami membayangkan apa yang kami lakukan ini akan bermanfaat beberapa puluh tahun ke depan bagi anak cucu kami. Bahwa, mereka tahu batas desa mereka sampai di sini dan di situ. Ini juga karena kami tidak ingin mengulangi kesalahan peninggalan orangtua kami.”
Sejauh ini, setelah Perdes jadi, tidak ada konflik yang berarti lagi. “Meskipun begitu, kalau sampai terjadi sesuatu di desa kami terkait aset desa, kami lebih mudah mengatasinya,” ucapnya.
Masyarakat Penimbun yang berbatasan wilayah dengan Desa Poh Kumbang, Kenteng, Ginandong, Kalirejo, Karangmojo, dan Karanggayam pun merasakan manfaat dari adanya Perdes ini. Manfaat paling nyata adalah ketika ada sengketa tanah gege antara Penimbun dan Ginandong. Setelah ada Perdes ini, terbukti kalau tanah gege tersebut milik Desa Penimbun. Meskipun saat ini masih di tangan perseorangan, tapi Penimbun sudah tahu kalau itu tanah mereka. Hal yang lagi dipikirkan adalah cara mengembalikan kepemilikan tanah itu.
Di Kabupaten Kebumen sendiri, sejauh ini baru Penimbun yang punya Perdes Partisipatif Batas Desa. Sebuah terobosan yang patut diacungi jempol karena didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Dukungan tersebut tentunya muncul dari kesadaran yang telah tertanam kuat bahwa tiap jengkal tanah desa itu sangat berarti.

Kisah Inspiratif: Latar Belakang Kurang Menyenangkan, Picu Selami Dunia Anak


Cerita dari seorang kawan;
“Dulu saya hanya tahu kalau punya anak, saya hanya perlu beri makan, pakaian, dan sekolahkan. Tapi, sekarang saya paham kalau anak juga harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya.”
Haminah sampai pada kesimpulan itu setelah sembilan tahun berproses bersama Plan. Ia menyadari, anak-anak punya pikiran dan dunianya sendiri. Mereka juga punya cara khas untuk mengutarakan pendapat. Pemahaman itulah yang coba ia suntikkan pada warga di sekitarnya.
Haminah mengawali kiprahnya sebagai relawan desa sejak 2004 ketika Plan masuk di Desa Penimbun, Kecamatan Karanggayam. Saat itu, ada kegiatan dari Plan yang melibatkan anak-anak. Ketentuannya, anak-anak tersebut harus ada pendamping laki-laki dan perempuan. Secara tiba-tiba, ia ditunjuk Kades Penimbun untuk mendampingi anak-anak berproses.
“Saya tidak tahu kalau itu namanya pendamping anak. Sejak itu, tiap kali ada kegiatan Plan, saya dilibatkan. Lama-kelamaan saya ditetapkan jadi pendamping anak karena saya yang sering berproses dengan mereka. Tidak ada acara pengangkatan secara formal,” tuturnya.
Anak-anak berproses, menurut Haminah, adalah mereka yang melakukan kegiatan, seperti mengadakan pertemuan atau membuat sesuatu, baik itu karya fisik maupun bukan. Misalnya, ketika ada perencanaan desa dan anak-anak dilibatkan, Haminah-lah yang mendampingi dan memfasilitasi mereka.
“Kalau pembangunan di desa, perencanaannya berbeda. Jika harus menggali informasi dari orang dewasa, ya sumbernya orang dewasa. Sumber informasi dari anak-anak juga ada. Saya yang mengadvokasi pemerintah desa agar melibatkan anak-anak,” ujar perempuan kelahiran 5 Mei 1977 ini.
Lingkungan keluarga yang kurang paham tentang pendidikan, membuatnya putus sekolah saat kelas 2 SMP lalu menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta. Latar belakang itulah yang memotivasinya untuk menyelami dunia anak-anak.
“Saya ingin mendapatkan ilmu dan menerapkannya setidaknya untuk anak-anak saya sendiri,” kata ibu dua anak ini.
Ia gencar menyampaikan agar anak-anak tidak sampai putus sekolah lantas bekerja. Karena ia sudah merasakan pahit getirnya. Kendati demikian, ia tidak pernah menyesali salah satu fase dalam perjalanan hidupnya itu. Tekadnya cuma satu, jangan sampai anaknya bernasib sama sepertinya.
Didorong oleh Plan, ia pun menyambung rantai pendidikannya dengan mengambil Kejar Paket B pada 2011 yang dilanjutkan dengan Kejar Paket C. Ini salah satu caranya pula untuk memacu anak-anaknya agar tetap semangat sekolah.
Selain sebagai pendamping anak dan ibu rumah tangga, Haminah juga aktif di berbagai forum dan organisasi. Ia menjadi sekretaris Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Ia ditugasi sebagai pemberdaya masyarakat desa dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Ia juga tergabung sebagai Tim Komite Sekolah di SDN Penimbun.
“Saya malah tidak masuk PKK. Biar saya tidak ada di mana-mana. Biar ibu-ibu yang lain juga bisa berperan secara merata,” ucapnya sembari tersenyum.
Dinilai vokal dalam menyampaikan aspirasi anak-anak, ia pun dimasukkan ke bidang advokasi dalam Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD) Penimbun. Keterlibatannya di KPAD membuatnya merasa lebih paham dan fokus pada upaya perlindungan hak anak. Salah satunya adalah hak untuk memberikan pendapat.
“Kini, kalau mau melakukan apa-apa, saya harus diskusi dengan anak-anak. Apalagi suami saya tidak di rumah, mencari nafkah di Jakarta. Jadi, segala keputusan harus dipertimbangkan dengan anak-anak,” jelasnya.
Ia juga mengaku kalau pelan-pelan di dalam dirinya terjadi perubahan cara pandang terhadap hak anak.
“Sebelum 2004, saya bergaul dengan orang-orang kota. Saya berpikir bahwa untuk mengasuh anak harus punya banyak duit. Untuk menyekolahkan anak, misalnya. Dari dulu saya berpikir sekolah itu penting. Kalau punya anak, jangan sampai tidak sekolah.”
Haminah sebenarnya menyesal bukan belakangan ini. Kala memutuskan keluar dari kelas 2 SMP dan bekerja, ia sudah menyesal. Oleh karena itulah, saat kerja di Jakarta, ia pun gigih membiayai sekolah adiknya sampai lulus SMK.
“Pandangan saya bahwa untuk menyekolahkan anak harus punya duit banyak, sedikit demi sedikit terkikis. Kalau kita tidak punya uang banyak, sementara niat kita kuat, Insya Allah ada jalan. Saya yakin kalau kita berusaha jadi orang bermanfaat buat orang lain, pasti ada yang membalas,” pungkasnya mantap.

Selasa, 03 September 2013

Kisah nyata: Akhirnya Aku Tidak Jauh-jauh

Sewaktu aku berumur sekitar 7 tahun, aku merasakan kesengsaraan di waktu malam hari. Setiap aku kebelet buang hajat (BAB) aku harus datang ke sungai dengan di temani ibu atau bapakku, dan hanya menggunakan daun kelapa yang sudah kering yang dinyalain sebagai alat penerang.Ketika di siang hari lebih mudah melihat jalan di banding malam hari, hal yang paling saya benci adalah ketika saya sudah kebelet buang air besar saya harus berlari-lari dari rumah ke sungaiyang jaraknya kurang 100 meter, yang jalnnya masih bebatuan dan berlumpur, dan jika sedang buang air besar saya sering diganggu oleh mahluk halus, seringkali saya belum selesai buang air besar saya sudahi dengan terpaksa karna saya saking takutnya pulangnya ngga pake obor dari daun kelapa muda yang kering.
Hal satu lagi yang sampai saat ini belum bisa saya melupakannya yaitu saat sedang berlari menuju sungai hajat saya sudah keluar di celana. Walaupun saya sengsara, tapi kadang merasakan kesenangan yang mungkin tidak bisa dimiliki oleh orang yang menpunyai WC di rumah sendiri, yaitu pada saat buang air besar bersama dan jika di siang hari enaknya buang besar buang besar sendirian, karena tidak tidak dilitin sama teman yang lain di kala waktu (cuaca) sedang hujan, kalau saya kebelet buang air besar, saya tidak berani buang air besar di sungai walaupun ditemenin ibu tau ayah, seringkali saya buang air besar di selokan dekat rumah saya. Kejadian itu saya rasakan samai saya berumur sebelas tahun.
Setelah saya berumur 11 tahun lewat beberapa bulan pas waktu itu saya sedang di kelas 5 Cuma SD saya tidak menyangka dan saya tidak menbayangkan sama sekali sama sekali kala keluarga saya mendapatkan WC dan bak mandi yang bahan bangunannya di belikan semua oleh Plan.
Setiap pulang sekolah saya selalu membantu ayah membuat WC dan bak mandi, sekitar waktu 2 minggu WC dan bak mandi pun jadi. Karena saya belum terbiasa buang air besar di WC dan bak mandi pun jadi.Karna saya belum terbiasa buang air besar di sungai, tapi lama kelamaan aku dan keluargaku merasa enak dan nyaman. Aku dan keluargaku pun jadi aman, walaupun kebelet buang air buang air besar di tengah malam, karena tinggal buka pintu dan duduk. Aku dan kelaurgaku mengalami perubhaan yang besar diantaranya membuang hajat jadi tidak sembarangan, kesehatan pun menjadi lebih baik, dan rasa cape jika mau buang air di sungai, jika mandi keluarga kami pun tidak kerepotan lagi.

By Sikin (Child alhabib)

Kisah Inspiratif: Jago Matematika, Ingin Jadi Psikolog

Sore itu hujan mengguyur Desa Logandu. Jalanan sepi. Para warga berkemul di rumahnya masing-masing. Berlindung dari tempias hujan.
Seorang siswi berjilbab dengan seragam lengkap membukakan pintu rumah. Rumah yang lokasinya berdekatan dengan sanggar Kelompok Anak Child Al-Habib. Ia memperkenalkan diri sebagai Ii Pujianti.
Sembari melantai, ia semangat bercerita mengenai aktivitas sekolahnya. Maklum, siswi kelas XII IPA 3 SMAN 1 Karanganyar ini sedang sibuk mempersiapkan Ujian Nasional. Tiada hari tanpa les. Kadang sehari bisa dua kali. Pagi sebelum pelajaran dimulai dan sore sepulang sekolah.
Kesibukan akademik itu pula yang membuat waktunya menurun drastis untuk mengurus Kelompok Anak Child Al-Habib. Tahun 2013, Ii seharusnya sudah melakukan reorganisasi. Tapi, belum jua terlaksana.
“Sebagai ketua, saya merasa gagal melakukan regenerasi. Itu yang jadi ganjalan kenapa saya belum juga reorganisasi. Padahal saya akan lulus dan mungkin kuliah di luar kota,” ujar dara kelahiran 10 Maret 1995 ini dengan nada sedikit menyesal.
Kendati demikian, dia sudah membidik beberapa temannya di Child Al-Habib yang berpotensi menggantikan dirinya. Salah satunya Sikin yang kini duduk di kelas 1 SMKN 1 Karanggayam. “Ia berani bicara di depan umum, berani adu pendapat, dan banyak pengalaman di kelompok anak ini,” bebernya.
Gadis berkacamata ini jadi Ketua Kelompok Anak Child Al-Habib sejak 2009. Saat itu, dari empat calon ketua yang diajukan, ia mendapat suara terbanyak. Ia tak menyangka karena baru setahun bergabung di Child Al-Habib. Bisa jadi karena ia dilihat punya kepercayaan diri yang tinggi.
Ia masih ingat ketika pertama kali gabung di Child Al-Habib. Ia kelas 2 SMP waktu itu. Ia diajak oleh kakak kelasnya yang serta-merta menyodorkan surat padanya agar ikut pelatihan jurnalistik di Benteng Van Der Wijk, Gombong.
“Pelatihannya menyenangkan. Melihat teman-teman berani ngomong, saya jadi ingin ikut berani bicara. Di sesi terakhir diumumkan peserta teraktif dan itu jatuh pada saya. Itu menambah rasa percaya diri saya. Wah, ternyata saya bisa berbicara di forum,” kenangnya sembari tersenyum.
Sekembali ke desa, ia kian giat di organisasi. Banyak aktivitas yang ia lakukan selama berkecimpung di kelompok anak. Ia dan teman-teman bikin majalah yang sampai saat ini telah mencapai 10 edisi. Mereka dapat pelatihan membuat film dan teater, studi banding ke kelompok belajar Qaryah Thayyibah di Salatiga, serta kunjungan ke radio komunitas di Yogyakarta. Selain itu, tiap ada pertemuan dengan pemerintah Kebumen yang melibatkan anak, ia dan kawan-kawan dari Child Al-Habib juga diundang. Belum termasuk berbagai workshop yang diinisiasi Plan.
“Banyak sekali pengalaman yang saya dapatkan. Salah satu perubahan positif yang saya rasakan adalah saya jadi berani ngomong di depan umum. Di kelas, misalnya, saya jadi berani maju presentasi dan berpidato. Saya juga jadi berani berpendapat atau menjawab pertanyaan dadakan dari guru,” tutur pehobi baca novel ini.
Menurut Ii, anak-anak Logandu punya banyak bakat besar untuk dikembangkan. Hanya saja mereka terkendala oleh fasilitas serta kesadaran orangtua yang belum tinggi akan bakat anak-anaknya. Untuk itu, ia amat mendukung keberlanjutan gelar budaya yang diadakan tiap tahun se-Kecamatan Karanggayam.
“Walaupun nanti Plan pergi, saya ingin gelar budaya anak tetap ada. Anak punya bakat apa, ditampilkan di situ. Jadi, selain menunjukkan bakat mereka pada orangtua, juga agar orangtua menyadari potensi anak-anaknya. Sehingga mereka bisa didukung untuk mengembangkannya.”
Lebih-lebih, Kelompok Anak Child Al-Habib pernah beberapa kali dapat kunjungan dari luar negeri, seperti Belanda dan Vietnam. Hal itu merupakan kebanggan tersendiri baginya.
“Ternyata anak-anak Logandu bisa melakukan hal-hal yang kelihatannya sepele, tapi bagi orang luar dianggap sangat bagus,” cetusnya dengan mata berbinar.
Ii sungguh fokus di Child Al-Habib. Ia bahkan tidak tertarik untuk ikut organisasi di sekolah kendati sempat ditawari masuk OSIS. Sebab, di kelompok anak sendiri ia sudah banyak kegiatan. Ia khawatir tidak bisa menjalaninya dengan imbang. Apalagi ia masih siswi yang tugas utamanya adalah belajar.
Giat di kelompok anak, tidak menyurutkan prestasi akademik Ii Pujianti. Sejak kelas satu hingga kelas tiga SMA, ia selalu ranking 1. Bahkan, saat kelas kelas 3 SMP, ia mendapatkan nilai 10 sempurna untuk UN matematika. Hal itu memicunya ingin masuk Pendidikan Matematika di Unes. Alternatif lain, ia ingin kuliah di Psikologi UGM.
“Awalnya saya ingin jadi guru matematika. Meski sampai sekarang nilai matematika saya tinggi di kelas, tapi tidak semenarik dulu. Sekarang saya lebih tertarik ke psikologi. Menurut saya kalau jadi psikolog itu, kita bisa menangani orang. Kita memberi masukan-masukan. Dan, itu juga bisa jadi pelajaran buat diri saya, untuk keluarga, juga anak-anak saya nanti,” tutur gadis yang mengaku sering dicurhati oleh teman-temannya itu.
Faktor ibu tak ditampik berperan besar dalam diri Ii. Ibunya yang saat ini bekerja di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga, terus menyemangatinya untuk meraih cita-cita.
“Jika saya dapat prestasi, ibu saya bilang, ‘Terima kasih ya buat usaha kamu selama ini untuk membahagiakan orangtua. Ibu bangga sama kamu.’ Kadang ibu juga bilang, ‘Ibu capek. Rasanya ingin menangis. Tapi, ini semua ibu lakukan demi kamu. Biar kamu sekolah.’ Nah, itu jadi semangat sendiri buat saya. Saya harus lebih rajin belajar. Saya tidak mau mengecewakan ibu yang telah berjuang,” ucapnya terharu.
Untuk itulah, ii selalu berusaha untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Baginya, waktu adalah ilmu yang selalu baru. Ia tidak segan-segan belajar dari pengalaman orang lain. Hal yang mana kian menguatkan cita-citanya jadi psikolog.
Semoga cita-citamu tergapai, ii!

Kisah Inspiratif: Keberanianku Berkat Logo Biru

Tiada pernah terlintas dalam benakku untuk berani berbicara di depan puluhan orang bahkan ratusan. Bayangkan saja, anak yang pemalu dan demam panggung seperti aku bisa berdiri tegak dan percaya diri untuk melantunkan kalimat-kalimat yang bermakna di hadapan orang banyak Ya ..hal itu memang bertolak belakang dengan keadaanku 4 tahun silam. Kala itu aku selalu grogi ketika di suruh berbicara dihadapan orang banyak. Di tambah lagi aku bisa sampai mengeluarkan keringat dingin. Tetapi pekat hitam sifat itu kini telah berubah menjadi pijar terang dalam hidupku.
Tepat tanggal 25 Januri 2009 lalu adalah lankah awalku menitih rasa percaya diri dalam diriku. Bertempat di Bentang Van der Wijk Gombang dengan di sponsori oleh Plan Indonesia program Unit Kebumen, Pelatihan Jurnalistik menjadi pengalaman pertamaku mengikuti kegiatan Plan dan melangkah bersama kelompok Child Al Habif di desa Logandu. Dari situpun aku mulai berlatih menyampaikan gagasan dan unek-unek yang ada dalam fikiranku. Tak hanya berhenti sampai di situ ,sepulang dari pelatihan itu anak-anak Child Al Habib tergugah membuat majalah bernama D’Star sebagai salah satu media komunikasi,kepercayaan yang diberikan yang diberikan kepadaku untuk menjadi ketua redaksi member semangat tersendiri dalam daftar keberanianku.
Hemm.. apa lagi yah ? Oh ya teman-teman tidak hanya kegiatan itu yang menbuatku dari Zero menjadi Hero ,banyak kegiatan lain yang aku ikuti bersam Plan. Emm..kasih tau gak ya? Sederet kegiatan yang pernah aku iuti adalah pelatihan organisasi,jurnalistik,teater,pembuatan film, konsultasi anak, kesehatan reproduksi,pentas seni dan masih banyak lainnya.Mungkin bagi orang lain, sederet daftar kegiatan itu biasa. Tetapi buat aku hal itu luar biasa,terlebih pada tahun 2010 aku terpilih menjadi ketua kelompok anak Child Al Habib ,sudah barang pasti menjadi seorang pemimpin tentunya harus berani dan bijak.
Mei 2010 …,sore itu langit memerah. Tampak guratan –guratan sianr sang surya yang malu-malu menjahui bumi,menatap keindahaan dari lembah pegunungan srenseng Logandu,itu ambil secarik kertas .Pena pun mulai menari-nari mengikuti legok jemariku. Rasa syukur yang luar biasa, aku tersadar logo biru telah menubahku menjadi yang terbaik .Goresan tinta hitam bersua,sebuah puisi tercipta.
Plan
Setitik sinar
Menggubah gelap menjadi pijar
Meminang semangat berani benar
Membangunanku dan tersadar

Setitik airmata
Bukan duka
Bukan derita
Tetapi bahagia

Terima kasihku
Untuk logo biru
Jasamu menghantarkan aku
Dari demam panggung menjadi tidak canggung


Kini aku telah beranjak dewasa 1 tahun lagi usia telah pension menjadi anak. Walau demikian jasamu selalu terkenang,prestasiku adalah sebagian dari mu tidak hanya menbuat aku berani berbicara di depan umum,tetapi keberanian itu juga membuatku berani menatap masa depanku.

By: II Pujianti (Logandu)

Tata Pemerintahan Baik, Masyarakat Apik

Fokus pada anak secara holistik. Itulah yang jadi tujuan Plan. Maka, Plan tidak hanya memfasilitasi dan memberdayakan anak secara langsung. Tapi juga ikut terlibat dalam program tata kelola pemerintah yang baik.
Program khusus ini merupakan bagian dari proses Child-Centered Community Development. Tak lain maksudnya untuk melatih masyarakat agar paham tentang perencanaan anggaran, termasuk menjalin jaringan desa dengan LSM lokal untuk mengawal perencanaan.
Dukungan Plan dalam bidang ini lantas diwujudnyatakan di Kebumen, mulai dari level desa hingga kabupaten. Plan bekerja sama dengan IDEA Yogyakarta memulai pendampingannya dalam bidang ini di Desa Sidototo pada tahun 2005. Setelah itulah, secara bertahap diterapkan di 23 desa dampingan Plan yang ada di Kecamatan Mirit, Bonorowo, Padureso, Prembun, dan Karanggayam.
Salah satu desa dampingan Plan yang paling menonjol tata kelola pemerintahannya adalah Logandu. Desa yang dipimpin oleh Sarlan ini setidaknya telah menerapkan sepuluh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, yakni: partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, pengawasan, efisiensi & efektivitas, dan profesionalisme.
Dari segi partisipasi, Logandu membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat, termasuk kelompok anak, untuk terlibat dalam proses Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES) per lima tahun. Mereka berpartisipasi sejak musyawarah tingkat dusun hingga lokakarya tingkat desa. Di forum itu, mereka menggali masalah, mengidentifikasi, mengelompokkan, membuat skala prioritas, serta menganggarkan dana untuk penyelesaiannya.
Di bidang penegakan hukum, Logandu sebagaimana 14 desa dampingan Plan lainnya di Kebumen, sudah memiliki Kelompok Perlindungan Anak Desa (KPAD). Kelompok ini berperan dalam menjamin terpenuhinya hak-hak anak dan terlindunginya mereka dari segala bentuk perlakukan salah. Untuk menguatkan posisi institusi ini pula, dibuatlah Peraturan Desa Perlindungan Anak yang mengatur semua elemen di desa, baik itu masyarakat, orangtua, pemerintah desa, juga anak.
Terkait transparansi, tiada tirai tertutup antara pemerintah desa dan masyarakat Logandu. Selain adanya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang menjalankan fungsi kontrol, ada pula tim independen yang diusulkan pembentukannya oleh warga sendiri. Namanya Tim Monitoring Partisipatif. Tim ini dibentuk pada awal 2013 yang tugasnya memonitor pemetaan, pelaksanaan, serta administrasi dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Desa.
“Keberadaan tim ini bukan untuk mengintervensi, namun semata-mata membantu BPD dan perangkat desa sendiri. Bukan berarti kami mengesampingkan atau meremehkan fungsi kontrol dari BPD, tapi biar masyarakat ikut belajar,” jelas Mardiadi, Ketua Tim Monitoring Partisipatif.
Pendekatan yang ditempuh oleh Tim Monitoring Partisipatif adalah agar pemerintah tidak hanya melibatkan masyarakat pada tahap perencanaan dan penarikan iuran saja. Tapi, masyarakat juga dilibatkan saat laporan pertanggungjawaban di akhir tahun. Respon baik itu pun ditunjukkan oleh pemerintah dengan menuliskan laporannya secara gamblang di papan di balai desa.
Kesetaraan adalah aspek berikutnya yang diterapkan dalam tata kelola pemerintahan yang baik di Logandu. Tanpa memandang bulu, semua unsur di desa memiliki posisi yang setara dalam pemerintahan. Anak-anak didengarkan suaranya dan diimplementasikan aspirasi mereka melalui kebijakan. Misalnya, kebijakan jam belajar di desa. Laki-laki dan perempuan, baik perorangan maupun yang tergabung dalam kelompok, seperti kelompok tani, kelompok ternak, Posyandu, PKK, dan sebagainya juga punya porsi yang sama untuk aktif serta dalam pembangunan desa. Contoh paling nyata, tentu saat rapat RPJMDES.
Daya tanggap dari warga pada pemangku kebijakan juga bisa dikatakan telah berjalan baik di Logandu. Salah satu bukti kongkretnya adalah inisiatif dari KPAD untuk mengusulkan pada pemerintah desa agar diadakan pembuatan akta kelahiran secara massal. Pada 2007, misalnya, ada seribu lebih anak Logandu yang belum punya akta kelahiran.
“Sekali berangkat ke Kantor Pencatatan Sipil, kami membawa 300 sampai dengan 400 berkas,” terang Mardiadi yang juga Ketua Umum Forum KPAD Kebumen.
Adapun dari aspek wawasan ke depan, tata kelola pemerintahan yang baik tercermin dari perencanaan strategis yang baik pula. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui skala prioritas, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam hal ini, Logandu telah memiliki RPJMDES untuk jangka waktu lima tahun serta Rencana Kerja Pembangunan Desa untuk jangka waktu satu tahun. Hal yang amat bersesuaian dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa pada pasal 64 ayat (1).
Demikian pula dengan akuntabilitas. Pemerintah dituntut untuk memberikan pertanggungjawaban dan menerangkan kinerja dan tindakan kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk menerima keterangan. Dalam hal ini, Logandu telah menerapkannya saat sesi Laporan Pertanggungjawaban akhir. Kepala desa dan jajarannya menyampaikannya kepada BPD, Tim Monitoring Partisipatif, dan masyarakat.
Satu hal yang menarik adalah ketika Tim Monitoring Partisipatif melakukan kroscek terhadap Laporan Pelaksanaan APBDES alias Laporan Pertanggungjawaban akhir. Tim independen tersebut menemukan ketimpangan anggaran pembangunan fisik. Satu item yang janggal adalah adanya selisih lima sak semen antara laporan anggaran pemerintah dengan data yang dihimpun tim monitoring. Kalau diuangkan, jumlahnya mencapai Rp300 ribu lebih.
Ketika dikomunikasikan dengan perangkat desa, ternyata pada saat pelaksanaan, ada alokasi yang tidak dianggarkan tapi harus dikeluarkan. Padahal itu tidak boleh masuk APBDES.
“Ada budaya selametan sebelum jembatan mulai dibangun. Karena masyarakat sudah berkontribusi dengan swadaya tenaga juga sumbangan bambu dan papan, sehingga untuk selametan menggunakan dana dari APBDES,” terang Mardiadi.
Saat itu, panitia pelaksana kegiatan langsung menanggapi dan menerangkan. Mereka mengakui telah terjadi penambahan untuk selametan. Penjelasan mereka pun bisa diterima oleh masyarakat.
Adapun prinsip pengawasan dalam tata kelola pemerintahan di Desa Logandu terefleksikan melalui keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Selain berfungsi untuk merumuskan dan menetapkan peraturan desa bersama-sama dengan pemerintah desa, BPD juga melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan dan belanja desa, serta keputusan kepala desa. Jika memang ada hal yang tidak sesuai aturan, BPD-lah yang akan memberi teguran pada pemerintah desa.
Dari aspek efisiensi & efektivitas pun demikian. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. Hasilnya pun sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat. Dikarenakan proses pembuatan kebijakan tidak hanya bersifat down top atau top down, tapi pemerintah dan masyarakat duduk satu meja, akhirnya dua belah pihak mengetahui potensi masing-masing.
Satu contoh kecil adalah saat pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Masyarakat tidak hanya memberi dukungan moral, tapi juga melaksanakan pembangunan swadaya. Bahkan, ketika ada pembangunan jembatan yang inisiatifnya dari masyarakat, mereka pun dengan sukarela menyumbangkan tenaga, waktu, juga material bangunan berupa bambu dan kayu.
Aspek terakhir, yakni profesionalisme telah coba dijalankan oleh pemerintah Desa Logandu. Tidak hanya pada tahap perencanaan, tapi juga saat pelaksanaan juga evaluasi pembangunan. Jajaran pemerintah desa pun berupaya untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada masyarakat.
Profesionalisme itu pun direspon baik oleh masyarakat. Sebagaimana penuturan Ii Pujianti, misalnya. Anak Desa Logandu yang juga Ketua Kelompok Child Al-Habib ini mengaku kalau kepala desa sudah mencoba menjalankan wewenangnya secara profesional.
“Kepala desa mudah diajak kerja sama dalam hal positif. Saat ada kasus rencana nikah dini, beliau tidak menyetujui. Si anak harus dapat izin dulu dari Pengadilan Negeri Agama Kebumen, baru pemerintah desa menyetujui. Bagi saya, itu bagus sekali,” ucap perempuan kelahiran 10 Maret 1995 ini.
Kesepuluh prinsip yang terjelma dalam tata kelola pemerintahan yang baik di Logandu, memang belum bisa dikatakan telah termanifestasikan seratus persen. Namun, setidaknya telah ada perubahan positif pada masyarakat desa yang dibawa oleh Plan.
Menurut cerita Mardiadi, dulu sebelum Plan masuk, masyarakat Logandu bersikap apatis. Mereka kurang mau melihat kanan kiri, lebih mementingkan kerja daripada kepedulian untuk desa. Kalau ada pertemuan, masyarakat hadir tanpa memberikan respon yang berarti. Program-program yang ada di desa pun lebih banyak tergantung pada perangkat desa. Masyarakat lebih memosisikan diri mereka sebagai pelaksana di lapangan.
Berbeda ketika masyarakat mendapat pendampingan dari Plan dan memfasilitasi mereka tentang peningkatan kapasitas partisipasi. Masyarakat pelan-pelan mulai sadar pentingnya kapasitas tingkat desa. Mereka pun mulai berani menyampaikan pendapat serta mau memerhatikan desa.
Pola pikir yang mulai terbuka, kemudian muncul kepedulian pada lingkungan. Saat pertemuan pun, masyaraka tidak hanya menerima, tapi juga memberi umpan balik yang membangun. Mereka juga lebih berinisiatif, tanpa harus menunggu perintah dari perangkat desa.
Dalam hal partisipasi, masyarakat mulai mengusulkan hal-hal yang mereka butuhkan terkait kondisi lingkungan masing-masing. Saat duduk berdiskusi dan mencari solusi, mereka juga ikut memikirkan. Karena dilibatkan sejak perencanaan, ketika itu direalisasikan, mereka pun tahu bahwa mana saja usulan mereka yang diakomodasi.
Mardiadi mengatakan, “Sebelumnya, gotong royong tetap ada, tapi tetap saja menunggu perintah. Kalau sekarang justru masyarakat lebih berinisiatif bahwa ini bagian dari kewajiban mereka. Jadi, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi, masyarakat benar-benar terlibat.”